Perjuangan Abimanyu untuk mendapatkan kembali cinta Renata, sang istri yang telah berulang kali disakitinya.
Tidak mencintai gadis yang menjadi wasiat terakhir ibunya membuat Abimanyu seringkali menyiksa dan menyakiti hati Renata hingga berkali-kali.
Akankah Bima bisa kembali mendapatkan cinta istrinya? Sementara hati Renata telah mati rasa akibat perbuatan Abimanyu yang telah menyebabkan buah hati dan ibunya meninggal dunia.
"Mas Bima-"
"Panggil aku Tuan seperti biasanya, karena kau hanyalah seorang pembantu di sini!"
"Ta-tapi Mas, kata Nyonya-"
"Ibuku sudah meninggal. Aku menikahimu karena keinginan ibuku, jadi kau jangan berharap dan bermimpi kalau aku akan menuruti keinginan ibuku untuk menjagamu!"
"I-iya, Tu-Tuan ...."
Yuk! Ikutin ceritanya, jangan lupa siapin tisu karena novel ini banyak mengandung bawang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazwa talita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 MENGANTAR RENATA
''Aku akan mengantarmu!"
"Tu-Tuan ...." Renata menatap tak percaya pada Bima. Laki-laki itu tiba-tiba sudah berada di depannya dengan sepeda motor yang biasa dipakai oleh Mang Udin.
"Cepat naik!"
Bima memberikan ponsel Renata. Pria itu memakai helm memberikan helm satu lagi untuk Renata. Pria itu membantu Renata memasang pelindung kepala itu.
Sementara Renata terus mengumpat dalam hati.
"Cepat naik, Renata! Kau bilang tidak ingin terlambat bukan?" Bima menatap tajam ke arah istrinya.
Sementara Renata berdecak sebal.
'Apa-apaan pria ini? Kenapa tiba-tiba dia jadi seperti ini?'
"Renata."
Renata segera naik ke atas motor. Perempuan cantik itu mau tidak mau, akhirnya menuruti keinginan Bima.
Motor itu melaju meninggalkan rumah besar Abimanyu. Bima meraih tangan Renata agar perempuan itu berpegangan pada pinggangnya.
Renata terus menerus merutuki detak jantungnya yang menggila. Berkali-kali dia menarik napas panjang untuk menetralkan perasaannya.
'Tenang, Renata, tenang! Jangan terbawa suasana. Kau harus melupakan pria itu secepatnya, jangan baper!'
Renata terus menyugesti dirinya. Kenyataan yang selama ini dia lihat di depan mata terus memaksanya untuk melupakan Bima. Dia tidak mungkin mengharapkan Bima yang jelas-jelas mencintai Shinta.
Meskipun saat ini laki-laki itu tiba-tiba berubah baik, dia tidak boleh terlena dan luluh.
Bima menjalankan motornya dengan kecepatan sedang karena jalanan pagi itu sangat padat. Laki-laki itu tersenyum tipis saat menyadari kalau Renata saat ini memeluknya dari belakang.
Ada perasaan aneh yang tidak bisa digambarkan oleh Bima. Entah perasaan apa, yang jelas, pria itu merasa senang bisa berdekatan dengan Renata.
Sementara Renata justru sedang berusaha mengendalikan hatinya dan detak jantungnya yang menggila.
'Sial! Sial! Sial ...!'
"Berhenti di depan sana!" Renata berteriak sambil menepuk pundak Bima.
Bima menganggukkan kepala, kemudian melajukan motornya ke arah yang ditunjukkan oleh Renata.
Sebuah kafe yang cukup terkenal. Bima bahkan mengenal pemilik kafe itu.
"Kenapa berhenti di sini?" Bima melepaskan helm yang menutupi kepalanya. Sementara Renata turun dari motor tanpa menjawab pertanyaan Bima.
Pria itu membantu melepaskan helm dari kepala Renata.
"Kenapa berhenti di sini?" ulang Bima.
"Aku bekerja di sini."
"Kau bekerja di sini? Di kafe ini?" Bima tampak terkejut mendengar ucapan Renata.
Renata mengangguk sebagai jawaban. Namun, wajahnya berubah kesal.
"Memangnya kenapa kalau aku bekerja di sini?"
"Kafe ini-"
Bunyi klakson mobil yang baru saja masuk ke parkiran kafe itu menghentikan ucapan Bima.
"Mobil Aldrian?"
Bima menatap Renata, wajah tampannya yang awalnya terkejut berubah marah saat melihat mobil Aldrian terparkir di sebelah motor yang ditumpanginya.
"Jadi selama ini kau tinggal bersama Aldrian?"
"Apa?"
"Tinggal bersama Aldrian? Apa maksud, Tuan?" Mendengar ucapan suaminya, Renata yang semenjak dari rumah sudah merasa kesal, bertambah geram.
"Tuan pikir, aku perempuan apaan? Aku tidak seperti Tuan yang baru seminggu menikah tapi sudah mau punya calon anak!"
"Kau ...!" Kedua mata Bima membola.
"Kenapa? Aku benar bukan?"
"Kalau kau memang tidak tinggal bersama dia, lalu kenapa dia ada di sini?"
Renata mengusap wajahnya kasar. Percuma saja bicara dengan orang yang bisanya cuma marah-marah tanpa berpikir dengan jernih.
Buang-buang tenaga!
Renata menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati dan amarahnya yang sedari tadi ingin meledak.
"Sebaiknya Tuan pulang saja, nanti istri Tuan marah."
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Renata!"
"Tuan berpikiran terlalu jauh. Jangan samakan saya dengan Tuan dan Nona Shinta yang bisa melakukan apapun dengan sesuka hati." Renata menatap tajam ke arah Bima.
"Walaupun Tuan tidak mengakui saya sebagai istri Tuan, selama saya masih terikat pernikahan dengan Tuan Bima, tidak mungkin saya bersama pria lain. Saya masih punya harga diri, dan perlu Tuan ingat, saya bukan perempuan murahan!" Renata kembali menatap pria itu dengan penuh amarah, kemudian bergegas meninggalkan Bima dengan rasa nyeri yang menyelinap ke hatinya.
Terbersit rasa kecewa dalam hati, saat pria yang menjadi suaminya itu tidak mempercayai dirinya.
Kenapa kau begitu menyebalkan?
"Renata!" Bima mengejar perempuan itu.
"Mau apa lagi?"
"Kau pulang jam berapa? Aku akan menjemputmu."
"Tidak usah sok baik."
"Rena ... aku hanya ingin menjemputmu, apa itu salah?"
"Memangnya Tuan bisa menjemput saya sementara istri baru Tuan terus saja menempel pada Tuan?"
"Renata!"
Renata menghela napas. Percuma saja melawan pria keras kepala di depannya ini.
"Aku pulang jam sepuluh malam."
"Aku akan menjemputmu."
"Kalau Tuan belum datang, aku akan pulang duluan!" Renata berlalu dari hadapan Bima.
Sementara dari dalam mobil, Aldrian sedari tadi memperhatikan perdebatan mereka berdua.
Bersambung ....