El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Loneliness
...Bagian 6:...
...Loneliness...
...💫💫💫💫💫...
Usianya 19 tahun ketika Jovanka berhasil menyelesaikan kuliah. Terima kasih kepada Mama yang bersikeras mengirimnya ke sekolah di usia 5 tahun, hanya karena otaknya sedikit lebih cerdas daripada anak-anak lain seusianya. Terima kasih juga kepada SMA kesayangannya karena masih mengadakan program akselerasi sehingga dia bisa menyelesaikan masa putih abu-abu dalam waktu 2 tahun. Kini, di saat orang-orang seusianya sedang pusing menyusun skripsi, Jovanka bisa ongkang-ongkang kaki, melakukan banyak hal menyenangkan untuk mengawali usia 20-an.
Sebelum memutuskan pergi dari rumah, Jovanka sudah menyiapkan banyak hal. Meski Mama menyediakan semua kebutuhan, Jovanka tetap membiasakan dirinya untuk menghasilkan uang. Berbekal otak cerdas dan kemampuannya menganalisa, banyak pekerjaan freelance yang sudah dia jalankan sejak kelas 2 SMA. Di antaranya banyaknya pekerjaan freelance yang bisa dia lakukan di mana saja itu, ada dua pekerjaan yang paling sering Jovanka ambil. Yang pertama adalah jasa ghost writing, dan yang kedua jasa editing naskah.
Hari ini, Selasa, ketika matahari bersinar begitu terik di luar sana, Jovanka sedang sibuk berkutat dengan perangkat komputernya. Layar datar itu menampakkan baris kalimat yang rapat, penuh, dan acak-acakan.
"God ... ini kalau dikirim ke penerbit mayor, apa nggak mual muntah editornya?" komentarnya, sambil memijit pelipisnya agak kencang.
Sudah satu jam Jovanka duduk di kursinya untuk mengerjakan naskah milik klien, dan belum setengahnya selesai. Naskah berisi tidak kurang dari 10.000 kata itu betulan membuatnya sakit mata hingga menimbulkan pening di kepala. Bukan hanya pembagian paragrafnya yang kacau, tanda baca dan pemilihan diksinya juga betulan membuatnya mengelus dada. Kalau bukan karena dirinya butuh uang untuk tetap bertahan hidup di kota orang, Jovanka mungkin sudah menolak job ini dan memaki-maki si penulis sebagai gantinya.
Kendati masih sambil mengomel sesekali, Jovanka tetap mengerjakan naskah tersebut. Dengan sabar membantu membetulkan pembagian paragraf dan penggunaan tanda baca, serta mengganti beberapa—hampir setengah—kata dengan diksi yang dirasa lebih tepat.
Lima belas menit kemudian, Jovanka memutuskan untuk rehat sejenak. Hasil editing yang dia kerjakan susah payah disave dan dia cepat-cepat bangkit meninggalkan area kerja. Unit apartemen yang dia tinggali adalah tipe studio, di mana tidak ada sekat permanen untuk memisahkan antar ruangan. Sehingga, dari meja kerjanya, Jovanka bisa langsung berlari menuju kasur dan membanting tubuhnya ke sana, membiarkan punggungnya mendarat di ranjang queen size empuk dengan seprai abu-abu tua itu.
Daripada memejamkan mata untuk mengistirahatkan otot-otot mata yang tegang, Jovanka malah melamun menatap langit-langit kamarnya yang kosong—kontras dengan isi kepalanya yang ribut.
Dalam keterdiaman yang cukup lama itu, kilas balik kehidupannya sewaktu masih tinggal di Bandung bersama Mama, datang lebih sering daripada biasanya. Meski kerap kali berujung pada adu mulut tak berujung, Jovanka harus mengakui bahwa sejauh ini memang tidak ada yang bisa menyayanginya dengan baik selain wanita itu. Bahkan ketika cintanya sudah terbagi untuk suami barunya, Jovanka tahu Mama masih menyimpan cukup banyak untuk dirinya. Jika bukan karena...
Ah, stop di sini. Jovanka menyentak pikirannya sendiri. Menghentikannya agar tidak melanglang semakin jauh tak tentu arah. Pertengkarannya dengan Mama yang terakhir kali sudah cukup membuat dadanya sesama setiap kali diingat. Jovanka tidak yakin dia bisa menahan diri dari badai air mata kalau mengungkit lagi alasan di balik pertengkaran itu.
Jovanka menggulingkan badan ke kanan, meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, mengecek jam. Baru setengah sebelas, belum cukup dekat dengan waktu makan siang. Namun, berhubung tadi pagi dia hanya meminum segelas oat milk, sekarang perutnya sudah agak lapar.
Tidak ada apa-apa di kulkasnya, Jovanka belum sempat berbelanja. Pun ada, dia sedang tidak berselera untuk berkutat dengan kompor dan perabotan, maka memasak tidak akan masuk ke dalam rencananya.
Menimbang sebentar, Jovanka bangkit membawa ponselnya. Dia akan turun, pergi mencari makanan di sekitar area gedung apartemennya. Gado-gado Mpok Aisyah dengan tambahan telur kedengaran cukup menarik. Gurihnya bumbu kacang yang tidak ditumbuk halus, sayur-sayuran yang direbus sebentar sehingga teksturnya masih kress, serta taburan kerupuk udang yang crunchy. Wah, super combo!
