Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Alasan untuk Bertahan
Sunandar terdiam.
Raska melanjutkan, suaranya tetap terkendali. “Saya sudah menyewa beberapa pihak. Dalam dan luar negeri. Tapi jejaknya bersih. Seolah dihapus.”
“N—” Sunandar hendak berkata sesuatu, lalu berhenti. Ia menarik napas singkat. “Nama lengkap?”
“Siap. Elvara Anindya. Mendiang ayahnya adalah TNI.”
Langkah Sunandar terhenti sepersekian detik sebelum ia berbalik ke meja.
Ia membuka sebuah map tipis. Terlalu tipis untuk data biasa. Tatapannya membeku saat membaca satu nama.
Jemarinya mengencang di tepi map, lalu perlahan mengendur.
Ekspresinya tetap datar, tapi napasnya turun setengah tingkat lebih berat.
Berkas yang seharusnya sudah lama dimusnahkan.
Ia menutup map itu kembali. Rapi. Hening.
“Aku tahu siapa yang melindunginya,” katanya akhirnya, suara lebih rendah dari sebelumnya.
Raska menegakkan punggung.
“Tapi orang itu…” Sunandar berhenti sejenak, memilih kata, “berada di atas rantai komando yang bisa kujamah. Pangkatnya lebih tinggi dariku. Jaringannya lebih rapat.”
Hening.
“Tapi aku bisa memastikan satu hal, Kapten,” katanya menatap Raska lurus.
“Dia hidup. Menempuh pendidikan medis.”
Napas Raska tertahan sepersekian detik.
“Dan dia tidak ingin ditemukan,” lanjut Sunandar. “Aku tidak tahu siapa yang ia hindari. Tapi jelas, ia memilih hidup tenang, dengan perlindungan.”
Ia menghela napas. “Itu bantuan maksimal yang bisa kuberikan.”
Raska berdiri dan memberi hormat. “Terima kasih, Pak.”
Ia berbalik menuju pintu.
Tepat saat jemarinya hampir meraih gagang, suara Sunandar kembali terdengar, lebih pelan, bukan sebagai jenderal.
“Kapten.”
Raska berhenti. Menoleh.
“Siapa dia?”
Sunandar tidak bertanya dengan nada interogasi. Itu suara seorang ayah yang paham arti kehilangan.
Raska terdiam sejenak. Lalu menjawab jujur, tanpa membuka apa yang tak perlu dibuka.
“Seseorang yang sangat berarti dalam hidup saya, Pak.”
Sunandar menatapnya lama. Tak ada pertanyaan lanjutan. Ia mengangguk pelan, seolah sudah cukup tahu.
Raska kembali melangkah keluar dari ruang itu. Langkahnya tetap tegap. Wajahnya tenang. Namun di balik itu, tangannya mengepal erat. Dalam hati, ia bersumpah--
"Aku akan naik cukup tinggi.
Sampai tak ada lagi tangan yang mampu menyembunyikanmu dariku.
Sejauh apa pun kau pergi. Seaman apa pun kau dilindungi.
Suatu hari nanti… aku akan berdiri di titik di mana namamu tak bisa lagi dihapus.
Elvara."
Setelah pintu menutup, Sunandar tidak langsung bergerak. Ia kembali membuka map tipis yang tadi sempat ia tutup.
Elvara Anindya.
Jemarinya berhenti di satu baris.
Baskara Pramudya.
Sunandar menghela napas panjang.
"Baskara…"
Mereka seangkatan. Dan bahkan saat masih perwira muda, prestasi Baskara sudah melampaui dirinya. Jika pria itu tidak gugur dalam tugas, Sunandar tahu, pangkat Baskara hari ini pasti berada di atasnya.
Ia menutup mata sejenak.
Keras kepala. Melanggar prosedur. Tapi selalu membawa anak buahnya pulang hidup.
Sunandar membuka mata.
"Kapten Raska… benar-benar mengingatkanku padanya."
Ia menatap halaman terakhir. Nama yang tidak tercetak jelas di sana, hanya tersirat lewat kode dan tanda tangan lama.
Bibirnya melengkung tipis.
"Baskara memang selalu punya orang-orang kuat di sekitarnya.
Dan bahkan setelah kematiannya… anaknya masih berada dalam lindungan tangan yang sama."
Sunandar terdiam sejenak.
Ia teringat cara Raska mengucapkan nama itu tadi.
Kapten itu menyebutnya bukan sebagai target pencarian, melainkan sebagai alasan untuk bertahan.
***
Di tempat yang jauh dari Raska.
Elvara keluar dari gedung rumah sakit saat langit mulai menggelap. Jaketnya dirapatkan, tas diselempangkan di bahu. Ia berhenti di tepi trotoar, menunggu taksi pesanannya.
Sebuah mobil sedan hitam melambat, lalu berhenti tepat di depannya. Elvara tidak menoleh. Kaca jendela sisi pengemudi turun perlahan.
Adrian Keller.
Ia tersenyum dari balik kemudi. Tidak mencolok. Hangat. “Dokter Elvara,” sapanya. “Mau… pulang?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang belum rapi.
Elvara sedikit tersentak. Spontan menoleh. “Oh, Dokter Keller.”
Adrian mengangguk kecil. “Aku bisa antar. Kalau kamu mau.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Tidak jauh, 'kan?”
