Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Pagi itu, Salwa sudah berdiri di lobi hotel saat Beny menarik tasnya sambil buru-buru keluar. “Gue antar lo ke rumah Maira, biar bisa ambil motor,” katanya sambil menatap jam di pergelangan tangannya. Salwa hanya mengangguk, matanya masih mengantuk tapi tak mau menolak.
Begitu Beny mengajak Salwa langsung menuju sebuah tempat, Salwa terpaksa meninggalkan motornya yang biasa di belakang hotel. “Tenang, gue suruh Dito ambil motor lo di kafe dekat kampus, ntar juga dikirim,” Beny meyakinkan. Salwa menghela napas, merasa repot tapi tak ingin banyak bertanya.
Setelah itu, mereka berpisah ke jurusan masing-masing, menyesuaikan jadwal mata kuliah pagi itu. Salwa sibuk mencatat di kelas, pikirannya melayang pada rumah yang belum ia kunjungi semalam. Ia bergegas pulang setelah kuliah, menekan kecemasan di dadanya. Tak ingin kakaknya, Wanda, tahu kalau Salwa menginap di luar. Wanda pasti masih lembur malam ini, seperti biasa. Kebiasaan kakaknya yang bekerja hingga larut sudah membuat Salwa hapal betul ritme hidup itu sebuah rahasia kecil yang selalu ia simpan rapat.
Dan benar saja, ketika Salwa tiba di rumah, ia hanya menemukan keheningan. Kakaknya belum pulang. Jam di dinding menunjukkan waktu semakin sore. Tepat ketika matahari mulai merunduk, pintu depan terbuka. Wanda melangkah masuk dengan langkah pelan, melepaskan sepatunya satu per satu sambil duduk di kursi kayu. Wajahnya yang letih tampak kontras dengan penampilannya yang modis dan rapi, jauh berbeda dengan gaya sederhana Salwa.
“Baru pulang, Kak?” tanya Salwa sambil menatap kakaknya dengan mata penuh prihatin. Wanda menghembuskan napas panjang, mengusap dahi yang berkeringat.
“Huum, capek juga sih, kuliah sambil kerja. Untung hari ini libur, bisa tidur panjang dari pagi sampai sore. Tapi malam ini harus kerja lagi,” jawab Wanda dengan suara serak. Salwa mengernyit, hatinya terenyuh melihat kakak yang sibuk terus tanpa henti. Ia merasakan beban berat di pundak Wanda.
“Kalau kakak mau, aku pijitin, ya? Kan kakak kerja lembur sampai pagi. Aku sebagai adik harus bisa ngerti,” kata Salwa lembut, menawarkan kehangatan sederhana di tengah kesibukan itu.
"Salwa merunduk, matanya berkaca-kaca saat memandang kakaknya. "Aku takut kak Wanda sakit karena kecapean. Aku juga mau kerja kayak kakak. Bolehkah aku ikut malam ini?" suaranya bergetar, penuh harap.
Wanda menggeleng cepat, bibirnya menekan tipis. "Tidak boleh, Salwa. Biar kakak saja yang bekerja. Tugas kamu cuma belajar, supaya nanti bisa masuk sekolah kedokteran."
Salwa menunduk pelan, bibirnya mengerut kecewa. Namun, tiba-tiba wajah Wanda berubah lembut, senyumnya mengembang selebar mungkin. "Nanti sore Salsa mau jemput kakak ya? Malam ini kakak tidur di rumah Salsa. Ayahnya lagi keluar kota, katanya."
Salwa tersenyum kecil, rasa sayang kakaknya menghangatkan dadanya meski malam ini penuh rahasia yang belum terucap. Wanda menarik napas dalam, lalu mengusap rambut adiknya dengan penuh kasih sayang.
"Sekarang kakak cuma mau bobok manis dulu. Bangunkan kakak jam lima sore ya, soalnya kakak harus siap-siap lembur sampai pagi."
Wanda mengangguk lembut, matanya menatap Salwa penuh pengertian. "Kalau di rumah aku, kakak sih ijinin. Soalnya kakak sudah kenal kamu, Sal. Kamu anak baik, kan? Boleh kok berteman sama Salsa." Senyum tipis mengembang di bibir Salwa, hatinya langsung berbinar. Malam ini bakal seru, pikirnya. Nonton drakor romantis bareng Salsa tentu jauh lebih asyik daripada nonton sendirian di rumah.
"Salwa, jadilah anak yang baik, ya," ujar Wanda sambil mengusap kepala Salwa.
"Belajar rajin supaya impian kamu jadi dokter bisa tercapai. Jangan kayak kakak yang..." Wanda terhenti, ekspresinya berubah agak berat tapi ia enggan melanjutkan kalimat itu. Salwa menatap Wanda dengan penuh kekaguman.
