NovelToon NovelToon
Menyembunyikan Anakku Dari Mantan Suamiku

Menyembunyikan Anakku Dari Mantan Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Single Mom / Cerai / Janda / Duda / Cintapertama
Popularitas:7.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ara Nandini

Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.

Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.

Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.

Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.

Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.

Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?

Ikuti Kisahnya!!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10. Dikeluarkan dari sekolah

"Seriusan?" Devi menatap pria di hadapannya dengan mata membulat.

"Hm, serius, sayang." Revan menjawab santai.

"Tapi kalau perusahaan itu bangkrut... kamu sendiri yang rugi, lho. Kamu tahu kan kondisi finansial mereka sudah di ujung tanduk?" Devi meletakkan sendoknya.

Revan menghela napas, jemarinya mengetuk meja kayu mahoni itu pelan. "Makanya nanti aku bakal evaluasi semua karyawan di sana. Kasihan juga beliau, kalau nggak ingat dulu pernah bantuin Papa saat kita hampir jatuh, aku nggak bakal mau ngambil risiko sebesar ini."

Devi mengangguk pelan, mulai memahami sisi idealis kekasihnya. Saat ini mereka sedang menikmati makan siang di ruangan kerja Revan yang tenang, hanya terdengar suara pendingin ruangan yang berderu halus.

"Yang..." panggil Revan tiba-tiba. Suaranya merendah, terdengar lebih lembut.

"Hm?"

"Malam ini ada acara ulang tahun Mama. Dateng, ya? Aku nggak mau sendirian di sana."

Devi mendongak, menatap wajah tegas Revan. Ada keraguan yang jelas terpancar dari binar matanya. "Tapi, Revan... kamu tahu kan Mama kamu belum—"

Sebelum Devi menyelesaikan kalimatnya, Revan meraih tangan wanita itu, menggenggamnya erat.

"Nggak apa-apa, ada aku. Jangan takut. Hitung-hitung kamu mulai pendekatan lagi sama Mama. Pelan-pelan saja, siapa tahu hari ini hati beliau mulai luluh melihat kesungguhan kita."

Devi akhirnya tersenyum kecil, meski hatinya masih berdebar cemas. Ia mengangguk pelan.

"Nah, gitu dong. Sekarang suapin lagi," pinta Revan tiba-tiba dengan nada manja.

"Dasar manja..." gumam Devi pelan, namun tangannya tetap bergerak menyuapkan nasi.

"Sama siapa lagi kalau bukan sama kamu aku bisa manja-manja-an? Di luar sana aku harus jadi bos yang galak, kan?" Revan terkekeh, membuka mulutnya lebar-lebar.

"Boleh nanya nggak?" tanya Devi ragu-ragu di sela aktivitas mereka.

"Sok atuh, nanya apa?"

"Apa kamu pernah ketemu... Alina lagi?" tanyanya dengan suara yang hampir menyerupai bisikan.

Revan mendadak berhenti mengunyah. Sudah lama sejak perceraiannya dengan Alina, dan sejak itu pula dia tak pernah mendengar kabarnya—dan memang jujur, dia tidak ingin tahu.

Meski begitu, ia masih ingat samar-samar obrolan orang tuanya tentang wanita itu beberapa bulan lalu.

"Terakhir yang aku dengar, dia pindah sama mamanya. Entah ke mana, mungkin keluar kota atau luar negeri. Aku nggak peduli," jawab Revan datar.

"Lagian, aku juga nggak ada niat buat ketemu lagi sama dia. Aku udah nggak punya urusan sama masa lalu itu." Revan kembali menatap Devi. "Kenapa kamu nanya gitu? Ada yang ganggu pikiran kamu?"

"Ah, nggak apa-apa. Kali aja kamu pernah ketemu atau dia nggak sengaja lewat, gitu." sahut Devi cepat.

"Udah, nggak usah mikirin dia. Fokus ke kita saja," tegas Revan.

Devi terdiam sejenak. Ia mengaduk-aduk makanan di piring yang tinggal sedikit, lalu berkata pelan, "Tapi... aku ngerasa bersalah banget kalau ingat masa itu. Rasanya seperti aku yang merusak semuanya."

"Sayang... dengar aku." Revan memajukan tubuhnya. "Justru yang jadi pengganggu hubungan kita dulu itu dia. Pernikahan itu dipaksakan, dan kamu tahu itu."

"Mama kamu aja sampai sekarang kayaknya belum bisa terima aku, mungkin karena beliau masih berharap kamu sama Alina balik lagi."

