Trauma masa lalu mengenai seorang pria membuat gadis yang awalnya lemah lembut berubah menjadi liar dan susah diatur. Moza menjadi gadis yang hidup dengan pergaulan bebas, apalagi setelah ibunya meninggal.
Adakah pria yang bisa mengobati trauma yang dialami Moza?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4 Benci Laki-laki
Hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan sudah Moza lewati dengan penuh perjuangan. Moza benar-benar jatuh bangun menjalani kehidupan yang semakin hari semakin menyulitkan. Hari ini adalah hari terakhir dia mengikuti ujian akhir dan Moza sangat bersyukur karena sudah bisa bertahan sampai di titik ini.
Selama ini dia bekerja buruh cuci di rumah tetangga-tetangganya untuk menyambung hidup. Patah hati, rasa sakit, dan hinaan dari teman-temannya membuat Moza menjadi gadis dingin dan pendiam. Bahkan Moza sudah mati rasa terhadap apa pun, dia sudah tidak peduli akan hinaan orang-orang yang penting dia tidak merugikan mereka.
Tok... tok... tok...
"Masuk!"
Moza pun membuka pintu ruangan kepala sekolah. Siang itu, Moza dipanggil oleh kepala sekolah membuat Moza gelisah takutnya dia melakukan kesalahan yang tidak dia sadari. "Selamat siang, Pak. Apa Bapak memanggil saya?" tanya Moza sopan.
"Iya, silakan duduk Moza," sahut Pak Wildan.
"Ada apa Pak? apa saya sudah melakukan kesalahan yang barang kali tidak saya sadari?" tanya Moza gelisah.
Wildan menyunggingkan senyumannya. "Tidak Moza, kamu sama sekali tidak melakukan kesalahan. Saya memanggil kamu ke sini karena saya punya kabar baik untuk kamu," sahut Pak Wildan.
"Kabar baik apa, Pak?" tanya Moza penasaran.
"Begini Moza, kamu di sini merupakan siswi berprestasi dan kamu pun selalu berprilaku baik selama sekolah di sini. Minggu kemarin saya mengajukan kamu untuk mendapatkan beasiswa, dan Alhamdulillah kamu diterima di sebuah universitas ternama di kota ini dan ini adalah formulirnya," jelas Pak Wildan.
Moza terkejut, dia melihat formulir yang ada di atas meja dengan mata berkaca-kaca. "Saya tahu kamu ingin sekali melanjutkan kuliah, maka dari itu saya dan guru-guru di sekolah ini sepakat untuk mengajukan kamu sebagai peserta penerima beasiswa. Dan Alhamdulillahnya, kamu diterima bahkan nanti juga kamu akan mendapatkan uang saku," ucap Pak Wildan kembali.
Akhirnya air mata Moza pun menetes juga, dia merasa bahagia sekaligus terharu ternyata di dunia ini masih ada orang yang peduli kepada dirinya. Tidak terasa, waktu kelulusan pun tiba. Semua anak datang bersama orang tuanya hanya Moza saja yang sendiri.
Moza memperhatikan kebahagiaan teman-temannya yang datang dengan orang tua masing-masing. Hatinya begitu sakit, tapi dia berusaha menahan supaya air matanya tidak jatuh. Dia harus memperlihatkan kepada teman-teman yang selama ini mengejek dan menghinanya kalau dia bukan gadis lemah.
"Ma, Moza lulus dengan nilai terbaik. Dan Moza juga mendapatkan beasiswa untuk kuliah, semoga Mama bahagia dan Moza akan membuktikan jika Moza bisa sukses tanpa biaya dari orang itu," batin Moza.
Bagas melirik ke arah Moza, sejak saat peristiwa penamparan itu Moza sudah tidak mau melihat lagi kepada Bagas. Bahkan jika berpapasan pun, Moza akan menghindar. Acara kelulusan pun selesai, Moza pun segera pulang ke rumah.
Pada saat Moza sampai di rumahnya, Moza sangat terkejut dengan barang-barang dia yang sudah dimasukan ke dalam tas dan disimpan di lantai. Di sana ada Papanya dan juga istri barunya, berdiri melihat ke arah Moza. Dengan langkah tegap, Moza masuk dan menghampiri keduanya.
