"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32: Prasasti Kematian Sang Pemimpin
Baskara mendekati gerbang itu dan menyadari bahwa di bawah kaki burung gagak tersebut tertulis nama lengkapnya beserta tanggal kematian yang jatuh pada hari ini. Huruf pada batu itu seolah dipahat menggunakan kuku yang sangat tajam hingga meninggalkan sisa serbuk batu berwarna hitam yang terus berjatuhan secara terus-menerus.
Hawa dingin yang sangat tajam mulai menusuk tengkuk Baskara saat ia menyentuh pahatan namanya yang terasa sangat kasar dan sangat bergetar hebat. Ia melihat ke arah Arini namun wanita itu hanya terdiam mematung dengan tatapan mata yang kosong seolah jiwanya telah tersedot ke dalam prasasti batu tersebut secara berulang-ulang.
"Apakah ini akhir dari perjalananku, Arini? Kenapa namaku sudah tertulis di sini padahal aku masih bernapas dengan sangat nyata?" tanya Baskara dengan suara yang sangat gemetar.
Tiba-tiba, ukiran burung gagak di atas gerbang batu itu mulai mengepakkan sayapnya yang terbuat dari susunan tulang belulang yang sangat kering dan sangat rapuh. Burung itu mengeluarkan suara jeritan yang sangat melengking hingga menyebabkan butiran-butiran pasir di sekeliling mereka menari-nari membentuk pusaran badai yang sangat besar secara terus-menerus.
Dari dalam pusaran pasir tersebut, muncul sosok anggota tim penyelamat yang sudah dinyatakan hilang pada hari pertama mereka memasuki hutan terkutuk ini secara berulang-ulang. Tubuh rekan mereka itu kini dipenuhi oleh lubang-lubang kecil yang menjadi sarang bagi ribuan kalajengking-kalajengking berwarna merah darah yang terus bergerak secara terus-menerus.
"Kamu terlambat, pemimpin, karena kami sudah menyiapkan tempat istirahat yang sangat nyaman untukmu di bawah gundukan pasir ini!" ucap sosok mayat rekan itu dengan nada mengejek.
Baskara mencoba mengeluarkan senjata apinya namun pasir-pasir panas itu mulai merayap masuk ke dalam laras senjata hingga menyumbat mekanisme pelatuknya secara berulang-ulang. Ia terpaksa membuang senjata itu dan mengambil sebuah tongkat besi yang biasa digunakan untuk mengukur kedalaman tanah rawa selama operasi pencarian secara terus-menerus.
Arini tersadar dari lamunannya dan segera mengeluarkan botol berisi air suci yang ia dapatkan dari kuil bawah tanah pada bab sebelumnya secara berulang-ulang. Ia menyiramkan air itu ke arah pusaran pasir hingga menimbulkan asap tebal yang beraroma seperti kulit manusia yang sedang disetrika dengan sangat panas secara terus-menerus.
"Baskara, jangan dengarkan ucapan mayat itu karena dia hanya ingin mencuri sisa keberanian yang ada di dalam hatimu!" teriak Arini sambil melepaskan segel cahaya peraknya.
Sosok mayat itu tertawa hingga kalajengking-kalajengking di tubuhnya berjatuhan dan mulai mengerubungi kaki Baskara dengan gerakan yang sangat gesit secara berulang-ulang. Baskara merasakan sengatan yang sangat panas pada pergelangan kakinya hingga ia jatuh berlutut di atas hamparan pasir yang mulai berubah menjadi kubangan lumpur hisap secara terus-menerus.
Lumpur itu mulai menarik tubuh Baskara masuk ke dalam tanah dengan kekuatan yang sangat besar seolah bumi sedang lapar akan daging manusia secara berulang-ulang. Baskara menggunakan tongkat besinya untuk menahan tubuhnya agar tidak tenggelam lebih dalam namun lumpur itu justru melilit tongkat tersebut hingga bengkok secara terus-menerus.
