Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Bunga Yang Tak Pernah Mekar
🦋
"Perusahaan kita sedang sekarat, Ayah... dan kalau tidak segera bertindak, Wardana Grup akan tinggal nama."
Nada suara Cakra dingin dan datar, duduk berhadapan dengan ayahnya di ruang kerja yang kini lebih banyak dipenuhi kegelisahan daripada rencana bisnis.
Perusahaan keluarga yang telah berdiri tegak selama lebih dari tiga dekade itu tengah menghadapi krisis terburuknya. Investor mulai menarik dana, saham merosot tajam, dan reputasi runtuh perlahan—semua seakan menuntut satu hal: perubahan drastis.
"Tak ada cara untuk menarik kembali kepercayaan mereka?" tanya Kakek Wardana. Suaranya lirih, berusaha tetap tenang, walau matanya tak bisa menyembunyikan kegundahan.
"Kita tidak pernah bermain kotor. Mengapa mereka meninggalkan kita?"
Cakra tertawa sinis. "Ayah masih berpura-pura tidak tahu? Anda menggunakan dana perusahaan untuk membebaskan Gavriel dari penjara. Jumlahnya… fantastis."
"Aku tidak menyesal." Kakek Wardana menatap Cakra dalam. "Dia darah daging kita. Cucu dari anak pertama, kakak kandungmu."
"Dan aku? Aku anak bungsumu. Tapi selalu jadi pilihan kedua, bukan?" Cakra berdiri, rahangnya mengeras.
"Seharusnya akulah yang menjadi pewaris, bukan dia… dan bukan Shara."
Senyap menelan ruangan. Hanya suara detik jam yang terdengar menusuk.
"Ada satu cara." Cakra akhirnya bersuara lagi. "Kerja sama dengan AS Grup. Perusahaan yang sedang naik daun itu… satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita sekarang."
Kakek Wardana menyipitkan mata. "AS Grup…? Nama itu tidak asing."
"Seharusnya tidak," Cakra menyeringai. "Gedung mereka adalah tempat di mana Valora jatuh… dan mereka tidak tersentuh hukum. Malah naik menjadi nomor satu."
"Atur pertemuan dengan CEO mereka," ucap Kakek Wardana akhirnya, setelah jeda panjang.
"Besok siang. Aku akan buat jadwalnya." Cakra berbalik, langkahnya cepat dan mantap meninggalkan ruangan, seperti seseorang yang tahu bahwa kejatuhan keluarga justru bisa jadi awal bagi ambisinya sendiri.
***
Di sisi lain kota, Gavriel bersandar di sofa bar lounge dengan gelas wine di tangan. Dikelilingi tawa dan musik jazz klasik, malam itu seharusnya jadi malam perayaan. Tapi semua terasa hampa.
"Baru kemarin bebas, ya?" tanya Kevin, menuangkan wine.
"Yup." Gavriel menjawab singkat, menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul, menutupi mata yang kosong.
"15 tahun jadi 5 tahun. Itu sihir apa uang?" sindir Hardi, setengah serius.
"Sepertinya keduanya," timpal Samuel.
"Entah. Kakek yang tahu berapa miliar yang dikeluarkan," ujar Gavriel cuek. Ia meneguk minuman kerasnya seperti meneguk masa lalunya yang pahit.
Vion, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara.
"Seorang pria dinilai dari tanggung jawab, bukan wajah tampan atau warisan."
"Aku menikahinya, Vion," jawab Gavriel dingin.
"Tapi memperlakukannya seperti budak seks."
Gavriel mendekat ke telinga Vion dan berbisik, "Aku tahu kau mencintainya. Tapi hanya aku yang mampu memilikinya."
Vion menahan emosi. Pukul? Sekarang? Tidak. Tapi kelak, akan ada waktunya. Saat Gavriel tak lagi bisa bersandar pada warisan atau sihir.
Dan Gavriel… lupa. Lupa bahwa ia pernah menceraikan Valora. Lupa karena ia telah dikendalikan—oleh sihir hitam dari Dukun Santoso. Lupa karena ingatannya dicuri, dan hatinya dimanipulasi.