Kaki Jovanka sudah hampir mencapai pintu, ketika tiba-tiba saja suara Karel mendobrak masuk ke kepalanya.
"...Gue nggak suka lihat cowok-cowok di sekitar mandang lo dengan mata jelalatan. Disgusting."
"Ah, berengsek," dumalnya. Kendati begitu, tubuhnya tetap bergerak lincah balik kanan, melesat cepat sampai tiba di depan lemari pakaian. Sepotong jaket pink polos dan celana training hitam dia tarik dari tumpukan, kemudian cepat-cepat dikenakan. Catat ini, dia hanya tidak ingin kebetulan bertemu Karel di depan unit dan berakhir diceramahi. Hari ini sudah cukup berat dengan job dari klien yang bermacam rupa, dia tidak ingin menambah beban pikiran.
Selesai dengan outfit, Jovanka melesat keluar. Riang gembira sambil membayangkan raut jenaka Mpok Aisyah setiap kali ia berkunjung ke sana. Bibirnya yang selalu dipoles gincu warna merah terang memang suka sekali merepet dan kadang cenderung kepo, tetapi hal tersebut lumayan menjadi hiburan bagi Jovanka yang hari-hari lebih banyak merasa kesepian.
Keluar dari lift, Jovanka disambut suasana lobi yang cukup ramai daripada hari-hari biasanya. Meja resepsionis dikerubungi beberapa orang, sepertinya sedang mengantre untuk mengambil paket-paket yang dititipkan di sana. Jovanka hanya melihat sekilas, lalu melanjutkan langkahnya.
Namun, sebelum mencapai pintu lobi, Jovanka terpaksa berhenti dan membalikkan badan. Dias, perempuan bersanggul rapi dengan seragam merah marun yang berjaga di belakang meja resepsionis, melambaikan tangan kepadanya, raut wajahnya serius.
Mau tak mau, Jovanka berjalan mendekat, meski masih tidak tahu kenapa Dias harus memanggilnya ketika resepsionis tampak sibuk. Yah, walaupun ada dua petugas lain yang menghandle bagian pengambilan paket dan urusan administrasi.
"Kenapa?" tanyanya.
Dia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari laci, kemudian menjawab, "Ada titipan dokumen."
Jovanka menaikkan sebelah alis, cukup bingung karena selama tiga belas bulan tinggal di apartemen ini, dia hampir tidak pernah menerima dokumen selain rekening koran yang dia request ke bank untuk dikirim setiap tiga bulan sekali. Melihat cover luarnya pun, itu jelas bukan cover dokumen untuk rekening koran.
"Dari siapa, ya?" tanyanya.
"Nggak ada nama pengirimnya, cuma ada nama penerima doang. Kurir yang antar juga bukan kurir reguler, kayaknya kurir khusus," jelas Dias.
Jovanka terdiam sejenak, masih berusaha mencerna, sambil membolak-balik amplop cokelat seukuran kertas A4 itu.
"Gue titip dulu di sini deh, nanti gue ambil. Mau keluar dulu nyari makan siang." Jovanka mendorong map itu kembali ke hadapan Dias. Kalau isinya penting, tidak mungkin juga dia tenteng-tenteng ke warung Mpok Aisyah, ngeri ketumpahan bumbu kacang.
Dias tidak keberatan dan kembali menyimpan dokumen milik Jovanka di atas meja kerjanya.
"Thanks, nanti gue beliin gado-gado sebungkus sama es selendang mayang."
"Mantap, thanks berat!" seru Dias seraya mengeluarkan dua jempol dan menyengir lebar.
Jovanka hanya balas tersenyum, kemudian melenggang pergi meninggalkan resepsionis. Tiba di luar, kupluk jaketnya dikenakan untuk melindungi rambutnya agar tidak berubah menjadi rambut jagung karena sengatan matahari yang ganas.
Bertepatan dengan itu, matanya menangkap mobil Karel yang melaju memasuki pelataran. Jendela kaca di kursi penumpang sebelah kanan terbuka, menampilkan sosok bocah kecil berpipi gembil yang kali ini rambutnya digerai bebas. Bocah yang duduk di car seat itu tampak memandang ke arahnya dengan dua mata bulat serupa boba. Lalu, sebelum mobil Karel melaju semakin jauh menuju basement, bocah itu meleletkan lidahnya, meledek Jovanka yang hanya bisa memasang wajah kesal.
"Dasar iblis kecil nggak berperikemanusiaan!" kesalnya. Kepalan tangannya mengudara, tapi sia-sia saja karena Eliana si bocil kematian musuh bebuyutannya sudah menghilang dari pandangan.
God, kepala Jovanka jadi dipenuhi skenario jahat sekarang. Mungkin efek dari pekerjaan mengedit naskah cerita thriller beberapa hari lalu, Jovanka jadi kepikiran untuk menculik Eliana, memasukkannya ke dalam karung, mencincang-cincang tubuh mungilnya, lalu membuangnya ke rawa penuh buaya. Dengan begitu, kesempatannya untuk mendapatkan perhatian Karel pasti akan jauh lebih besar, kan?
Bersambung....