Cewek Intern Dan Duda Keren
Pagi yang cerah untuk memulai hari yang indah. Mungkin begitu yang sedang dipikirkan oleh Dinda Lestari, ex-mahasiswa yang baru saja menyandang gelar sarjananya sebulan yang lalu. Saat ini dia sedang memilih - milih baju yang akan digunakannya untuk hari pertama bekerja.
Hari Minggu adalah hari dimana orang - orang bermalas - malasan. Tetapi, tidak dengan Dinda yang sudah siap dengan banyak cuciannya pagi ini. Ia mencuci beberapa potongan blazer, kemeja, celana bahan yang dibelinya kemarin.
“Din, harusnya kamu cuci dari kemarin. Kalo hari ini hujan, nanti gak kering, lo.”, sahut Ratna, Ibu Dinda yang juga tengah sibuk di dapur menyiapkan pesanan catering khitanan.
“Gapapa, bunda. Khusus yang untuk besok sudah Dinda siapin. Baju yang waktu itu dipake buat interview.”, jawab Dinda sambil menggantung satu per satu hanger baju ke atas jemuran.
“Ya sudah kalau begitu. Bagus. Ohiya, abis itu, bantuin bunda bungkusin nasi kuningnya, ya. Sudah ditunggu. Nanti Arga mau antar jam 10.”, sahut Ratna kembali.
Ratna, Ibu Dinda menekuni pekerjaannya sebagai jasa penjual katering makanan untuk acara - acara besar atau rumahan sejak 10 tahun yang lalu.
Dulu, waktu masih muda, Ratna bisa dengan cepat menyiapkan katering. Sekarang, ia harus dibantu oleh putra dan putrinya karena sudah sering sakit pinggang kalau duduk terlalu lama.
“Mba, kerja dimana sih?”, Arga muncul dengan rambut yang masih acak - acakan dari kamar sambil melingkarkan handuk di lehernya.
“Perusahaan Consulting Multinasional. Pokoknya keren, deh. Gak mudah masuk situ.”, sahut Dinda dengan bangga.
Dinda sudah sebulan tekun mencari pekerjaan di berbagai perusahaan yang sesuai dengan jurusannya. Harapan sebenarnya adalah bisa mendapatkan pekerjaan begitu selesai kuliah. Tetapi, tidak seperti teman - temannya, ia butuh waktu sebulan untuk mendapatkannya.
Dinda juga harus legowo karena pekerjaan yang dia dapat belum sebagai full-time employee alias staf permanen, tetapi hanya intern.
“Kalo intern berapa lama kontraknya, mba?”, tanya Arga lagi.
Di mulutnya sekarang sudah ada telur yang dia comot sembarangan dari baskom catering ibunya.
“Kontraknya 1 tahun. Nanti kalau kerja mba bagus, bisa diangkat menjadi karyawan full-time.”, sahut Dinda yang sudah siap mengambil tempat duduk untuk membungkus paket nasi kuning ibunya.
“Wah lama juga ya… Aku nanti gimana, ya?”, sahut Arga.
Dinda menganggap Arga lucu kalau dia sudah membicarakan hal serius. Biasanya dia hanya sibuk berkumpul dengan teman - temannya. Tetapi semakin kesini dia sudah mulai memikirkan masa depannya juga.
“Bisa dibilang begitu. Sekarang susah kalau mau cari yang langsung permanen. Gajinya juga lumayan. Tapi jangan pikir intern disini kerjaannya cuma foto copy aja, ya.”, tutur Dinda sambil dengan telaten mencetak nasi kuning dan kemudian memasukkannya ke dalam kotak plastik.
“Eh aku kira gitu. Baguslah kalau gitu. Ya udah buruan bungkusnya. Jam 11 aku mo main ke rumah temen.”, Arga menyeruput minum untuk membantunya menelan dua buah telor rebus yang sudah dia masukkan tadi ke dalam mulutnya. Tak lama, dia langsung mencelos ke kamar mandi.