"Kak Wanda hebat banget, kok. Bisa bagi waktu antara kerja, kuliah, dan perhatian ke aku. Aku pengen seperti kakak, mandiri, biar gak merepotin kakak terus." Wanda mengerutkan alis dan suaranya lebih tegas,
"Gak boleh, Sal! Tugas kamu cuma belajar dan main. Urusan cari uang itu kakak yang urus. Titik!" Salwa menatap tajam, sedikit mendesah,
"Tapi kak, aku juga pengen punya uang sendiri seperti kakak." Matanya bersinar, penuh harap yang sulit tersembunyikan.
Wanda menggeleng cepat, suaranya tegas tapi penuh perasaan, "Tidak boleh! Aku nggak ijinin kamu kerja kayak kakak, oke?"
Salwa tanpa ragu langsung melompat, memeluk kakaknya erat-erat. Pelukan itu lama, seolah ingin menyampaikan seluruh rasa haru dan tekad yang sudah membara dalam hatinya. Di balik pelukan itu, Salwa menyimpan niat kuat: dia akan kerja apa saja asal halal, meski harus sembunyi-sembunyi. Jadi asisten rumah tangga atau buruh cuci baju dan setrika, itu pilihan yang dia siap jalani.
Saat malam mulai merayap, Salwa sudah duduk di ruang tamu rumah Salsa. Keduanya, gadis remaja yang masih bersekolah, tenggelam dalam drama Korea favorit mereka, mata mereka terpaku ke layar sambil sesekali mengunyah cemilan.
Tiba-tiba, suara Salsa terdengar dari handphonenya, "Aku sudah makan, Ayah! Kamu nggak perlu khawatir."
Di ujung sana, suara Marcos, ayah Salsa yang penuh perhatian, menjawab dengan lembut,
"Oke, baiklah! Nanti setelah ini ayah transfer uang ke rekening kamu. Kamu bisa jajan makanan kesukaan kamu."
Salwa memperhatikan percakapan itu dengan sedikit cemburu tapi juga lega, menyaksikan bagaimana ayah sang sahabat begitu memanjakan putrinya, sesuatu yang dia sendiri sedang perjuangkan untuk dimiliki.
"Tidak usah, Ayah. Uang yang Ayah beri kemarin masih ada kok," sahut Salsa sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa enggan menerima lebih. Ayah Marcos tertawa kecil lewat telepon.
"Tidak apa-apa, kamu bisa traktir teman-temanmu. Bukankah berbagi itu indah, hehe." Salsa menghela napas pelan.
"Kalau dipaksa juga nggak apa-apa sih. Sore ini aku akan jemput Salwa di rumah, nanti kita makan di luar. Malam ini temanku menginap di rumah," jelasnya sambil menggenggam erat ponsel.
"Kalau begitu boleh saja, tapi Ayah mungkin nggak bisa pulang nanti. Ada kerjaan di luar," suara Marcos terdengar sedikit berat di ujung sana. Salsa tersenyum kecil, sedikit lega.
"Tidak apa-apa, Ayah. Sudah ada Salwa yang menemani aku di rumah malam ini."
"Oke, Ayah tutup telepon dulu ya, jaga diri baik-baik dan ingat jangan makan makanan terlalu pedas," pesan Marcos dengan suara penuh perhatian.
"Siap, bos! Bye, Ayah!" sahut Salsa ceria.
Di ujung ruangan, Salwa menatap Salsa dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Iri dan sunyi menyelimuti hatinya berbeda dengan Salsa yang masih punya Ayah untuk diajak bicara. Salwa menelan ludah, berusaha menahan rindu yang tak pernah lekang meski waktu terus berjalan.
Salwa menatap Salsa dengan mata yang sedikit menyipit, ragu dan sulit percaya.
"Kamu beruntung punya ayah yang perhatian sama kamu, ya," keluhnya pelan, suaranya hampir berbisik. "Sedangkan aku...?" Salsa menggeleng, wajahnya serius tapi hangat.
"Aku ada kok, aku yang peduli sama kamu. Ayahku juga bisa jadi ayahmu, gimana?" Dia mengulurkan tangan seolah menawarkan sebuah harapan.
"Anak angkat?" tanya Salwa, nadanya setengah tak yakin.
"Iya. Kamu senang, kan, jadi saudara aku? Aku tinggal sendiri di rumah ini. Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal bareng aku. Aku pikir kakakmu nggak keberatan," jelas Salsa dengan senyum tulus. Diam, Salwa menahan rasa haru yang mulai merayap di dada. Sudah lama dia tidak merasakan hangatnya kasih sayang seperti ini. Sesuatu yang dulu ia kira hanya mimpi belaka.
Salsa menatap Salwa dengan mata berbinar, senyum tulus mengembang di bibirnya.
“Besok aku akan ngomong sama ayah, supaya dia resmi angkat kamu jadi anaknya,” ucapnya pelan tapi penuh harap. Ia mengeluarkan ponsel dari tas, membuka aplikasi perbankan.