***
Gavriel kembali ke rumah dalam keadaan mabuk. Kakinya terseret lelah, langkahnya berat, dan pikirannya buram. Ia menjatuhkan tubuhnya di ranjang… dan terbangun di tempat asing. Lagi.
"Mansion Redmoon…" gumamnya.
"Kau kembali," suara Miss Ki bergema. Gaunnya hitam, topeng butterfly menutupi wajahnya. Ia adalah mimpi buruk yang berwujud elegan.
"Kau janji akan membebaskanku setelah aku membawa bunga Daffodil!"
"Aku bilang: berikan padaku. Tapi kau tak pernah menyerahkannya, Gavriel."
Gavriel berlari. Lari dari suara, dari bayangan, dari jerat.
"BERLARILAH! HAHAHA!" tawa Miss Ki menggelegar, membuat udara di mansion mencekik.
Ed duduk di sebelahnya, layar transparan melayang di hadapan mereka, menampilkan Gavriel yang kini masuk ke hutan Moon.
"Dia menuju rumah kaca," bisik Miss Ki.
"Aku sudah siapkan segalanya," jawab Ed tenang.
Gavriel berlari keluar dari Mansion, ia lega dan tersenyum bahagia akhirnya ia bisa lepas dari Miss Ki tapi pikiran itu segera ia tepis saat ia menyaksikan bahwa di hadapannya hanya ada hutan yang belantara
"Aku pasti bisa keluar" tekat Gavriel sangat kuat untuk keluar dari hutan moon, ia harus bisa keluar jika masih ingin melihat matahari esok hari
Gavriel berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya, ia baru sadar jika di sekelilingnya sangat menyeramkan.
Suara-suara tidak teridetifikasi terdengar dari semak-semak seperti langkah kaki yang tidak terlihat. Bayangan pohon-pohon seperti tampak seperti sosok yang sedang mengawasi menciptakan perasaan tidak nyaman.
Cahaya bulan tampak berkilauan dengan warna yang tidak biasa, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terlihat memantulkan cahaya. Suasana hutan terasa semakin berbeda, seolah-olah ada kekuatan tidak terlihat mengisi udara.
Gavriel berlari dengan cepat meninggalkan tempat istirahatnya tadi. Setelah berlari cukup jauh akhirnya Gavriel menemukan rumah kaca, ia berpikir bisa beristirahat sejenak atau menginap di rumah kaca itu. Lebih baik tidur di rumah kaca itu daripada harus melakukan perintah Miss Ki yang berakhir mengerikan.
Rumah kaca berdiri sunyi di tengah hutan. Bersih. Terawat. Seolah bukan bagian dari dunia yang sama. Gavriel masuk, dan aroma mawar langsung menyergapnya. Menenangkan, namun menipu.
"Mas, mau pilih bunga untuk kekasih… atau istri?"
Suara itu…
Gavriel membeku.
"Valora…?" matanya membulat. Tak percaya.
"Apa Mas tak ingin memilih?" tanya Valora lembut. Gaunnya peach, senyumannya manis. Tapi matanya… kosong.
Gavriel memegang kepalanya. Sakit luar biasa.
"Sudah sakit? Biar kubantu."
BRUK!
Sekop menghantam kepala Gavriel. Dunia berputar. Tubuhnya roboh.
Ia terbangun di kursi, tangan dan kaki terikat. Darah merembes dari pelipis.
"Lora… cukup…"
"Aku belum mulai apa-apa, Mas." dengan manis, Valora memotong kukunya. Satu… dua…
CRACK
"Akhh!!"
"Aduh, maaf ya. Aku ceroboh~"
CRACK
"AKHHH! BERHENTI!"
"Jejakmu pernah menghancurkanku. Kini biar aku tanam dalam-dalam jejakku di tubuhmu."
Sekop itu kembali menghantam. Bunga daffodil terjatuh. Gavriel meraihnya—namun gagal.
PLAK!
Kepalanya dihantam lagi. Darah tumpah membasahi kelopak bunga.
"Berteriaklah… lebih merdu, Mas," bisik Valora.
"Apa yang kau mau dariku…?" lirih Gavriel.