"Arini, selamatkan dirimu sendiri dan segera lari menuju lembah tengkorak putih sebelum gerbang ini tertutup untuk selamanya!" perintah Baskara dengan penuh pengorbanan.
Arini menolak untuk pergi dan justru melompat ke dalam lumpur hisap tersebut sambil memegang sebuah jimat pelindung yang terbuat dari anyaman rambut nenek moyang secara berulang-ulang. Jimat itu bersinar sangat terang hingga membuat lumpur di sekeliling mereka membeku menjadi kristal hitam yang sangat tajam dan sangat rapuh secara terus-menerus.
Melihat rencana mereka gagal, ukiran burung gagak itu terbang turun dan berubah wujud menjadi seorang pria tinggi tanpa wajah yang mengenakan jubah dari helai bulu gagak secara berulang-ulang. Pria itu memegang sebuah arit besar yang bilahnya terbuat dari kepingan cermin yang tadi dihancurkan oleh Baskara di dimensi sebelumnya secara terus-menerus.
"Hanya satu nyawa yang boleh melewati gerbang ini, dan aku akan membiarkan kalian memilih siapa yang akan tetap tinggal sebagai tumbal pasir!" ucap pria tanpa wajah itu.
Baskara menatap Arini dengan penuh haru karena wanita itu sudah berkali-kali mempertaruhkan nyawanya demi menemaninya menelusuri rahasia kelam keluarganya secara berulang-ulang. Ia menyadari bahwa sebagai pemimpin tim penyelamat, tugas utamanya adalah memastikan bahwa setidaknya ada satu orang yang berhasil membawa pulang kebenaran secara terus-menerus.
"Biarkan dia lewat, dan ambillah aku sebagai pengganti prasasti kematian yang sudah tertulis di atas gerbang itu!" seru Baskara sambil berdiri tegak di atas kristal lumpur.
Pria tanpa wajah itu mendekati Baskara dan menyentuh dada Baskara menggunakan ujung arit cerminnya hingga muncul pantulan masa depan Baskara yang sangat mengerikan secara berulang-ulang. Di dalam pantulan itu, Baskara terlihat sedang duduk di atas singgasana tulang sambil memegang kepala Arini yang sudah terpisah dari tubuhnya secara terus-menerus.
Baskara terkejut melihat visi masa depan tersebut dan ia menyadari bahwa setiap pilihan yang ia buat di tempat ini selalu mengandung jebakan yang sangat licik secara berulang-ulang. Ia segera menendang tangan pria tanpa wajah itu dan merebut arit cermin tersebut dengan sebuah gerakan bela diri taktis yang sangat cepat secara terus-menerus.
"Aku tidak akan memilih siapapun untuk mati, karena kami berdua akan keluar dari tempat ini dengan kekuatan kami sendiri secara berulang-ulang!" tegas Baskara sambil menghancurkan arit cermin itu ke tanah.
Hancurnya arit cermin tersebut menyebabkan guncangan hebat yang meruntuhkan seluruh gerbang batu hingga menimbun pria tanpa wajah dan mayat penuh kalajengking itu secara terus-menerus. Baskara dan Arini berlari menembus debu reruntuhan hingga mereka sampai di sebuah lembah yang dipenuhi oleh ribuan tengkorak yang semuanya berwarna putih bersih secara berulang-ulang.
Di tengah lembah tersebut, terlihat sebuah istana megah yang dibangun dari susunan tulang belulang raksasa yang masih mengeluarkan aroma wangi bunga kamboja secara terus-menerus. Mereka melihat sekelompok mahluk halus yang berpakaian seperti abdi dalem kerajaan sedang berbaris rapi menyambut kedatangan mereka di depan gerbang istana secara berulang-ulang.
Salah satu abdi dalem itu mendekat dan memberikan sebuah kotak kayu kecil yang di dalamnya terdapat sebuah kunci yang terbuat dari gigi taring kakek buyut Baskara.