⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 24
Malam itu udara menusuk tulang. Angin berhembus liar seolah ikut menyimpan amarah yang mendidih di dada Aluna.
Langkahnya cepat, nyaris berlari, sementara tangannya gemetar menggenggam selembar surat yang kini basah oleh air matanya.
Romi dan Anya menyusul di belakang, tak sanggup menahan gadis itu.
“PAPAAAA!” teriak Aluna sekuat tenaga. Suaranya memecah keheningan rumah besar itu hingga bergemuruh.
Axel yang duduk di ruang tamu hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu benar—jika Aluna menangis seperti itu, berarti badai sudah di depan mata.
“Kenapa sayang? Jangan keras-keras, nenek sama kakek udah tidur,” ucapnya lembut, mencoba menenangkan.
Namun Aluna tak menjawab. Matanya merah, napasnya berat, dan tubuhnya bergetar hebat.
“Ini apa, Pah?” ujarnya serak sambil menyerahkan surat itu.
“Pah… papa yang bikin ibu sakit. Papa yang bikin ibu meninggal!” jeritnya pecah di antara isak.
“Aluna, denger dulu sayang, papa bisa jelasin—”
“Sayang, tenang dulu,” ucap Romi ikut menengahi, berusaha meraih tangan Aluna.
Namun Aluna menepis keras.
“DIEM, PAH!” bentak Aluna tiba-tiba, suaranya menggema, membuat semuanya terkejut.
Pintu kamar terbuka keras. Herman keluar dengan wajah lelah dan kusut.
“Ada apa ini malam-malam berisik banget?!” serunya.
Semua mendadak terdiam. Hanya suara napas dan detak jam dinding yang terdengar.
“Aluna udah baca semuanya, kan? Di situ ditulis semuanya cuma salah paham,” ucap Romi lembut, berusaha menenangkan.
Tapi sebelum suasana reda, suara tajam Bu Ami menyambar.
“Aluna, lagian papa Axel udah nebus kesalahan dia. Dia rawat kamu dari kecil walau kamu anak Revan!”
“NGGAK, MAH! Aluna anak aku!” potong Axel keras, membuat semua orang terpaku.
“Apa?!” Bu Ami membulatkan mata. Anya refleks menutup mulutnya dengan tangan, nyaris menjerit.
Axel menunduk, menatap lantai, sebelum akhirnya bersuara lirih namun tegas.
“Kayla dan aku… sempat selingkuh dari Revan. Revan nggak bisa punya anak.”
Romi menatapnya tak percaya. Rahangnya mengeras.
“Gila lo, Xel!” suaranya bergetar antara marah dan jijik.
“Kayla juga nggak nolak, Mi,” lanjut Axel tanpa ekspresi, seolah menyerah pada nasib.
“Sialan!” Romi mengumpat, tangannya mengepal di pinggang.
“Nggak nyangka… kalian, Axel…” suara Bu Ami pecah, matanya berkaca-kaca.
Axel langsung memotong, suaranya meninggi, “Mah! Waktu itu Axel sakit! Mama sendiri yang suruh Kayla masuk kamar!”
“Ya kirain ngobrol biasa!” teriak Bu Ami balik, nadanya penuh penyesalan.
“Sudah-sudah!” ucap Herman keras, menepuk meja. “Itu semua udah berlalu! Aluna juga udah kita urus dari kecil, kan!”
Namun Aluna tetap menatap Axel dengan mata dingin penuh kebencian.
“Aluna, jangan gitu…” ucap Axel pelan, hampir seperti bisikan.
“Papa gila!” jawab Aluna dengan suara serak dan penuh emosi.
“Papa bunuh ibu!”
“Aluna, ibu kamu sakit bukan karena itu,” jelas Romi dengan sabar, tapi matanya ikut berair.
“Tetep aja, Pah!” Aluna menatap tajam. “Papa Axel jahat sama ibu! Dia siksa ibu tiap malam! Dia juga bawa cewek ke rumah… JINAH di kamar!” teriaknya sampai suaranya pecah.
“Apa?!” Bu Ami memekik, lalu tubuhnya goyah sebelum akhirnya jatuh pingsan.
“Bu Ami!” teriak Romi dan Herman bersamaan. Mereka berlari menolong, membaringkannya di sofa.
Aluna tak peduli. Ia berlari ke kamarnya, membanting pintu dan menjerit sekuat tenaga.
