Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Masih berjuang mendapatkan restu
"Alina!"
Alina menoleh dan mendapati Siska masuk ke ruangannya.
"Rapat lagi. Pak Direktur mau menyampaikan hal penting."
"Lah, ada Pak Erwin?"
"Ya, dari pagi beliau udah ada," jawab Siska.
Alina lalu melirik ke arah Aeris yang sudah tertidur nyenyak di sofa. Memang sudah menunjukkan pukul 12.00 siang, dan sebelumnya dia juga sudah makan bersama Aeris.
"Eh, tahu nggak, tadi direktur baru datang bareng sekretarisnya," kata Siska dengan wajah antusias.
Alina berhenti sejenak, lalu menatap Siska.
"Kok aku nggak tahu?"
"Yee... kamu aja yang sibuk kerja. Udah aku chat juga tapi kamu nggak keluar-keluar."
"Gimana lagi, naskah kita aja numpuk. Itu pun baru tiga naskah yang selesai aku edit,"
"Rapat apaan lagi sih?" tanyanya lagi.
"Nggak tahu, mungkin rapat buat penyambutan direktur baru," jawab Siska sambil mengangkat bahu.
Ternyata, ruang rapat sudah penuh dengan karyawan. Pak Erwin berdiri di depan, tampak serius.
"Seperti yang sudah kalian ketahui, perusahaan kita sedang mengalami krisis. Hal ini disebabkan oleh beberapa orang dalam yang melakukan kecurangan," kata Erwin, tatapannya menyapu seluruh ruangan, sementara sebagian besar karyawan hanya bisa menunduk.
"Kalian pikir kalian bisa melakukan hal seperti itu di perusahaan saya? Tidak. Saya tidak akan membiarkan hal-hal seperti ini terjadi lagi. Tidak di bawah kepemimpinan saya, dan tidak di bawah kepemimpinan yang baru."
Erwin menarik napas sejenak, lalu melanjutkan.
"Maka dari itu, saya ingin memberitahu bahwa mulai besok, akan ada pemimpin baru di perusahaan ini. Beliau yang akan membenahi segala kekurangan selama masa kepemimpinan saya. Saya percaya beliau lebih mumpuni, lebih tegas, dan memiliki visi yang kuat untuk membawa perusahaan ini keluar dari krisis."
"Besok, kalian harus mempersiapkan acara penyambutan untuk beliau. Bersihkan juga ruangan kalian, karena beliau akan melakukan inspeksi langsung, satu per satu."
Ruangan pun langsung riuh dengan suara-suara berbisik dan gumaman dari para karyawan.
"Diam!! Semuanya tolong diam!!" Kata Erwin dengan suara lantang.
"Saya juga ingin meminta maaf jika selama ini, dalam kepemimpinan saya, masih banyak kekurangan. Tapi satu hal yang saya tekankan: jangan pernah main-main dengan direktur baru. Mungkin, beliau jauh lebih tegas—atau bahkan lebih kejam dari saya."
Alina hanya memainkan kuku-kukunya, terlihat jengah dengan suasana itu. Sebenarnya, dia tidak terlalu peduli siapa pun yang menjadi direktur. Bagi Alina, yang penting adalah dia bekerja dan mendapat gaji. Itu saja.
Rapat dibubarkan setelah tiga puluh menit.
"Aku makin semangat karena direktur barunya ganteng," kata Siska, matanya berbinar-binar.
Namun seketika, ekspresi wajahnya berubah menjadi sedih.
"Tapi katanya, direktur baru udah punya pacar. Dan pacarnya itu... sekretarisnya sendiri," lanjut Siska.
"Oh ya? Mungkin mereka ngerasa cocok. Namanya juga kerja barengan, pasti lama-lama muncul rasa-rasa cinta," sahut Alina santai.
"Ish... di sini nggak ada yang ganteng, makanya aku nggak tertarik satu pun," kata Siska.
Alina tertawa pelan.
"Itu si Putra, nempelin kamu mulu. Kenapa kamu nggak sama dia aja?"
"Ogah! Amit-amit! Mending jomblo menahun daripada sama dia!" jawab Siska sambil berlalu, lalu menggeplak bahu Alina ringan.
Sedikit demi sedikit, Alina juga mulai penasaran dengan direktur baru itu.
"Lihat besok aja lah," gumamnya sambil mengangkat bahu santai.
•
•
"Apa nanti dia akan setuju, Jeng?"
"Ck, jika dia tidak setuju, aku akan memaksanya," jawab Leni tenang.
"Kau ini, pemaksaan itu tidak baik, Jeng. Coba kau lihat Nyonya Retno. Karena ambisinya menjodohkan anaknya dengan pria kaya, akhirnya anaknya jadi stres, sering tertekan, suaminya nggak mencintainya, hidupnya jadi seperti neraka. Aku nggak mau putriku mengalami hal yang sama."
"Kau tenang saja. Putraku itu bukan orang yang temperamen, dia juga tidak pernah menyakiti perempuan," sahut Leni lagi.
"Jadi... kau bawa saja malam ini putrimu," katanya mantap.
Nyonya Moli mengangguk.
"Baiklah, tapi keputusan tetap ada pada mereka."
"Kupikir Gisel akan menyukai putraku, begitu juga sebaliknya," kata Leni sambil tersenyum.
Setelah Nyonya Moli pergi, Leni tertawa pelan. Rencananya menjodohkan Leon dengan putri sahabatnya akhirnya berjalan sesuai rencana. Sudah lama ia merencanakan ini.
