Ketika Badai Bertemu Dengan Jenderal

"Hei! Apa kalian tidak sadar sekarang sudah jam berapa? Kenapa belum tidur?" teriak Michael sambil membawa rotan panjang di tangannya.

Nic dan Storm sontak terdiam di tempat, berdiri tegak seperti dua murid yang ketahuan mencontek.

"Storm, Nic, kalian baru dari mana? Kenapa baru pulang?" tanya Junny, ibu Storm, sambil menguap dan merapikan rambutnya yang berantakan.

"Nyonya, tadi kami melihat ada kecelakaan di jalan, dan ternyata orang itu adalah Tuan Xi—calon suami Nona. Kami membawanya ke rumah sakit dan baru bisa pulang setelah menunggu pihak keluarganya datang," jelas Nic cepat, berharap rotan di tangan Michael segera turun ke lantai, bukan ke punggungnya.

"Tuan Xi?" Junny terkejut. "Bagaimana kondisinya?"

"Sudah diselamatkan oleh Nona. Sekarang sudah aman," jawab Nic sambil sedikit menunduk hormat.

Michael menghela napas lega lalu menatap Storm dengan tatapan khas ayah yang separuh sayang, separuh stres.

"Storm, Tuan Xi baru kembali dari luar negeri, dia akan datang melamarmu."

"Papa, aku tidak mau menikah," jawab Storm datar

Michael mengetuk-ngetuk lantai dengan rotannya. “Kalau tidak menikah, kau mau jadi apa? Papa dan mamamu sudah tua. Tidak bisa terus mengawasimu. Kalau Tuan Xi bisa mengendalikanmu, bukankah itu lebih baik?"

Storm mendengus. “Papa, Tuan Xi bukan Avatar. Dia tidak bisa mengendalikan badai.”

Nic hampir tersedak napasnya menahan tawa, sementara Junny buru-buru menutupi mulutnya agar tidak ikut tertawa di depan suami.

“Jangan melawan! Besok kau pergi menjenguknya!” ujar Michael dengan suara tegas.

“Baiklah, aku akan pergi. Tapi siang aku harus mengobati seorang pasien yang mengalami penyakit aneh,” kata Storm santai.

“Pasien mana? Kenapa Papa tidak tahu?” tanya Michael curiga.

“Dia sudah mendaftar, dan aku yang akan menjadi tabibnya. Papa dan Mama saja yang pergi duluan, aku akan menyusul,” jawab Storm.

Nic melirik gadis itu tajam, nyaris mengembuskan napas kesal. "Pasti tidak ada hal baik yang dia lakukan," batin Nic sambil menatap Storm.

Keesokan harinya.

Tuan Xi yang sebelumnya diselamatkan oleh Storm telah sadar. Walau kondisinya masih lemah, namun luka dalam yang sempat mengancam nyawanya berhasil tertangani berkat pertolongan Storm.

Ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit dengan perban di dadanya, menatap keluar jendela yang menampilkan langit cerah pagi itu.

“Di mana gadis itu?” tanyanya tiba-tiba, suaranya pelan namun tegas.

Asisten yang berdiri di sisi ranjang menunduk hormat. “Tuan Xi, gadis itu sudah pulang bersama temannya. Mereka menunggu hingga malam sebelum akhirnya pergi.”

Tuan Xi menatap kosong sejenak, lalu bibirnya melengkung kecil. “Dua hari lagi, antar lamaran ke rumahnya. Gadis itu… akan aku nikahi.”

Asistennya menatap heran, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Tapi, Tuan…” ucapnya ragu.

“Ada apa?” tanya Tuan Xi, menatapnya dingin namun penasaran.

“Menurut kabar yang saya dengar…” Asisten menelan ludah sebelum melanjutkan, “Gadis itu sulit diatur. Bahkan ayahnya sendiri sering memarahinya. Nona Lin sering menimbulkan masalah di luar. Pendidikan formalnya juga rendah, tidak pernah lulus ujian. Dan… mungkin saja dia bahkan kesulitan menulis. Tapi dia bisa membaca.”

Alis Tuan Xi terangkat. “Tidak bisa menulis tapi bisa membaca?”

“Benar, Tuan. Nona Lin memiliki ingatan yang sangat buruk. Apa pun yang dia pelajari cepat hilang. Namun anehnya, dia bisa menyelamatkan nyawa Anda tanpa alat medis dan hanya menggunakan jarum akupuntur. Semua dokter terkejut dengan caranya.”

Tuan Xi menatap ke depan, ekspresinya datar namun matanya berkilat dengan ketertarikan yang dalam.

“Pelupa, ingatan buruk, gagal ujian, tidak bisa menulis dengan baik…” gumamnya pelan. Lalu ia tersenyum samar, penuh tekad. “Tidak masalah bagiku. Gadis itu… akan menjadi istriku.”

***

Toko tempat praktik pasien dan menjual obat herbal. Milik Micheal Lin.

Siang itu Storm yang sedang mengenakan sarung tangan, seorang pria duduk di ranjang pasien dengan malu dan ragu menatap tabib muda itu.

"Nona, di mana tabib Lin?" tanya pria itu.

"Itu papaku, papa ada urusan dan keluar, dan hari ini beliau cuti. Cepat lepaskan celanamu," kata Storm.

Pria itu malu dan menunduk.

"Kenapa diam saja? Aku tidak bisa periksa kalau kau tidak buka celanamu," tanya Storm.

"Tuan, tenang saja, Nona Lin juga seorang tabib. Apa pun penyakitmu bisa diobati," kata Nic yang santai menyeduh teh panas.

Pria itu melepaskan celananya dan berbaring di atas ranjang.

Tanpa ragu Storm yang sepertinya sudah berpengalaman mulai melakukan tugasnya.

"Nona, apakah senjataku baik-baik saja? Belakangan ini sering sakit dan sulit buang air kecil," tanya pria itu dengan canggung.

Storm menggunakan kedua tangannya yang telah mengenakan sarung tangan memeriksa senjata pria itu.

"Sepertinya ada penyakit kulit, selain itu anda juga sering bermain wanita. Kalau selalu berhubungan dengan wanita yang berbeda, maka cepat atau lambat senjatamu bisa bengkak dan terkena HIV," jawab Storm.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya pria itu.

" Kulitnya sudah berkerut, terlalu hitam dan berdaki, sudah berapa lama kau tidak bersihkan?" tanya Storm.

"Itu bukan berdaki, Nona. Tapi memang kulitnya seperti itu," kata Nic.

Storm melepaskan sarung tangan itu dan membuangnya ke tong sampah. Ia mengambil pena dan menulis.

"Tenang saja, aku akan mengobatimu dan minum obat secara rutin. Dan paling penting saat ini adalah tindakan darurat harus dilakukan untuk membuang kotorannya," jawab Storm.

"Caranya apa, Nona?" tanya pria itu.

Storm mengambil pisau sayur dan mengasah dengan serius, membuat pasien itu berkeringat dingin.

"Ditebas!" jawab Storm, yang mengejutkan Nic hingga tersedak dan batuk. Begitu pula dengan pasien itu yang semakin pucat melihat pisau daging itu.