“AAAAARRRRGHHHH!”
Ia meraih make up di meja rias dan melemparkannya satu per satu hingga kaca pecah.
Romi dan Anya berdiri di depan pintu, hanya bisa saling pandang, tak tahu harus berbuat apa.
Aluna kemudian melangkah ke balkon dengan mata sembab. Tangannya gemetar ketika merogoh saku dan mengeluarkan rokok yang selama ini ia sembunyikan.
Ia menyalakan api dengan tangan gemetaran. Asap pertama yang ia hembuskan terasa getir di tenggorokannya.
“Brengsek…” umpatnya pelan, suaranya serak tertahan tangis.
Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat:
Jemput.
Pesan itu dikirim ke Ray. Tak lama kemudian balasan muncul:
Mau ke mana, Al?
Club.
Ray membalas cepat.
What?!
Buruan.
Oke, tunggu.
Beberapa menit kemudian, suara mobil berhenti di depan rumah. Aluna turun dengan langkah gontai tapi tegas. Ia membawa tas kecil berisi seragam sekolah.
Tanpa berpamitan, ia masuk ke mobil Ray. Lampu depan menyala, lalu meluncur pergi menembus malam, meninggalkan rumah yang kini hanya berisi keheningan dan penyesalan.
Lampu neon di club malam itu berkelap-kelip, memantulkan warna biru dan ungu di wajah Aluna yang tampak kusut dan lelah. Suara musik berdentum keras, tapi tetap tak bisa menutupi sesak di dadanya.
Ray menatapnya dari seberang meja, memperhatikan cara Aluna menggoyangkan gelas berisi alkohol berwarna biru—gerakan pelan tapi penuh amarah yang ditahan.
“Kamu kenapa, sayang?” tanya Ray dengan suara lembut, sedikit harus berteriak agar terdengar di antara dentuman bass.
Aluna menatap kosong ke arah gelasnya. “Semuanya gila, Ray…” ucapnya tenang, tapi matanya berkaca-kaca, menyimpan badai yang belum reda.
Ray mencondongkan tubuh, menatap dalam wajah gadis itu. “Ngomong dong. Biasanya kamu ngomong kalau ada masalah,” ujarnya lembut, mencoba membuka ruang bagi luka yang selama ini Aluna sembunyikan.
“Semuanya kacau, Ray.”
Suara Aluna serak, tangannya gemetar saat meneguk minuman itu lagi. “Aku nggak bisa bayangin… perasaan ibuku waktu itu.” Air matanya menetes satu per satu, jatuh membasahi pipinya.
Ray hanya diam. Ia tak berani memotong. Tatapannya lembut, penuh empati.
“Sakit… jadi ibu aku pasti sakit banget. Hancur.” Suara Aluna pecah. Tubuhnya mulai bergetar. Ia menunduk, menutupi wajahnya, lalu tangisnya tumpah begitu saja.
Ray bergerak cepat, meraih bahunya dan menariknya ke dalam pelukan. “Sstt… udah, udah, Al…,” bisiknya, memeluk erat gadis yang rapuh itu.
“Aaaakh! Pasti sakit rasanya!” teriak Aluna di dada Ray, suaranya nyaring tapi penuh kepedihan. Ia menepuk-nepuk dada Ray dengan lemah, setengah mabuk, setengah kehilangan akal.
“Ibu… pasti sakit ya, Bu… ya, Bu!” tangisnya meledak tanpa kendali.
Ray tak menjawab. Ia hanya menatap ke langit-langit, matanya ikut basah. Satu tangannya mengelus rambut Aluna pelan, seperti menenangkan anak kecil yang kehilangan arah.
“Pulang, ya,” bisiknya akhirnya, lembut namun tegas.
“Nggak mau!” Aluna menggeleng keras. “Aku benci orang rumah!”
Ray menarik napas panjang. “Ke rumahku aja, ya?”
“Malu… sama ibu kamu,” jawab Aluna lirih.
“Nggak ada. Mereka ke luar negeri,” jawab Ray singkat.
Aluna menatapnya sejenak, lalu menyeka air matanya dengan punggung tangan. “Hayu.”
Malam itu mereka melaju di jalanan kosong. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil, dan Aluna hanya diam menatap keluar jendela. Wajahnya masih merah, matanya sembab, tapi hatinya sedikit tenang karena ada seseorang yang tetap tinggal bersamanya.
Bersambung....
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