Elvara tersenyum sopan. “Terima kasih, tapi saya sudah pesan taksi.”
Seolah semesta mendukung penolakannya, sebuah taksi kuning berhenti tepat di belakang mobil Adrian.
Elvara mengangguk kecil. “Itu taksi saya.”
Adrian tertawa ringan, tidak kecewa. “Oh. Oke.”
Elvara membuka pintu taksi, lalu menoleh sebentar. “Terima kasih, Dok.”
“Sama-sama,” jawab Adrian. “Hati-hati.”
Taksi melaju meninggalkan rumah sakit.
Adrian tidak langsung pergi. Ia justru menyalakan mesin perlahan… lalu, entah karena dorongan iseng atau rasa penasaran yang terlalu jujur untuk disangkal, ia mengikuti taksi itu dari jarak aman.
Beberapa menit kemudian, taksi berhenti di depan sebuah bangunan kecil. Lampu kuning hangat. Papan nama sederhana.
Rumah Makan Nusantara.
Adrian memperlambat mobilnya. Membaca tulisan itu pelan.
“Nusantara…” gumamnya. “Indonesia…”
Ia tidak turun. Tidak memarkir mobil. Hanya duduk diam, menatap pintu tempat Elvara baru saja masuk.
Bibirnya terangkat sedikit. Senyum kecil yang jujur. “Kamu… menarik,” gumamnya pelan, dengan aksen yang belum sempurna.
Mobil itu akhirnya melaju pergi, meninggalkan rumah makan kecil itu dalam cahaya malam.
Dan Adrian Keller tidak tahu, bahwa besok, saat ia kembali dengan alasan membeli makanan... ia sedang melangkah masuk ke medan yang tidak ia pahami.
Medan yang kelak akan membuat seorang pria di belahan dunia lain... merasakan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada medan tempur.
Cemburu.
***
Wilayah Pegunungan Timur
Operasi Pembersihan Jalur
Kabut turun cepat. Terlalu cepat.
Dari bibir tebing sempit, Raska menatap lembah di bawahnya. Udara lembap menempel di kulit. Bau tanah basah. Jarak pandang terpotong kabut yang bergerak seperti makhluk hidup, menutup, membuka, lalu menutup lagi.
“Delta, posisi?” suara Komandan Operasi terdengar di radio.
“Delta di posisi,” jawab Raska pendek. Ia menurunkan teropong. “Visual… ada warga sipil.”
Di bawah sana, tiga bangunan kayu reyot berdiri saling berjauhan. Bukan markas. Bukan pos.
Desa kecil.
Seorang perempuan tua menyeret jeriken air. Seorang bocah berlari tanpa alas kaki, tertawa kecil sebelum terpeleset di tanah basah. Tidak ada senjata. Tidak ada penjagaan.
Radio berderak. Jeda. Lalu suara itu kembali, lebih keras. Lebih kaku.
“Target tetap valid. Intel menyebutkan simpatisan bersenjata bersembunyi di lokasi.”
Raska mengeratkan rahangnya. “Siap,” katanya pelan. “Namun konfirmasi ulang diperlukan.”
Nada di radio berubah dingin.
“Kau ragu, Kapten?”
Raska menarik napas dalam.
“Siap. Tidak, Komandan,” jawabnya. “Saya memastikan.”
Di belakangnya, Letnan yang sama dari misi sebelumnya mendekat. Suaranya berbisik cepat, terdesak.
“Perintah jelas, Kapten. Kita masuk sekarang sebelum kabut makin tebal.”
Raska tidak menoleh. “Kalau kita masuk sekarang,” katanya rendah, hampir seperti gumaman, “yang pertama kena tembak bukan musuh.”
Letnan itu terdiam.
Radio kembali berderak, kali ini tanpa jeda.
“Kapten Raska. Laksanakan sesuai rencana. Atau saya ambil alih komando.”
Raska memejamkan mata sepersekian detik.
Yang muncul bukan peta. Bukan formasi.
Seorang anak kecil, menangis memanggil neneknya.
Kenangan lama di koridor rumah sakit, bau antiseptik, suara monitor yang akhirnya berhenti, menyelinap tanpa izin.
Ia membuka mata.
“Delta satu dan dua, posisi bertahan,” perintahnya tiba-tiba. Suaranya datar, mutlak.
“Delta tiga, evakuasi senyap warga sisi barat. Lima menit.”
Letnan menegang. “Kapten, itu pelanggaran langsung!”
“Catat,” jawab Raska tenang. “Saya yang tanggung.”
Radio meledak.
“Raska! Apa yang kau lakukan?!”
Namun perintah sudah bergerak.
Bayangan prajurit turun menyusuri lereng, bukan dengan senjata terangkat, melainkan tangan terbuka. Isyarat cepat. Sunyi. Warga digiring menjauh tanpa teriakan, tanpa panik.
Empat menit.
Lalu—
Suara klik logam.
Raska berputar tajam.
Di balik kabut, siluet bersenjata muncul dari sisi rumah ketiga. Bukan satu. Bukan dua.
Tiga orang. Helm hitam. Senapan siap tembak.
“Mereka menunggu warga jadi perisai,” gumam Raska.
DOR!
...🔸🔸🔸...
...“Di medan tempur, ia bertahan demi negara....
...Di hidupnya, ia bertahan demi satu nama.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??