"Kenapa barang-barang aku dikeluarkan?" tanya Moza dingin.
"Kamu harus segera pergi dari rumah ini karena rumah ini sudah Papa jual," sahut Papa Rahman dengan tidak punya perasaannya.
Moza membelalakkan mata, dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. "Bukanya rumah ini dibeli dengan uang Mama juga?" seru Moza dengan suara bergetar menahan tangis.
Rahman mengeluarkan amplop coklat dari dalam saku jasnya, lalu melemparnya ke arah Moza. "Itu uang ganti rugi Mamamu untuk membeli rumah ini, jadi kamu sudah tidak berhak lagi dengan rumah ini," sahut Papa Rahman.
Air mata yang dari tadi berusaha Moza tahan akhirnya menetes juga. "Anda benar-benar jahat, bahkan untuk sekedar mengakui anda sebagai Papa saja aku sudah tidak sudi. Anda memang sudah dibutakan oleh cinta, setelah anda menyakiti Mama ternyata anda belum puas dan ingin membuat darah daging anda menderita juga. Baiklah, mulai detik ini juga hubungan antara anak dan Papa sudah tidak ada lagi anggap saja aku sudah mati karena aku juga akan menganggap anda sudah mati," seru Moza dengan deraian air matanya.
"Kurang ajar kamu, Moza!" bentak Papa Rahman.
Rahman hendak menampar Moza tapi tangannya tertahan di udara. "Kenapa, anda mau tampar aku? tampar saja!" teriak Moza.
Rahman mengepalkan tangannya lalu dia pun menarik kembali tangannya. Moza mengambil barang-barang miliknya, lalu pergi meninggalkan rumah itu. Sedangkan Diah, yang merupakan istri baru Rahman tampak tersenyum penuh kemenangan.
Air mata Moza mengalir deras, dia berjalan dengan barang-barangnya entah mau pergi ke mana dia karena dia sama sekali tidak punya tujuan. Moza saat ini masih memakai kebaya, bahkan riasan wajahnya sudah acak-acakan karena air mata. Moza pun duduk di kursi taman, di sama dia menangis sejadi-jadinya.
"Aku benci laki-laki, semua laki-laki sama hanya bisa membuat perempuan terluka dan sakit hati," gumam Moza.
Sementara itu, Bagas lewat dengan mobilnya. Dari kejauhan dia melihat Moza yang sedang duduk sendirian sembari menangis bahkan di sampingnya terdapat tas besar. "Kenapa dia?" batin Bagas.
Dia hendak menghampiri Moza tapi tiba-tiba ponselnya berdering dan itu adalah telepon dari Mommynya. "Baiklah Mom, Bagas akan segera pulang," sahut Bagas.
Bagas pun menutup sambungan telepon, lalu memilih pergi dari sana. Cukup lama Moza berdiam diri di sana, hingga dia pun memutuskan untuk mencari kontrakan saja. Moza kembali berjalan dan setelah lumayan lama mencari-cari, akhirnya Moza pun menemukan kos-kos an khusus putri yang harganya lumayan murah.
Setelah menemui pemiliknya, Moza pun ditunjukan kos-an yang akan dia tempati. "Ini kos-an nya, semoga kamu betah," ucap Pemilik Kos.
"Terima kasih, Bu," sahut Moza.
Moza pun masuk, Moza terduduk di lantai lemas. Dia kembali meneteskan air matanya, sungguh hatinya begitu sakit dan hancur. Di otaknya dia ingin sekali bunuh diri, tapi hatinya mengatakan kalau Moza harus bertahan dan membuktikan dia harus menjadi orang sukses.
"Ya, Allah kuatkan aku, temani aku menjalani kehidupan yang sangat keras ini. Aku ingin menjadi orang sukses, biar orang-orang yang sudah meremehkan ku dan menyakitiku tahu aku juga bisa sukses dan bahagia," batin Moza dengan deraian air matanya.
Moza sudah bertekad ingin menjadi orang sukses. Dia ingin memperlihatkan kepada Rahman, jika anak yang dia sia-siakan bisa berdiri tegap walaupun tanpa bantuan dari dirinya.