****
“Ternyata gak semudah ini. Kemarin perasaan pas interview jaraknya dekat. Kenapa sekarang jadi jauh banget, ya.”, Dinda mengeluh sambil mengusap keringatnya dengan tisu. Dia baru saja menaiki kendaraan umum untuk mengantarnya ke kantor barunya.
“Mba, maaf permisi, saya hamil, boleh minta tempat duduknya.”, seorang penumpang yang tengah hamil mencolek lengannya untuk berganti tempat duduk.
“Oh iya, silahkan mba.”, jawab Dinda dengan senyum.
‘Padahal aku udah jalan 10 menit dan nunggu sepi biar dapat tempat duduk. Sekalinya dapet, kenapa ada orang hamil. Kadang aku pengen hamil aja, biar dapat tempat duduk.’, pikirnya menggerutu di dalam hati, meskipun tadi wajahnya sangat ramah.
Kendaraan melaju dengan lambat. Macetnya luar biasa. Kalau di total - total, waktu perjalanan yang ditempuh sekitar 1 jam. Padahal sudah berangkat sangat pagi.
Sesampainya di kantor.
“Selamat pagi, mba. Saya intern baru disini. Mau ke lt. 15. Perusahaan Consulting.”, tutur Dinda begitu sampai di lobi depan.
“Ohiya, silahkan kartu identitasnya. Ini akses masuknya, ya.”, resepsionis tersenyum dan memberikan kartu akses padanya.
“Terima kasih, mba.”, jawab Dinda singkat sambil tersenyum.
Ia mulai melewati pintu masuk lift. Beruntung dia masih ingat caranya menggunakan kartu akses. Gedung ini termasuk yang paling canggih. Kita tidak perlu lagi menekan nomor lantai di lift. Begitu masuk di gerbang depan lift, kartu akses akan membaca pengaturan lantai yang kita tuju dan memberitahukan lift mana yang harus dinaiki.
“Aduh!”, Dinda tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya karena bersenggolan dengan seseorang saat memasuki lift. Ia mengambil kembali dengan hati - hati. Beruntung ponselnya tidak terjun ke sela - sela lift.
‘Kenapa orang yang nabrak gak minta maaf, sih! Udah jelas - jelas dia yang nabrak duluan.’, Dinda hanya bisa menggerutu karena orang yang menabraknya tidak meminta maaf padanya.
Pria itu berperawakan tinggi. Setelannya parlente dan ada aroma harum yang khas keluar dari tubuhnya. ‘Sangat menggoda’, pikir Dinda.
‘Pasti parfum mahal. Aromannya bikin betah. Eh ngomong apa sih aku. Apa ini pengaruh karena aku sudah beranjak dewasa, ya.’, ucap Dinda dalam hati.
Dinda tak berani bersitatap dengan orang itu. Ia hanya berani melihat pantulan kartu yang dikalungkan di leher pria itu pada pantulan cermin lift.
‘Arya Pradana.’, Dinda membacanya dengan pelan di dalam hati.
Ia masih tidak ingin menatap orang itu. Auranya sangat kuat. Seperti dosen killer yang menangkap basah siswanya saat datang terlambat.
‘Tunggu, aku baru sadar, di lift ini hanya aku dan dia, ya. Tidak ada orang lain. Arya Pradana… seperti pernah lihat. Tapi lupa dimana.’, tutur Dinda masih di dalam hati.
Karena sangat gugup, terburu - buru dan lelah, dia tidak sadar bahwa lift yang akan mengantarkannya ke lantai 15 ini hanya ada mereka berdua saja.
Ting.. pintu lift terbuka. Pria itu langsung melengos keluar. Setelannya rapi dengan sebuah tas dokumen bermerek di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sedang memegang segelas kopi yang sesekali ia seruput.
Laki - laki itu menempelkan kartu akses ke pintu perusahaan yang sebentar lagi juga akan dimasuki oleh Dinda. Tak lama berselang, pria itu menghilang dibalik pintu. Dinda masih tidak bisa melupakan aroma parfumnya.
‘Semoga dia bukan di divisi yang sama denganku. Sekali lihat saja sudah tahu kalau dia itu pasti bos, selevel manager atau Kepala Divisi. Auranya benar - benar menyeramkan. Sudah pasti galak. Mana tadi gak lihat wajahnya lagi.’, ujar Dinda di dalam hati.