Revan menatap Devi dalam-dalam, mengunci pandangan gadis itu. "Big no. Sampai kapanpun aku nggak bakal balikan sama dia. Aku cintanya cuma sama kamu. Titik. Nggak ada koma, nggak ada tapi."

"Udah ah, jangan bahas dia lagi. Ngebahas masa lalu cuma bikin mood aku rusak dan nafsu makanku hilang." Lanjut Revan.

Devi menarik napas panjang, mencoba membuang sesak di dadanya. Ia memilih bungkam. Ia tidak memberitahu Revan bahwa sebenarnya kemarin ia sempat bertemu Alina. Ia tak tahu apakah wanita itu hanya mampir atau memang sudah kembali menetap di kota ini.

"Selamat menikmati hidangan kami, Bu, Pak."

Seorang pelayan meletakkan beberapa piring berisi steak dan pasta yang mengepul hangat di atas meja. Aromanya yang gurih langsung membuat perut Alina keroncongan.

"Makasih ya, Leon… udah mau jemput dan ajak makan siang di tengah jadwal kamu yang padat."

"No problem. Buat kamu dan Aeris, aku selalu punya waktu," jawab Leon santai sambil mulai memotong dagingnya.

Sebenarnya, ada sedikit rasa tidak enak yang mengganjal di hati Alina. Terlebih lagi, Leon kembali bersikeras membayarkan makanannya.

Sambil mengunyah potongan daging, Leon menatap Alina lembut. "Maaf ya soal kelakuan Mamaku kemarin. Beliau memang agak keras kepala."

"Sebenarnya aku kesel sih, Leon…" jawab Alina pelan, matanya menatap piringnya dengan sendu. "But it’s okay, aku paham posisi beliau. Tapi kalau sampai Mama kamu berani nyakitin atau merendahkan Aeris..."

Alina menggeleng keras, genggamannya pada garpu menguat. "Aku nggak akan tinggal diam. Aku bisa tahan dihina, tapi tidak dengan anakku."

"Lawan saja. Kalau kamu cuma diem dan pasrah, Mama bakalan makin berani menekan kamu," ujar Leon dengan nada serius. "Aku di pihak kamu, seratus persen."

Alina menatap Leon dalam-dalam. Pria ini terlalu baik. Di saat semua orang mencibir statusnya sebagai janda, Leon justru datang membawa perlindungan. Alina pikir dulu tidak ada pria yang bisa mencintainya setelah kegagalan pahit itu, tapi Leon membuktikan bahwa ia sangat menghargai dan mencintainya lebih dari siapapun.

Baru beberapa menit menikmati hidangan mereka.

Drttttt!!

Ponsel Alina di atas meja bergetar. Ia cepat merogohnya dan melihat layar.

"Miss Irsa..." gumamnya pelan.

"Halo, Miss?"

"......"

"Apa!?" seru Alina kaget. Wajahnya mendadak pucat. "Bagaimana bisa?"

"Saya minta tolong Anda datang ke sini segera, Bu Alina. Keadaannya cukup kacau."

"Ba-baiklah, saya segera ke sana." jawab Alina cepat dengan suara gemetar.

"Kenapa, sayang?" tanya Leon. Jantungnya ikut berdebar kencang melihat ekspresi ketakutan di wajah Alina.

"Aeris… dia berantem lagi sama temennya. Katanya temennya sampai terluka," ucap Alina dengan suara parau.

“A-ayo kita ke sana sekarang! Jangan panik, aku yang setir,” kata Leon sigap.

Tanpa menunggu lama, pria itu berdiri dan langsung meraih pergelangan tangan Alina, membimbingnya keluar dari restoran dengan langkah terburu-buru setelah membayar bill mereka.

Di dalam mobil, wajah Alina penuh kecemasan. Beberapa kali tangannya tampak meremas jemarinya sendiri. Sudah beberapa kali ia mendapati Aeris terlibat pertengkaran dengan teman-temannya belakangan ini. Tapi tak pernah sampai seburuk itu—melempar batu…

Ia percaya anaknya. Aeris adalah anak yang lembut. Aeris tidak akan melakukan sesuatu yang buruk… kalau tidak dipancing atau disakiti lebih dulu.

Leon sempat melirik ke arah Alina yang tampak ingin menangis. Pria itu lalu mengulurkan tangan kirinya, menggenggam tangan Alina hangat untuk menenangkan, sementara tangan kanannya tetap fokus pada kemudi.

