Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
04. Bayi saya...
“Hey!” Kapten Dirga, mengguncang pelan bahu Anna. “Bangun,”
Masih tidak ada respon, tanpa pikir panjang, Dirga mengangkat tubuh ringan itu ke gendongannya, sikap yang jarang ia tunjukkan kepada siapa pun. Dengan langkah panjang dan tegas, ia membawa Anna masuk ke IGD.
Para perawat terkejut melihat sosok tinggi berbadan tegap berseragam militer itu menerobos masuk sambil menggendong seorang wanita yang pingsan.
“Pasien baru! Kondisi tidak stabil!” seru Dirga.
Perawat segera mengambil alih. Anna dipindahkan ke ranjang IGD, alat-alat dipasang, dan seorang dokter berdatangan.
Dirga berdiri di sudut ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Matanya menatap Anna yang terbaring lemah, rambutnya berantakan, wajahnya masih basah oleh air mata.
Beberapa menit berlalu. Dokter akhirnya menghampirinya.
“Pak, Anda keluarga pasien?”
Dirga terdiam sejenak. Suara hatinya memberontak, tapi ia hanya menjawab singkat, “Bukan, saya hanya menolongnya.”
Dokter mengangguk.
“Pasien baru saja melahirkan. Tubuhnya belum pulih sama sekali. Kondisinya lemah, tekanan darah turun, dan emosinya tidak stabil.”
Kata melahirkan itu menusuk telinga Dirga, membuat alisnya terangkat sedikit.
'Melahirkan? Wanita itu baru melahirkan?'
Sesuatu dalam dadanya seperti ditarik paksa. Satu bagian otaknya menghubungkan titik-titik, kamar 999, tubuh wanita itu, tangisan bayi kembar yang ia lihat di panti.
Dokter melanjutkan dengan suara pelan, penuh empati, “Dan … bayinya meninggal dunia tak lama setelah lahir. Itu membuat psikologisnya terguncang.”
Dirga membeku, untuk pertama kalinya, ia menatap Anna bukan sebagai wanita asing yang terjebak dalam insiden gelap malam itu tetapi sebagai seorang ibu yang dipaksa kehilangan. Ia menelan ludah sulit. Kabut rasa bersalah merayap naik dalam dadanya.
Salah satu perawat berkata pelan, “Kasihan sekali Ibu ini … sendirian, baru melahirkan, dan langsung kehilangan bayinya. Sepertinya tidak ada keluarga yang mendampingi.”
Dirga memandang Anna lama, wajahnya yang rapuh, tubuhnya yang lemah. Wanita yang tanpa ia tahu, dibuang suaminya. Ditinggalkan dan dipaksa menghadapi kematian palsu anaknya. Dan lelaki yang dingin itu mendadak merasakan sesuatu yang tidak ia sukai.
Jantungnya berdetak berat.l, 'kalau bayi itu … benar-benar…'
Dirga menutup mata sejenak, menahan dorongan insting untuk langsung menelusuri kebenaran. Lalu suara perawat memecah pikirannya.
“Pak, pasien butuh seseorang untuk menemaninya ketika sadar nanti. Apakah Anda bisa menunggu sebentar?”
Dirga menoleh, tatapannya berubah gelap.
“Saya akan menunggu.”
Suara detak monitor yang stabil memecah keheningan ruang IGD ketika Anna membuka matanya. Pandangannya buram, napasnya tersengal, dan tubuhnya terasa berat seolah diseret kembali dari kegelapan. Sesuatu dalam dirinya langsung panik, seperti ada bagian tubuhnya yang hilang.
“B… bayi saya,” bisiknya lirih namun penuh ketakutan.
Tangannya meraba-raba udara kosong, mencari sesuatu yang seharusnya berada di pelukannya. Tubuhnya mulai gemetar, nafasnya tidak beraturan.
Melihat itu, Kapten Dirga, yang sejak tadi berdiri tak jauh dari ranjang pun terkejut. Dia baru saja mendengar penjelasan dokter tentang kondisi wanita itu. Dirga melangkah mendekat, suaranya hati-hati, lembut, tetapi tetap mengandung wibawa seorang tentara.
“Tenang … kamu aman sekarang,” ucap Dirga pelan.
Anna menggeleng kuat-kuat, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. “Di mana bayi saya? Tolong kasihkan dia … saya … saya harus menyusuinya…”
Dadanya naik turun cepat, rasa sakit akibat luka persalinan membuat tubuhnya bergetar. Dirga menelan ludah. Perkataan dokter kembali terngiang, bayinya meninggal beberapa jam setelah dilahirkan. Dia sendiri masih syok mendengarnya, apalagi melihat kondisi wanita ini, sendirian, terlantar, dan kini kehilangan bayi.
Hatinya menolak menghancurkan perempuan yang sudah sekarat secara emosi ini. Dirga memberanikan diri meraih bahu Anna, sentuhannya pelan, seperti takut mematahkan sesuatu yang rapuh.
“Anakmu … baik-baik saja,” katanya lirih, menenangkan tanpa benar-benar berbohong maupun mengatakan kebenaran yang bisa mematikan mental wanita itu saat ini.
Anna terdiam sejenak. Nafasnya masih tersengal. Matanya penuh air, tapi perlahan ketegangan itu mereda meski kebingungan masih ada.
“Benarkah…? Dia aman…?” tanya Anna, suaranya pecah.
Dirga mengangguk sangat pelan.
“Dia aman.”
Di momen itu, dokter datang kembali dengan catatan medis.
“Kondisi fisik pasien sudah mulai stabil, Kapten. Tapi trauma emosinya berat. Untuk rawat inap, saya sarankan satu atau dua malam lagi agar kami bisa mengawasi...”
Dirga langsung memotong, “Dok, apa bisa rawat jalan saja?”
Dokter terdiam sejenak, menimbang.
“Bisa … asal keluarganya bertanggung jawab mengawasi. Pasien harus rutin kontrol. Jangan sampai kelelahan atau stres lagi.”
Dirga melirik Anna yang tampak semakin lemah, lalu kembali ke dokter.
“Saya pastikan dia tidak sendirian.”
Dokter mengangguk. Setelah administrasi dibereskan, Dirga membantu Anna turun dari ranjang. Gerakannya gemetar, wajahnya pucat. Sekali-dua kali ia memegangi dadanya karena nyeri di bagian payudara.
Dirga melihat itu dan tiba-tiba semuanya masuk akal. Wanita ini baru melahirkan. Produksi ASInya pasti masih berjalan. Tubuhnya berusaha memberi makan bayi yang sudah tiada, dia menghela napas berat.
Dia harus mencari solusi sebelum perempuan ini hancur secara mental, Dirga memutuskan.
“Aku akan mengantarmu ke panti asuhan tempatku mengabdi,” ucapnya lembut. “Di sana … ada anak-anak yang ingin bertemu. Termasuk bayi kecil … Dia aman, kau bisa melihatnya.”
Anna menatapnya, penuh keraguan, tetapi juga seakan diseret oleh sesuatu yang tak terlihat insting seorang ibu, mungkin.
“Benarkah … dia di sana…?”
Dirga mengangguk. Anna akhirnya menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan.
"Baik. Aku ikut.”
Kapten Dirga membantu Anna berjalan keluar dari IGD. Angin malam menyentuh wajah wanita itu. Langkahnya goyah, tetapi ia mengikuti lelaki yang bahkan tidak ia kenal satu-satunya tangan yang menggenggamnya saat semua dunia terasa runtuh. Dan tanpa Anna tahu, langkah ini akan mengubah seluruh hidupnya.
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