NovelToon NovelToon
Hilangnya Para Pendaki

Hilangnya Para Pendaki

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Irmann Nhh

Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.

Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.

Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.

Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.

Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 4 – Seseorang Berubah, Entah Sejak Kapan

Nggak ada yang bicara selama perjalanan turun. Fokus cuma satu: keluar dari hutan secepat mungkin tanpa bikin kesalahan. Kepala nunduk, sorot lampu stabil, langkah pelan tapi pasti. Tapi pikiran di dalam kepala nggak bisa pelan. Semua penuh tanda tanya, ketakutan, dan perasaan… diawasi.

Kami jalan udah lama banget. Rasanya kayak lebih lama daripada waktu pas naik. Tapi begitu sampai di turunan kecil dekat sungai kering… aku berhenti sendiri. Bukan karena capek.

Tempat ini aku ingat.

Tadi pas kita naik, aku sempat ngerem di sini gara-gara tali carrier nyangkut di ranting.

Itu artinya… kita belum jauh dari basecamp.

Arif langsung senyum lega. “Ya Tuhan… tinggal dikit lagi. Kita selamat.”

Dimas juga terdengar lega walau masih tegang. “Terus, terus. Jangan berhenti.”

Tapi ketika kami lanjut, langkah Lintang tiba-tiba goyah. Dia hampir jatuh ke tanah.

“Lin!” Aku langsung pegang lengannya.

Lintang berdiri lagi, tapi wajahnya pucat banget. Tangannya dingin kayak es.

“Gue… nggak enak badan,” katanya lirih. “Kayak… kepala berat.”

Sari langsung panik, tapi menahan diri. “Lin, lu dehidrasi? Atau gula darah?”

Lintang menggeleng. “Nggak. Ini… bukan sakit biasa.”

Dia memegang dadanya, tepat di dada kiri. Matanya melotot pelan, seolah dia merasakan sesuatu yang nggak bisa dijelaskan.

Dimas, meskipun masih takut, akhirnya berusaha mikir. “Kita istirahat sebentar. Habis itu turun lagi.”

Tapi Arif geleng keras. “Nggak. Jangan berhenti di sini. Jangan di tempat yang sama dua kali. Kita harus ke bawah.”

Lintang terduduk di tanah, napasnya terputus-putus.

“Tadi… ada yang nyentuh gue,” gumamnya.

Semua berhenti.

“Di mana?” tanyaku.

Lintang nggak nunjuk. Dia cuma nutup mata dan air matanya keluar tanpa suara.

“Di bahu,” katanya pelan. “Sebelum kabut hilang tadi. Ada tangan. Berat. Dingin. Kayak… mastiin gue tetap di belakang.”

Kami semua merinding sampai tulang.

Lintang buka mata, tapi cara dia mandang aneh. Bukan kayak orang kesurupan atau trance… lebih kayak orang yang melihat sesuatu yang kita nggak bisa lihat.

“Gue tahu dia pilih siapa,” bisiknya.

“Pilih apa, Lin?” Dimas tanya, suara hampir habis.

Lintang menjawab tanpa ekspresi.

“Pilih siapa yang bakal tinggal.”

Sari langsung menjerit kecil dan tutup mulutnya sendiri.

Arif mulai terisak, entah marah, takut, atau campuran. “Jangan ngomong gitu! Kita berlima turun, titik! Kita turun semuanya!”

Lintang ngelihat Arif lama. “Nggak semua orang boleh pulang dari gunung ini. Itu aturannya.”

Aku langsung mengguncang bahunya. “Lintang! Denger gue! Kita turun bareng. Nggak ada yang ditinggal.”

Lintang seperti sadar sepersekian detik… lalu pandangannya balik kosong lagi.

“Raka… lu denger, kan? Dari tadi. Langkahnya.”

Aku refleks lihat kiri-kanan — padahal udah tahu itu percuma.

Lintang lanjut, suaranya pelan tapi jelas.

“Sepanjang turun… langkah ke-enam itu cuma kedengeran kalau langkah Sari ada. Kalau Sari berhenti, langkah itu hilang.”

Sari langsung pingsan duduk, wajahnya pucat kayak kertas.

Arif teriak marah, “LU MAU NGOMONG APA SIH SEBENARNYA?!”

Lintang memejamkan mata, menelan ludah kering.

“Dia ngikutin Sari. Dari awal.”

Suara Sari pecah. “Kenapa aku? Aku nggak ngapa-ngapain… aku bahkan nggak nyentuh apa pun di sini…”

Lintang menunduk, dan kata-katanya bikin darahku dingin:

“Di dunia gunung… pilihan nggak selalu karena salah. Kadang karena cocok.”

Dimas nggak kuat lagi. Dia bangkit, panik, marah, frustasi — semuanya jadi satu.

“Kita turun SEKARANG! Gue nggak mau denger omongan mistis lagi! Kalau kalian mau percaya, terserah! Gue nggak peduli apa kata orang, gue nggak peduli kabut, nggak peduli jejak, gue turun MALAM INI!”

Dimas narik carrier dan jalan cepat ke bawah.

“Dimas! Jangan pisah!” Aku teriak.

Dia nggak denger — atau pura-pura nggak denger. Dia cuma jalan, makin jauh, lampu headlampnya jadi titik kecil.

Arif ragu sebentar, tapi akhirnya nyusul. “Gue ikut Dimas! Kalian cepetan di belakang!”

