ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#4
Wei Li baru benar-benar menyadari betapa menjijikkannya dunia ini ketika ia melihat bagaimana orang-orang tersenyum. Bukan sebuah senyum ramah. Bukan juga senyum tulus. Senyum yang dipakai seperti pakaian mahal dipilih dengan hati-hati, disesuaikan dengan situasi, lalu dilepas begitu tidak diperlukan.
Pagi itu, Wei Li duduk di sofa ruang tamu mansion Lu Xian Yue sambil memegang cangkir teh yang bahkan rasanya tidak ia kenali. Pahit. Hangat. Mahal. Ia tidak yakin apakah ia menyukainya atau hanya berpura-pura demi terlihat pantas. Di seberangnya, Han Jae Hyun berdiri sambil memegang tablet. “Jadwal hari ini,” katanya santai. “Makan siang amal, jam tiga pertemuan sosial dengan istri-istri investor, dan ohh, ini bagian favorit saya kunjungan Shen Yu An.”
Wei Li hampir menyemburkan tehnya.“Apa!?” Jae Hyun mengangguk sambil menekan layar tabletnya. “Dia bilang ingin memastikan kondisi Nyonya setelah pingsan. Katanya sih… khawatir.”
Wei Li mendengus pelan. “Khawatir pantatnya.” Jae Hyun tersenyum puas. “Ah. Nada bicara itu. Saya yakin Nyonya sudah benar-benar pulih.”
Wei Li meliriknya. “Kamu nggak curiga aku berubah?” Jae Hyun menatapnya sekilas, lalu mengangkat bahu. “Semua orang berubah. Biasanya karena trauma. Biasanya juga karena hampir mati.” Ia mendekat sedikit ke arah Wei Li, menurunkan suara. “Dan jujur saja, versi Nyonya yang sekarang… lebih mudah diajak kerja sama.”
Wei Li terkekeh pendek. “Itu pujian paling aneh yang pernah gue eh aku terima.” Jae Hyun tersenyum. “Saya spesialis pujian aneh.” beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu depan. Teratur. Ringan. Seolah pemiliknya tidak pernah terburu-buru oleh apa pun di dunia. Wei Li menegakkan punggung secara refleks. “Dia datang,” gumam Jae Hyun.
Pintu terbuka. Dan di sanalah Shen Yu An berdiri. Gaun putih pucat membalut tubuhnya dengan anggun. Rambutnya dibiarkan terurai, wajahnya dihiasi senyum lembut yang tampak… sempurna. Terlalu sempurna, sampai terasa palsu jika diperhatikan cukup lama. Wei Li mengenalnya. Bukan secara pribadi tapi dari ratusan halaman novel. Wanita ini adalah pemeran utama. Wanita “baik”. Wanita yang dicintai Kun A Tai.
Dan juga wanita licik yang membunuh dengan tangan bersih. “Xian Yue,” kata Shen Yu An lembut, suaranya seperti kapas. “Syukurlah kau sudah sadar.” Wei Li berdiri. Senyumnya tipis. Datar. Tidak hangat.
“Sayangnya aku belum mati,” jawabnya. Senyum Shen Yu An sempat membeku sepersekian detik. Sangat singkat. Tapi Wei Li melihatnya. Menarik. “Aku sungguh khawatir,” lanjut Shen Yu An, seolah tidak mendengar. “Saat mendengar kau pingsan, aku hampir tidak bisa tidur.”
“Hebat,” kata Wei Li. “Aku malah tidur nyenyak.” Jae Hyun menunduk, bahunya sedikit bergetar menahan tawa. Shen Yu An menatap Wei Li lebih saksama sekarang. Tatapannya bukan lagi sekadar perhatian melainkan seperti pengamatan. “Kau terlihat berbeda,” katanya dengan hati-hati. “Lebih… tenang.” lanjut Shen Yu An
Wei Li menyilangkan tangan. “Orang yang berhenti peduli biasanya terlihat begitu.” Keheningan jatuh sejenak. Shen Yu An tersenyum lagi. “Aku harap kau tidak menyalahkanku atas kejadian kemarin. Kita semua tahu… emosimu sering sulit dikendalikan.” Wei Li mengangkat alis. Ah. Jadi ini caranya.
Membungkus pisau dengan pita. “Emosiku?” Wei Li mengulang pelan. Shen Yu An mengangguk kecil. “Aku hanya khawatir kau akan kembali menyalahkan orang lain.” Wei Li menatapnya lurus. Tidak marah. Tidak tersenyum.
“Aneh,” katanya. “Aku baru sadar, aku capek menyalahkan siapa pun.” Shen Yu An berkedip. Jelas tidak mengharapkan jawaban itu.
“Kau tidak mencoba membela diri,” kata Shen Yu An pelan. Wei Li mengangkat bahu. “Untuk apa? Aku tahu apa yang kulakukan. Aku juga tahu apa yang tidak kulakukan.” Kalimat itu terdengar biasa. Tapi bagi Shen Yu An itu seperti ancaman.
Shen Yu An tersenyum lebih lebar. “Aku senang mendengarnya.” Wei Li membalas dengan senyum kecil. “Aku tidak.” Percakapan itu berakhir tanpa teriakan, tanpa drama. Tapi udara di ruangan terasa berat. Seperti sesuatu yang tak terlihat sedang saling menekan.
Setelah Shen Yu An pergi, Wei Li menjatuhkan diri ke sofa. “Sial,” gumamnya. “Dia lebih menyebalkan dari yang gue kira.” Jae Hyun duduk di kursi seberangnya. “Biasanya orang seperti itu berbahaya.”
“Biasanya?” tanya Wei Li tanpa menoleh ke arah Jae Hyun “ya ini,” lanjut Jae Hyun, “berbahaya dengan sebuah senyuman”
Wei Li menghela napas. “Di novel, gue mati gara-gara cewek itu.” Jae Hyun mengernyit. “Maaf?”Wei Li menoleh cepat. “Apa?”
“Barusan Nyonya bilang ‘di novel’?” tanya Jae Hyun lagi Wei Li terdiam. Jantungnya berdegup lebih cepat.
“Lelucon,” katanya cepat. “Aku kebanyakan baca novel.” Jae Hyun menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. “Baik.” Tapi Wei Li tahu. Ia tidak sepenuhnya percaya.
Malam itu, Wei Li berdiri di balkon kamarnya, menatap kota yang diselimuti lampu-lampu keemasan. Dunia ini indah. Kejam. Penuh uang dan darah. Dan ia berdiri tepat di tengahnya bukan sebagai pemeran utama, bukan pula sebagai figuran. Melainkan kesalahan dalam alur cerita.
Di tempat lain, Shen Yu An duduk di dalam mobilnya, menatap bayangannya di kaca. “Lu Xian Yue,” gumamnya pelan. “Kau berubah.” Tangannya mengepal. “Dan aku tidak menyukai itu.”