“Oh iya, ayah juga sudah transfer uang ke rekeningku. Jadi untuk makan malam, kita delivery saja ya? Kita pesan makanan favoritmu.”
Salwa mengunyah cemilan sambil mengangguk santai. “Terserah kamu aja, Salsa. Aku makan apa saja yang penting kenyang,” jawabnya, suara datar tapi ada sedikit kehangatan di sana.
Salsa menggenggam tangan Salwa sebentar, berusaha menyuntikkan semangat.
“Pokoknya malam ini kamu makan sepuasnya, ya. Aku akan pastikan pesan semua yang enak-enak buat kamu.” Matanya tak lepas dari wajah Salwa, berharap malam ini bisa sedikit menghapus letih di hatinya.
Gadis itu dengan sigap membuka aplikasi pesan antar, jarinya cekatan memilih menu makanan dan minuman kekinian favorit untuk Salwa dan dirinya sendiri. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tulus hati terukir jelas dalam setiap niatnya.
Di sekolah, Salsa tak pernah pelit. Setiap kali makan siang, dia dengan ringan mentraktir Salwa tanpa banyak hitung-hitungan, seolah itu sudah kewajibannya sebagai sahabat. Balik lagi, Salwa pun tak kalah sigap menjaga Salsa, terutama saat ada teman-teman lain yang kerap mengusiknya.
Persahabatan mereka seperti dua sisi mata uang, saling mengisi dan melindungi. Salsa tahu betul luka di hati Salwa, yang hanya punya kakak setelah kedua orang tuanya tiada. Sedangkan dia, Salsa, masih beruntung memiliki ayah kaya raya yang sukses menjalankan bisnis keluarga. Perbedaan itu tak pernah membuat mereka terpisah, malah makin mempererat ikatan tanpa perlu kata-kata..
*****
Lina memanggil dengan suara pelan, "Marcos."
Pria itu langsung mengalihkan pandangannya, matanya seketika melebar saat melihat sosok Lina berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Dahulu, Lina bukan hanya sekretarisnya, tapi juga kekasih yang pernah begitu dekat. Namun, jarak dan pilihan Lina mengejar karier sebagai model di luar negeri memisahkan mereka.
Lina melangkah masuk dengan langkah panjang dan anggun, seperti berjalan di catwalk. Tanpa ragu, dia merangkul tubuh Marcos erat. "Aku rindu kamu, Marcos. Aku pulang dari luar negeri demi kamu," suaranya bergetar di dada pria itu.
Marcos menepis pelukan itu perlahan, sorot matanya keras. "Sudahlah, Lina. Bukankah kamu yang memilih pergi dan mengakhiri semuanya dulu? Aku nggak mungkin terima kamu kembali."
Wajah Lina mengecil, tapi dia tak melepas pelukannya begitu saja.
Lina menatap mata Marcos dengan penuh harap, suaranya bergetar, “Marcos, tolong maafkan aku! Aku salah. Aku ingin kita kembali seperti dulu.”
Tanpa pikir panjang, Lina merangkul pinggang pria itu, memeluknya erat seolah takut melepasnya. Marcos menahan diri, matanya tertutup pelan, sulit sekali melepaskan pelukan hangat itu. Lina tahu betul bagaimana cara merayu, bagaimana menaklukkan hati yang sempat terluka.
“Aku tahu kamu masih cinta sama aku,” bisik nya, jari lembutnya mengusap pipi Marcos. “Asisten pribadimu bilang, kamu belum punya pacar, belum menikah. Kamu masih sulit melupakan aku, kan?”
Napas Ku dalam Marcos terdengar berat. Perlahan ia melepaskan pelukan Lina, menundukkan kepala, kemudian duduk kembali di kursi kerjanya. Lina mendesak lagi dengan nada manis dan sedikit memelas, “Ayo, Marcos. Kita rayakan pertemuan ini di kafe. Sudah lama kita nggak minum bareng. Aku juga belum makan malam, lho.”
Matanya kembali menyapu Marcos, seolah mencari celah untuk melemahkan ketegasan pria itu. Marcos menatap Lina, rasanya ingin menyerah, tapi kerasnya masa lalu menahan langkahnya.
"Baiklah! Cukup makan dan minum saja. Aku tidak mau yang lain lagi," suara Marcos terdengar tegas, tapi ada getar tak terlihat di balik kata-katanya. Lina tersenyum lebar, namun senyum itu menyimpan tekad membara. Dia siap melakukan apa pun, melewati batas sekalipun, hanya untuk menaklukkan kembali hati pria yang pernah menjadi miliknya.
Dalam diam, Lina membayangkan strategi yang akan dia lancarkan, sebuah pertempuran tanpa suara, penuh tipu daya dan harapan yang tak pernah padam. Karena kali ini, dia tak akan membiarkan Marcos pergi begitu saja..
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