Berbeda dengan lelaki yang bernama Arya, Dinda hanya bisa melengos ke bagian security untuk meminta dibukakan pintu. Ia masih intern dan belum memiliki kartu akses masuk ke kantor. Ia hanya punya akses masuk ke lantai 15 saja.
****
“Oke, semuanya sudah ditandatangani, ya. Ini kartu akses kalian. Nanti masing - masing Supervisor kalian akan memperkenalkan kalian ke bagian masing - masing. Semoga betah, ya kerja disini.”, begitulah kira - kira sambutan dari HRD kepada kami para intern.
Ada 10 orang intern yang masuk di periode penerimaan ini. Kami tidak benar - benar tahu ada berapa pendaftar. Yang jelas, kuartal ini paling banyak menerima intern.
“Ohiya, Dinda. Khusus untuk kamu langsung ke ruang meeting ‘Amerika’ aja, ya. Divisi kamu kebetulan jam 10 ada Town Hall. Nanti disana kamu langsung ketemu sama supervisornya, ya.”, HRD tadi menghentikan langkah Dinda yang baru saja ingin keluar dari ruangan itu.
“Oh iya, Bu. Maaf, ruang meeting ‘Amerika’ itu sebelah mana, ya?”, tanya Dinda dengan tenang. Tetapi sebenarnya dalam hati dia sangat deg - degan. Masa di hari pertama sudah ada Town Hall.
‘Eh tapi ngomong - ngomong, Town Hall itu apa ya?’, gumamnya dalam hati.
“Kamu ingat tempat wawancara ketiga dengan calon supervisor kamu? Nah, dari situ kamu tinggal lurus, nanti belok ke kanan langsung ruang meeting ‘Amerika’, ya. Kebetulan deket - deket situ juga adalah area divisi kamu.
“Oh, baik. Makasih ya, Bu.”, jawabnya berusaha dengan tenang.
“Ohiya, nanti kalau misalnya ada ribut - ribut atau marah - marah, jangan takut, ya. Udah biasa. Dan kamu-kan baru masuk, jadi pastinya bukan kamu yang dimarahi.”, tambah HRD itu lagi sambil tersenyum.
‘Duh, gimana nih. Jadi makin tegang, kan. Masa baru pertama bekerja sudah harus lihat orang marah - marah. Mana aku bawaannya paling gak bisa lihat ada keributan. Semoga aja HRD ini cuma nakut - nakutin aja.’, celetuk Dinda dalam pikirannya.
Dinda berjalan sambil melirik kanan kiri. Meskipun gugup, dia masih sempat untuk mengagumi tempat kerja itu. Ia bisa melihat beberapa orang yang sedang berbicara di telepon. Beberapa lagi masih santai berbincang sambil menyeruput kopi. Ada juga yang sudah berlari panik ke mesin fotokopi.
Dari kejauhan Dinda tak sengaja bertemu pandang dengan Devan, pria yang juga satu periode intern dengannya tadi. Mereka sebenarnya tidak saling kenal. Hanya karena berada di ruang yang sama tadi, Dinda jadi merasa perlu untuk tersenyum.
Dinda mendongak ke atas, tertulis ‘Marketing Division’. Sepertinya dia ditempatkan di divisi Marketing, begitu pikirnya. Pria itu juga berbalik senyum padanya.
Dinda meneruskan langkah untuk mencari ruang meeting yang digunakan saat interview beberapa waktu lalu. Dia sudah lupa - lupa ingat sebenarnya. Akhirnya dia bertanya saja dimana ruang meeting Amerika pada seorang karyawan wanita yang sedang memfotokopi materi di bilik kiri.
“Oh kebetulan saya juga mau ke ruang meeting Amerika. Kamu bareng saya, aja.”, begitu jawabnya saat Dinda bertanya. Nada suaranya sangat ramah. Rasa gugup Dinda perlahan hilang.
‘Mungkin cuma perasaanku saja. Orang disini kaya-nya ramah - ramah.’, ujarnya.