Sekitar 20 menit kemudian, mobil mereka berhenti berdecit di depan TK Pertiwi. Alina buru-buru turun bahkan sebelum Leon mematikan mesin dengan sempurna. Langkahnya cepat menuju kantor guru.

Di dalam, suasana sudah sangat panas.

“Bu... namanya juga anak-anak. Mereka sering bertengkar karena rebutan mainan, nanti juga baikan lagi,” ujar Kepala Sekolah, Bu Vita, mencoba menengahi.

“Ibu ini sama saja! Kenapa kalian begitu keukeuh mempertahankan bocah nakal itu!” bentak Widya. Ia menunjuk kasar ke arah Aeris yang duduk meringkuk di sofa bersama Miss Irsa.

Mata kecil bocah itu sembab dan merah.

“Apa anak saya harus berdarah-darah dulu baru kalian mau mengeluarkan dia dari sekolah ini!?” teriak Widya lagi, wajahnya merah padam.

“Bu Widya, tolong tenang—”

“Pokoknya saya nggak mau tahu! Anak itu pembawa masalah, dia harus dikeluarkan hari ini juga!” potong Widya.

Bu Vita hanya bisa menghela napas berat. Ini keputusan yang mustahil. Ia tahu Widya adalah istri dari donatur terbesar sekolah ini. Tapi mengeluarkan anak se-jenius Aeris… nuraninya menolak.

“Anak Anda yang mulai duluan!” suara lantang memotong perdebatan itu.

Semua orang menoleh ke pintu. Alina berdiri tegak di sana, napasnya terengah, namun sorot matanya tajam mengunci Widya.

“Bu Vita tahu kan? Setiap kali Aeris terlibat masalah, saat kita cek CCTV, yang mulai selalu temannya. Aeris hanya membela diri!” katanya tegas, berjalan mendekat.

“Mama!!” seru Aeris. Bocah itu langsung bangkit dari sofa dan menghambur ke pelukan ibunya.

Alina membungkuk, mendekap tubuh kecil itu dan mengusap kepalanya lembut. "Sshh, Mama di sini, Nak. Jangan takut."

“Masih juga membela anak nakal ini!?” ejek Widya dengan nada sinis. Pandangannya lalu menyapu penampilan Alina dari atas ke bawah, penuh penghinaan yang terang-terangan.

"Pantas saja anaknya berkelakuan dakjal! Ibunya saja jalang!"

Kalimat itu seperti tamparan keras.

Semua orang terkejut. Beberapa guru menutup mulut dengan tangan, tidak menyangka Widya berani melontarkan kata-kata sekeji itu di depan anak-anak.

Alina merasa darahnya mendidih hingga ke ubun-ubun. Kesabarannya habis. Ia melepaskan pelukan Aeris pelan, lalu maju dengan langkah cepat. Dan tanpa aba-aba, tangannya mencengkeram rambut pirang Widya dengan kasar.

"Berani sekali Anda bicara seperti itu di depan anak saya!!" teriak Alina penuh amarah.

"Lepaskan tangan kotormu! Ahhh! Sakit!" balas Widya, mencoba meronta dan memukul tangan Alina.

"Bu Alina! Tenang dulu! Tolong lepaskan!" seru Miss Irsa panik, mencoba melerai.

Tapi Alina tak peduli. Amarah yang selama ini ia pendam meledak. Ia menarik rambut Widya lebih kencang hingga kepala wanita itu terdongak, bahkan satu tangannya kini mencengkeram kerah baju wanita itu.

"Aku tidak akan tinggal diam! Kau selalu menghina aku tanpa tahu apa pun tentang hidupku! Silakan hina aku, tapi jangan pernah sebut anakku nakal di depan wajahku!"

Di pintu, Leon muncul. Matanya membelalak melihat situasi yang sangat kacau. Alina, yang biasanya lembut, kini tampak seperti singa betina. Leon langsung berlari masuk dan membantu para guru memisahkan keduanya sebelum keadaan menjadi lebih parah.

Widya bahkan tak bisa berkutik. Tenaga Alina saat marah luar biasa besar.

"Alina! Hentikan! Alina!" teriak Leon sambil memeluk pinggang Alina, menariknya mundur.

Wajah Alina merah padam, matanya nyalang menatap Widya.

"Mama!!"

Tiba-tiba terdengar tangisan kecil dari arah sofa. Bukan hanya Aeris yang menangis, tapi anak Widya—Rio—juga menangis ketakutan melihat ibunya diamuk.

"Mama, udah... jangan kotori tangan Mama," kata Aeris lirih sambil memegang ujung baju Alina. Suara kecil itu seketika meruntuhkan kemarahan Alina.