"Aku harus bergerak cepat sebelum wanita itu semakin menguasai putraku," gumamnya.
Sementara itu, Leon berada di apartemennya dan sedang video call dengan Alina.
"Bagus lah... daripada perusahaan kamu bangkrut terus kamu dipecat," kata Leon.
"Hmm, tapi aku agak penasaran dikit. Kata Siska, orangnya ganteng dan jauh lebih muda dari Pak Erwin."
"Aku cemburu loh, kamu muji laki-laki lain ganteng di depan aku," sahut Leon, pura-pura memasang wajah masam.
Alina terkekeh.
"Emang kamu ganteng?"
"Alina..."
"Tgl 21 malam kamu sibuk nggak?" tanya Leon lagi.
"Nggak tahu, lihat jadwal nanti. Emang kenapa?"
"Mau ngajakin kamu ke pesta kolega aku. Katanya sih, mau ngerayain karena menang tender," kata Leon.
"Ish... malu ah. Aku nggak terbiasa datang ke tempat kayak gitu," jawab Alina.
"Ayolah... demi pacarmu ini. Yah? Yah? Yah? Kan nggak lucu kalau aku datang sendirian, padahal aku punya pacar," bujuk Leon.
Alina akhirnya mengangguk. Leon langsung mencium ponselnya sampai terdengar bunyinya.
"Kalau Aeris mau ikut, bawa aja. Nggak masalah kok," tambah Leon.
"Iya, lihat nanti," sahut Alina.
•
•
Devi turun dari mobil Revan saat pria itu membukakan pintu untuknya.
Devi tersenyum, lalu menyambut uluran tangan Revan.
"Tangan kamu dingin banget," komentar Revan.
"Biasa, aku gugup," jawab Devi sambil berusaha tersenyum.
"Percaya sama aku, Mama nggak bakal makan kamu."
Tok! Tok! Tok!
Revan mengetuk pintu utama rumahnya. Tak lama, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya tersenyum menyambut.
"Selamat malam, Den, Non," ucapnya sambil membungkuk sopan.
"Tuan sudah menunggu di ruang tengah," tambahnya.
Revan masuk sambil menggandeng Devi. Di tangannya, ada dua paper bag berukuran sedang.
"Silakan duduk," kata Felix.
Devi mengangguk, sedikit kikuk.
"Mana Mama?" tanya Revan.
"Di kamar, bentar Papa panggilin," sahut Felix, lalu bangkit dan berjalan ke lantai atas.
"Kakak cantik!"
Devi tersenyum melihat seorang bocah kecil berlari ke arahnya.
Ia berjongkok, lalu menciumi pipi si bocah.
"Hai, sayang," kata Devi lembut.
"Kakak udah lama ndak ke sini," protes Rania.
"Maaf ya, Kakak sibuk. Tapi kan pas ulang tahun Mama kita ketemu?"
"Rania kangen main sama Kakak,"
"Abang Revan ngajak Rania weekend jalan-jalan. Kak Devi ikut juga, kan?" tanya Rania lagi.
"Tentu aja, Kak Devi kan pacarnya Abang," sahut Revan sambil mengacak rambut adiknya.
Tak lama, Jesika turun bersama Felix. Wanita itu menatap ke arah mereka, terutama Devi, dengan pandangan datar.
"Ma..." sapa Revan sembari menyalami tangan ibunya, diikuti oleh Devi.
"Mmm... aku ke sini mau nganterin kado ulang tahun Mama. Kemarin nggak sempat ngasih," ujar Revan.
"Hm, makasih," katanya.
"Ma..." panggilnya lagi, kali ini dengan nada sedikit lembut.
Kini Revan sudah menggenggam kedua tangan Jesika.
"Aku harus apa biar Mama kasih restu buat aku nikahin Devi?" katanya pelan.
Jesika memalingkan wajah, tak sanggup menatap wajah memelas putranya.
"Mama lihat kan, selama bertahun-tahun ini, pernah nggak Devi nyakitin aku atau mempermalukan keluarga kita?" tanya Revan.
Ia menggeleng sendiri, lalu melanjutkan,
"Apa yang menurut Mama kurang dari dia? Kenapa begitu berat bagi Mama buat kasih restu?"
"Mama mau kan lihat aku bahagia? Dan kebahagiaan aku itu ada di Devi. Kalau Devi bukan gadis baik-baik, dari dulu aku udah tinggalin dia. Percaya sama aku, Ma... pilihan aku bukan sembarangan."
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Dan lagi... aku pria dewasa dan normal... aku butuh pendamping. Aku butuh pasangan hidup yang bisa melengkapi, dan itu Devi."
Jesika menghela napas panjang, lalu perlahan menarik tangannya dari menggenggam Revan.
"Jika kamu ingin restu dari Mama, maka selesaikan dulu masa lalu kamu."
"Masa lalu?"
"Ya. Cari tahu... anak siapa Aeris itu sebenarnya. Jika benar dia putramu, cari tahu juga penyebab kenapa Alina pergi membawanya!" suara Jesika mulai tegas dan dingin.
"Jika sampai Mama tahu, kamu penyebabnya, maka kamu nggak akan pernah lepas dari Mama," katanya lagi dengan sorot tajam.
Revan mengangguk akhirnya.
"Akan aku selesaikan. Tapi Mama harus janji, setelah semua ini selesai... Mama kasih restu hubungan kami."