Aku bantu Sari berdiri. Dia gemetar tapi bisa jalan.

Tinggal Lintang.

“Bisa jalan?” tanyaku.

Lintang nggak jawab. Dia cuma bangkit perlahan, kepalanya sedikit tertunduk, wajahnya kosong.

“Gue bisa,” katanya. Tapi caranya bicara… datarnya bukan seperti lelah. Lebih ke… nggak peduli.

Kami bertiga jalan pelan. Tapi langkah Lintang kaku. Cara dia melangkah beda, seperti orang yang setengah sadar — atau setengah bukan dirinya.

Aku jaga Sari di kanan, Lintang di kiri.

Arif dan Dimas sudah jauh ke depan… sampai akhirnya lampu mereka hilang di antara pepohonan.

Sari menangis tanpa suara. Aku cuma bisa bilang “nggak apa-apa, nggak apa-apa” meski jelas itu bohong.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di turunan besar — ciri terakhir sebelum jalur datar menuju basecamp.

Ada dua jalur bercabang kecil:

→ kiri tanah datar

→ kanan turunan curam berbatu

Aku yakin saat naik tadi, kita ambil jalur kanan.

Aku mau ke kanan… tapi Lintang memegang lenganku kuat sekali sampai sakit.

“Jangan,” katanya.

“Kenapa?”

Lintang nggak jawab pertanyaanku. Dia cuma nunjuk lurus ke depan.

Aku narik napas… menoleh…

Dan aku lihat Dimas dan Arif berdiri di jalan datar — jalur kiri — lampu headlamp mereka menyala.

“KA! SAR! LIN! CEPET SINI!” teriak Arif.

Mereka dadah-dadah supaya kami cepat nyusul.

Sari hampir mau lari ke arah mereka, tapi Lintang memegang tangannya.

“Bukan mereka,” katanya pelan.

Aku mau marah, mau bilang Lintang cuma halusinasi. Tapi… ada satu hal kecil yang langsung bikin lututku lemas.

Dimas dan Arif berdiri… tapi bayangan mereka nggak ada.

Pohon di belakang mereka memantulkan bayangan… tapi mereka tidak.

Dan Dimas tersenyum… terlalu lebar untuk ukuran manusia.

Aku mulai mundur, menarik Sari pelan-pelan.

Lintang menutup mata dan berkata pelan:

“Kita harus pilih jalur kanan.

Yang kiri bukan untuk orang hidup.”

Dan tepat saat dia bilang itu… “Dimas” dan “Arif” di depan kami berhenti dadah.

Lalu mereka berdua menunduk… persis seperti sosok tinggi di kabut tadi.

Lambat. Serentak.

Seolah menunggu kami datang.

Aku tarik Sari dan Lintang kuat-kuat ke jalur kanan — dan kami lari tanpa menoleh.

Sari teriak, suara pecah. “DIMAS! ARIF! MAAAAAAA—”

Lintang menutup mulut Sari supaya dia nggak nengok.

Dan di belakang kami… terdengar suara dua sosok itu tertawa pelan.

Tertawanya bukan tawa manusia.

Sampai akhirnya suara itu menghilang, tergantikan suara napas kami sendiri yang hampir habis.

Tapi tepat sebelum benar-benar hilang… aku sempat dengar sesuatu:

“Yang turun nggak harus sama kayak yang naik.”

1
Roro
waduh gak mudeng aku thor
Roro
hummmm penasaran
Irman nurhidayat: sebenernya aku gak serius si ngerjain novel ini wkwk,tapi kalo misal udah baca sampe ke bab terakhir dan minta lanjut,bakal aku lanjutin si,tpi aku ada prioritas novel lain yg lebih horor lagii,pantau yaa💪
total 1 replies
Roro
🤣🤣🤣🤣🤣 kok makin kesini malah gak horor tur, malah lucu
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
Irman nurhidayat: cek novel terbaruku kak,lebih seru,seram,mudah di cerna,lebih horor dan seram 🔥🔥
total 3 replies
Roro
ahhh keren inj
Roro
lanjut besok aja, jadi merinding aku
Roro
ouu UU main horor lagi,
Roro
lah... Arif apa kabar
Roro
sulit aku mencerna , tapi seru u tuk kubaca, dan akhirnya aku faham jalan cerita
Roro: iya kek nya Thor, tapi aku tetap menikmati bacaanya
cerinya nya seru banget
total 2 replies
Roro
beuhh makin keren aja
Roro
hah... tamat kah
Roro
makin seru dan makin penasaran aku
Roro
ahhhh keten banget
Roro
gak sabar pengen tau Arif sama Dimas udah koit atau kek mana yah
geram sekali sama mereka main kabur aja
Roro
keren.. makin penasaran aku
Roro
aku doakan pembaca mu banyak Thor, aku suka banget sumpah
Irman nurhidayat: Aamiin🤲makasih yaaaaa🙏
total 1 replies
Roro
Ter amat bagus...
Irman nurhidayat: mantapp makasih rating bintang 5 nyaa😍😍
total 1 replies
Roro
aku bacanya sesak nafas,
terasa banget horor nya.
Irman nurhidayat: bisa sampe sesak nafas yaa🤣
total 1 replies
Roro
ahhh seru banget
Irman nurhidayat: Bantu share yaaa💪💪
total 1 replies
Roro
misteri...
aku suka horor
Irman nurhidayat: mantap kak lanjut baca sampai tamatt💪💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!