"Nyawamu."
Gavriel menatap Valora. Tapi ia tak sendiri. Seorang pria muncul dari balik bayangan.
Tersenyum.
Semuanya kembali gelap.
Langit di atas rumah kaca dipenuhi kabut perak yang tak lazim. Udara di dalam begitu hangat, seolah tempat ini bukan bagian dari hutan, bukan pula bagian dari dunia yang sama. Seakan waktu menunduk di depan pemilik tempat ini.
Valora duduk di tepi lubang besar yang baru ia gali, ujung gaunnya penuh tanah dan darah. Ia menatap Gavriel yang tergeletak pingsan—masih hidup, tapi hanya tinggal setipis napas.
"Lelaki ini dulu pernah membuatku hampir gila," gumam Valora sambil menyentuh pelipisnya. "Tapi ternyata, gila adalah berkah."
Langkah kaki mendekat. Pelan. Berat. Dingin.
Pria itu datang dari balik bayangan, mengenakan jas hitam berlapis debu malam. Wajahnya tampan tapi tak bisa dikenang. Wajah yang seperti akan menghilang bila kau berusaha mengingatnya.
"Sudah selesai?" tanyanya dengan suara dalam dan bergaung, seperti berasal dari ruang kosong.
"Belum," jawab Valora ringan. "Tapi aku senang kau datang."
Pria itu menjatuhkan sesuatu ke tanah. Sebuah liontin tua dengan inisial "A".
"Auliandra," gumamnya pelan.
Valora terdiam. Mata kelamnya sedikit bergetar.
"Kenapa kau membawa itu?"
"Karena kau harus ingat. Kau bukan hanya Valora."
Dia mendekat. Tatapannya menembus, menusuk, membuka luka-luka yang terkunci.
"Jangan mulai lagi..." Valora memalingkan wajah. Ia tak ingin mendengarnya. Tak ingin mengingatnya.
"Kau pikir kematian Zayn hanya karena sihir hitam? Tidak, Valora. Itu hanya awal. Semua ini kehilanganmu, hilangnya ingatanmu, bahkan bayimu yang tidak pernah kau lihat lahir—semua bagian dari satu rencana yang jauh lebih besar dari dendam Gavriel atau kelicikan Shara."
Valora berdiri perlahan, tubuhnya mulai gemetar.
"Aku tidak peduli. Aku tidak ingin tahu."
"Kalau kau tidak tahu, maka semua ini akan berulang." Pria itu menyentuh bahunya. Dan dunia di sekitar mereka mulai berubah.
Rumah kaca memudar. Bunga-bunga layu. Langit menjadi gelap total.
Mereka kini berada di ruangan yang sama sekali berbeda, dindingnya terbuat dari cermin retak, dan setiap cermin memantulkan wajah-wajah yang tidak Valora kenali… tapi terasa akrab.
"Apa ini?"
"Ini adalah ruang transisi. Tempat para jiwa yang belum pulang. Dan kau, Valora… dan Auliandra… kau belum pernah benar-benar kembali."
***
Gavriel terbangun dengan teriakan pendek. Nafasnya tersengal. Keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Tapi ini bukan rumah kaca.
Ia kembali di kamarnya.
Pintu kamar terbuka perlahan. Shara masuk, membawa segelas air.
"Kau berteriak nak."
Gavriel menggeleng pelan. "Hanya mimpi."
"Tentang Valora?"
Pertanyaan itu menusuk langsung ke jantungnya.
Gavriel menatap Shara, namun ada sesuatu yang berubah dalam matanya. Sebuah keraguan baru mulai tumbuh.
"Ibu… kau tahu kenapa aku menceraikannya?"
Shara membeku sejenak. Lalu tersenyum. "Tentu saja. Karena kau terlalu lelah dengan semuanya, kan?"
Tapi suara Shara… tak terdengar seperti biasanya. Dan saat Gavriel menatap bayangan Shara di cermin di dinding, tidak ada apa pun di sana. Cermin itu kosong.
Tidak ada pantulan. Tidak ada bayangan.
Tidak ada ibunya.
🦋To be continued...