Napas Alina memburu, naik turun tidak beraturan. Ia akhirnya melepaskan cengkeramannya. Leon segera menariknya menjauh ke pojok ruangan.

Widya terjatuh ke sofa dengan rambut acak-acakan, terbatuk-batuk keras sambil memegangi lehernya yang memerah. "K-kurang ajar! Wanita gila!" desisnya terengah-engah.

"Aku bisa melakukan lebih dari ini kalau kau berani lagi menghina aku atau anakku di sekolah ini," kata Alina dengan suara dingin.

Lalu ia menoleh tajam pada Bu Vita yang tampak pucat pasi. "Apa keputusan Anda sekarang, Bu? Apa sekolah ini lebih takut pada uang donatur daripada kebenaran?"

Bu Vita menunduk dalam, tangannya bertaut cemas. "Maafkan kami, Bu Alina. Sepertinya… demi ketenangan semua pihak, kami tidak bisa mempertahankan Aeris di sekolah ini lagi."

Alina menghela napas panjang, sebuah tawa sinis lolos dari bibirnya.

"Seperti yang sudah kuduga. Kualitas sekolah ini ternyata hanya sebatas tebalnya dompet wali murid."

Ia lalu menggandeng tangan Aeris. "Ayo, Nak. Kita pergi dari tempat ini. Mama akan carikan sekolah yang jauh lebih bermutu, di mana orang-orangnya punya adab dan otak."

Tanpa menoleh lagi, Alina melangkah pergi dengan kepala tegak, menggandeng Aeris keluar dari ruangan itu.

Leon masih berdiri di sana sejenak. Ia menatap Widya dengan tatapan yang sangat tajam dan dingin. Ia tidak berkata apa-apa, namun seringai tipis di wajahnya menandakan bahwa urusan ini belum selesai bagi Widya.

1
rian Away
REVAN HARUS MATI .. REVAN HARUS DIBUNUH
rian Away
aeris anak haram 🤭
Sunaryati
Ada waktunya kamu bahagia Alina, dan gantian Revan yang hancur
shenina
huhhh sempat2 nya fitri bisa punya ide seperti itu untuk anak nya.. udah keliatan kalau matre, ya jelas lah siapa yg g mau bisa dapatkan menantu kaya raya
shenina
hihh najis 🤮🤮🤮 g rela kalian bahagia.. g sudi sampai al balikan dgn revan..
shenina
sabar alina.. kamu wanita mahal.. ikhlaskan ajaa
shenina
berjuang demi mendapatkan restu sampai titik darah penghabisan
shenina
anj kau revan..😏 dua manusia yg g punya hati
shenina
gak rela alina balikan dgn revan
shenina
hadeuh drama si devi
shenina
emang gak ada nama di dalam kartu undangan birthday ya..ibu kamelia dan mama ny revan k mantan besan.. masa g kenal lagi
shenina
alina yg malang 🤧
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
shenina
kasihan Aries 🥺
shenina
udah bagus mereka g usah ketemu lagi 😮‍💨
Sunaryati
Baik Alina atau kamu yang jadi istri Revan tidak akan bahagia, karena mama Revan suka sama Alina tapi Revan yang tidak suka, sedangkan Devi tidak disukai dan tak dapat restu mamanya Revan itu sangat baik karena restu ibu yang baik sama dengan ridza Tuhan. Jika kalian tetap nikah tanpa restu tidak akan bahagia. Kamu pede banget mau merawat anak Alina dan Revan, memangnya Alina mengizinkan dan Aries mau?
Sunaryati
Thoor buat Aries jangan seperti itu kasihan Alina, jadikan Aries anak yang sayang mamanya, nurut dan santun, jangan suka mengacak barang dan mik up Alina. Jangan kata- kata Aries yang seperti orang dewasa saja. Jika Aries seperti penilaian Mantan mertua dan suami laknatnya Alina tidak bisa mendidik anak.
Sunaryati
Tidak akan dapat restu jika ternyata Aries anak Revan , di bab lalu emak menyarankan di restui namun tanpa anak. Tapi karena sejak Devi sudah jika mereka pasangan suami istri dan tetap menyambut cinta Revan, emak cabut dukungannya, Revan tak menikahi Devi, dan Alina juga tidak mau kembali pada Revan.
rian Away: ngetik apaan
total 1 replies
Sunaryati
Semangat Alina, penghinaan yang dilakukan Revan sejak pasti ada balasan, ikhlas saja
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!