“Makasih, mba.”, jawab Dinda singkat sambil mengikuti mba yang tadi.
“Kamu baru, ya? Saya belum pernah lihat.”, Dia masih sibuk mengubah - ubah urutan kertas yang ada di tangannya.
“Oh iya mba, saya intern baru untuk divisi `Digital and Development’.”, jawab Dinda singkat. Dia masih belum terbiasa. Daripada dianggap sok akrab, Dinda memilih singkat sesuai pertanyaan.
“Ahh.. divisi sebelah, ya. Kebetulan Head-nya lagi gak ada, tuh.”, jawab mba itu santai.
“Ohiya, aku Rhea. Aku Assistant Manager di Divisi Analytics. Dulu aku juga intern kaya kamu. Biar gak tegang. Bahasanya aku ubah, ya. Anyway, kita akan banyak ketemu juga nanti di pekerjaan. Meskipun gak sering. Nah, ini dia ruang meeting Amerika. See you later, ya.”, wanita yang bernama Rhea itu langsung masuk dan mengambil duduk.
Ruangan itu sangat besar, tetapi hanya ada beberapa bangku di dalamnya. Setidaknya setengah dari kapasitas orang yang hadir. Dinda sudah bisa tahu kalau yang duduk pasti mereka yang memiliki jabatan saja. Seperti halnya Rhea. Dia sudah siap dibangku tengah. Sebelum itu, dia tadi meletakkan bahan yang ia print di atas meja depan.
Satu per satu karyawan mulai memasuki ruangan dan mengisi kursi yang ada. Terpantau masih ada beberapa tempat duduk yang kosong, tetapi banyak yang tidak berani mendudukinya. Tak lama berselang, muncul beberapa karyawan lain yang dari penampilannya sudah pasti para bos - bos besar selevel Manager. Diantara mereka ada yang menepuk bahu Dinda. Seorang wanita dengan perawakan tinggi dan jenjang, heel berwarna abu - abu, jas simpel dan sebuah kopi di tangannya. Persis seperti model. Rambutnya halus panjang dan berwarna pirang. Sepertinya sengaja dicat.
Ia juga menggunakan nail-art yang tidak biasa untuk ukuran karyawan. Nail artnya berwarna warni dan ada sedikit ornamen tapi karena terlalu kecil, Dinda tidak bisa mengenalinya. Pakaiannya seksi, roknya dibawah lutut tetapi ada belahan sampai sekitar 5 cm diatas lutut.
Dinda langsung mengenali orang itu. Dia adalah supervisor-nya. Manager yang beberapa waktu lalu mewawancarainya.
Dinda langsung tersenyum sambil menyambut tangan wanita itu. Dinda hampir saja tidak mengenalinya, karena penampilannya sedikit berbeda dari pertama kali mereka bertemu. Rambutnya memang sudah pirang, tetapi saat itu dia tidak mengenakan pakaian rapi dan rambutnya juga digulung ke atas serta berkaca - mata.
“Selamat bergabung ya, Dinda. Kita meeting dulu, nanti saya akan brief kamu setelah ini. Di dengerin aja dulu, ya. Sama jangan kaget, ya.”, tuturnya sambil tersenyum dan meninggalkan Dinda untuk mengambil duduk di salah satu bangku. Y
Ia duduk di samping seorang laki - laki. Ia mengenal laki - laki itu. Meski tak begitu memahami posisinya, tetapi dia memiliki level yang lebih tinggi dari pada supervisor Dinda tadi di tim Digital and Development. Kebetulan, dia juga mewawancarai Dinda saat proses rekrutmen. Lebih tepatnya menjadi juri untuk semua pelamar yang masuk dalam kandidat shortlisted sebanyak 20 orang.
Meskipun tidak sama, tetapi perkataannya persis seperti HRD tadi. Sebenarnya akan terjadi apa sih di meeting ini. Begitu kira - kira pikiran Dinda.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 274 Episodes
Comments
Uchy Suci
blaster? mungkin blazer 🤭
2024-02-10
0
Risma Rismawati Gamstick
kayaknya asyik😊
2023-02-08
1