Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4. HATI YANG LUPA LAPAR
..."Kadang yang hilang bukan rasa lapar di perut, tapi rasa ingin hidup di hati."...
...---•---...
"Nona Naira bilang ia tidak lapar." Ratna meletakkan nampan di konter dengan hati-hati, matanya tetap menghindari tatapan Doni.
"Ia sakit?" tanya Doni pelan.
"Tidak."
"Alergi dengan bahan tertentu?"
"Tidak juga."
"Lalu kenapa tidak makan?" Doni menunjuk mangkuk sup yang dingin itu. Ini bukan pertanyaan teknis, melainkan luapan frustrasi seorang koki yang masakannya ditolak.
Ratna akhirnya menatapnya. Untuk pertama kalinya, Doni melihat kelelahan yang tulus di mata wanita itu. "Pak Doni, Nona Naira sudah tiga bulan seperti ini. Ia makan sangat sedikit, kadang tidak makan sama sekali. Kami sudah mencoba berbagai koki sebelumnya, berbagai menu, tapi hasilnya tetap sama. Jadi tolong jangan diambil hati. Ini bukan soal masakan Bapak."
Doni terdiam. Ini tentang seseorang yang kehilangan kemauan untuk menerima kehangatan.
Ia pernah ada di titik itu, setelah Sari meninggal. Tiga bulan pertama, setiap makanan terasa seperti abu di lidah. Setiap suapan seperti pengkhianatan karena Sari tidak bisa lagi menikmati apa pun.
"Saya mengerti," ucapnya akhirnya, suaranya nyaris berbisik. "Untuk makan malam, saya akan coba menu yang berbeda."
Ratna mengangguk. "Terserah Bapak. Makan malam jam enam sore."
Setelah Ratna pergi, Doni menatap mangkuk sup yang mulai dingin. Ia mengambil sendok, mencicipinya. Rasanya sempurna. Kaldu hangat, jahe lembut, ayam empuk, dan sayuran masih segar. Sup seperti ini biasanya membuat pelanggan Dapur Sari's datang kembali.
Tapi bukan Naira Adani.
Doni menghela napas. Ia menuangkan sup itu ke wadah dan menyimpannya di kulkas. Ia tidak suka membuang makanan.
...---•---...
Sore itu, ia memasak Nasi Goreng Kampung. Sederhana, tapi kaya rasa. Nasi putih ditumis dengan bawang merah, bawang putih, kecap manis, sedikit terasi, dan telur. Ia menambahkan ayam suwir dan sayuran, lalu membuat telur ceplok dengan kuning bulat sempurna di atasnya. Di sisi piring, ia letakkan kerupuk udang dan acar timun.
Ia memasak dengan sepenuh hati.
Aroma bawang, terasi, dan kecap manis yang memabukkan memenuhi dapur. Doni yakin aroma itu pasti sampai ke lantai atas. Aroma yang seharusnya mampu menembus hati yang paling tertutup sekalipun.
Pukul enam tepat, Ratna datang mengambil nampan. Doni menatapnya dengan harapan yang dipaksakan di dadanya.
Namun pukul enam lewat empat puluh lima menit, Ratna kembali. Nasi goreng di piring masih utuh. Telur ceploknya bahkan belum disentuh, kuningnya masih bulat sempurna. Sama seperti sup, makanan itu kini hanyalah benda dingin di atas porselen.
Doni tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, mengambil piring itu, dan menyimpannya di kulkas. Perasaannya campur aduk antara kecewa dan pasrah.
...---•---...
Malam menjelang. Doni duduk di tepi tempat tidur kamarnya yang terlalu besar. Ia menatap foto Sari di meja samping.
"Hari pertama tidak seperti yang kubayangkan," bisiknya pelan. "Ia bahkan tidak mau mencicipi masakanku. Tidak mau menemuiku."
Di luar, kota Bandung berkilau oleh lampu-lampu malam. Kabut turun perlahan, menyelimuti rumah besar itu dalam kesunyian yang terasa tebal dan sangat mahal.
Doni berbaring, menatap langit-langit. Besok ia akan mencoba lagi. Dan lusa. Dan hari-hari berikutnya. Ia masih punya sembilan ratus sembilan puluh sembilan hari. Cukup waktu untuk menemukan cara menembus hati yang tertutup rapat.
Tapi Doni tidak akan menyerah. Tidak setelah ia menandatangani kontrak. Tidak setelah meninggalkan Dapur Sari's. Dan terutama, tidak setelah ia merasakan keheningan rumah ini yang menyiratkan luka seseorang. Seseorang yang membutuhkan kehangatan.
Mungkin Naira Adani tidak menginginkannya di sini. Tapi entah kenapa, Doni merasa ia ditakdirkan datang. Bukan hanya untuk memasak. Tapi untuk menyembuhkan, atau setidaknya berbagi beban.
Matanya perlahan tertutup. Besok adalah hari baru. Kesempatan baru.
Namun di suatu tempat di lantai dua rumah itu, di balik pintu yang terkunci rapat, Naira Adani duduk di tepi tempat tidurnya. Menatap gelap malam dengan mata kosong.
Tidak menangis. Tidak marah. Tidak merasakan apa pun.
Hanya hampa.
Dan kehampaan itu terasa lebih menusuk daripada sup dingin, lebih gelap dari malam tanpa bulan. Sebuah keheningan yang ia ciptakan sendiri sebagai benteng pertahanan.
...---•---...
...Bersambung...