Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
Athena Putri Sach, nama yang tertera dalam rekam jejak pembunuhan sekitar tiga tahun yang lalu. Menewaskan seorang kepala sekolah dengan bekas tusukan di dada bagian kiri dengan pisau berlumuran darah tergenggam erat ditangannya. Tatapan dingin setara dengan suhu yang ada, tanpa rasa sesal dan pembelaan saat intimidasi dilakukan pada ruang kedap suara. Hanya ada kesunyian dan gema dari teriakan tak berdasar baginya.
“Iya atau tidak, Nona Sach”
“Tidak”
Ucapan kaku yang mereka yakini keluar dari mulut gadis kecil ini justru jadi jawaban, lantaran banyak riwayat konsultasi medis dengan dokter kejiwaan. Mengarah pada kemungkinan besar bahwa dugaan gelar psikopat melekat padanya.
“Katakan yang sejujurnya atau nasibmu akan sesuai dengan orang yang kau bunuh”
Athena memicingkan matanya. Tatapan yang tidak akan pernah pihak investigasi lupakan tentangnya, mistis, penuh keyakinan akan kebohongan yang akan dia buat justru malah tidak masuk akal.
“Bunuh saya atau setelahnya anda akan menyesal karena memenggal jiwa polos ini, Pak”
Athena memiringkan wajahnya sejenak, menatap pria paruh baya dengan atribut kepolisian benar-benar menunjukkan citranya saja saat di publik. Selebihnya, saat keadaan seperti ini? Menuduh tanpa bukti, apalagi pada anak remaja kelas sebelas SMP, sudah termasuk pemaksaan atas apa yang tidak dia lakukan.
“Lihat apa yang terjadi setelah ini”
Aletha berhenti tepat disamping ruang satpam. Diantara gerbang masuk dan keluar sekolah. Menatap seorang pria yang baru saja meletakkan secangkir kopi hitam didalam.
“Aletha”
Gadis itu menoleh pada sudut lain. Siapa lagi kalau bukan Roona dan Venus. Dua orang selain Khalil yang berani bicara dengannya. Aletha meninggalkan tempat disusul kedua manusia itu, di antara keseimbangan langkah kakinya.
“Kita bisa jadi temen belajar”
“Gue ngga butuh temen belajar”
Venus mendengus, sudah berulang kali dia mengatakan pada Roona untuk berhenti membujuk gadis dingin itu untuk bergabung dengan mereka. Tapi jiwa penasaran sekaligus bersosialisasinya memang selalu muncul bahkan ketika ada murid baru di sekolah.
“Kita deh yang numpang belajar sama lo”
Langkahnya terhenti, membuat kedua orang yang mengikutinya juga menghentikan kakinya, sejajar atau sedikit lebih maju karena gerakan mendadak itu.
Rumus hukum newton satu, sigma f sama dengan nol. Hukum yang menyatakan bahwa suatu benda akan tetap dalam keadaan diam atau terus bergerak lurus beraturan. Kecuali jika dipaksa untuk mengubah keadaan nya oleh gaya dari luar.
“Gaya belajar gue aneh”
Roona tersenyum, menganggat kedua alisnya beberapa kali agar gadis itu memberikan ijin untuknya. Walau berakhir sama dan membuat Venus lagi dan lagi menghela napas berat.
“Gue udah bilang berapa kali sih, dia tuh cewek aneh. Buat diajak kenalan aja nggak mau apa lagi temen belajar lo”
Aletha memperlambat langkahnya, sejenak melirik sebelum kembali melangkah. Pada tujuan awal kedatangan yang tidak ingin menyeret siapapun dalam misi yang dia jalankan. Termasuk kedua manusia yang katanya ingin berteman atau satu orang lainnya yang sok akrab.
Dia ingat betul titik yang dia pijak adalah sudut pandang reporter yang mempotet dinding penuh darah. Saksi bisu paling nyata diantara manusia bernyawa dengan jiwa iblis mereka. Tubuhnya tak bergerak, maniknya tak berpindah. Yang dia pikirkan sekarang hanyalah, apa yang bisa dia dapatkan dari dinding yang sudah dicat ulang, dan tanah yang sudah berlapis keramik? Seperti kali ini sudah terlalu terlambat untuk mendapatkan keadilan, yang sudah dia katakan pada keluarganya.
Tangannya meraih benda pipih yang dia simpan disaku. Menampilkan beberapa tangkapan layar berita pembunuhan yang terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Yang sudah terhapus secara tiba-tiba, tiga hari setelah kejadian berlangsung.
“Gue yakin lo nyari sesuatu”
Aletha menghela napas, suara itu lagi. Rasanya ingin sekali dia tendang makluk bernama Khalil Gibran itu dari muka bumi. Saat detik dimana mereka bertemu di tempat ini, kala itu.
“Bukti apa yang masuk akal dari pada rekaman video” maniknya mengarah pada cctv yang terletak diujung lorong. Tentu akan lebih luas rekaman yang ditangkap karena penggunaan cctv 360 derajat.
“Kalau semudah memisahkan ceker dari tulangnya, mungkin gue nggak perlu repot-repot kesini”
“Kalo bagi lo misahin ceker dari tulangnya itu mudah, mecahin masalah kaya gini juga jauh lebih gampang dari bedain mana gula sama garam”
Aletha menoleh, menatap begitu entengnya ucapan pria disebelahnya. Seakan tahu semua plot yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Kalau saja semudah film dan serial yang dia tonton, mengambil rekaman video di ruang penjagaan, pasti sudah dia dapatkan rekaman itu jauh-jauh hari. Tanpa mengorbankan waktu dan air mata keluarganya.
“Jangan ngikutin gue”
“Gue bisa bilang sama kepala sekolah kalo lo intel rahasia”
“Lo ngga punya bukti”
Khalil tersenyum, menyerahkan kartu identitas yang sempat dia temukan dibawah meja tempat duduk Aletha.
“Lain kali tinggal aja dirumah”
Manik mereka bertemu, tatapan tajam yang beradu dengan pandangan tenang tanpa intimidasi. Kali pertama semenjak hidupnya, seseorang melihatnya berbeda.
“Lo bakal bilang?”
“Kita cari semua buktinya, gue yakin lo ngga bisa nolak kalo jadi partner buat mecahin masalah ini kan?”
—
Avrem dan Kasandra hanya diam dari dalam rumah. Melihat untuk pertama kalinya Aletha membawa teman kerumah, lebih lagi dia laki-laki. Tatapan tidak percaya dan kagum bercampur jadi satu. Bagaimana bisa gadis itu menemukan teman secepat ini? Laki-laki? Rekor luar biasa dalam sejarah kehidupan Aletha dan keluarga ini.
“Gue cuman berputar di beberapa titik dan cari cara untuk bisa ada disana lebih lama”
Khalil menghela napas. Pertama, ruang kepala sekolah bukan tempat yang mudah untuk dimasuki dan dicari dokumen kasus yang sudah disembunyikan lebih dari tiga tahun lalu.
Kedua, tempat kejadian perkata sudah tidak meninggalkan jejak kecuali bercak darah yang mengering dan sudah tertutup warna baru.
Ketiga, ruang kelas yang sama yang dia tempati sudah Aletha curigai sebagai tempat kasus serupa, lebih mengarah pada kasus pembullyan verbal.
“Itu nggak cukup”
“Lebih dari cukup” ucapnya penuh penekanan. Gadis itu membuka laptop yang jadi salah satu alat untuk memecahkan masalah dalam hidupnya. Termasuk teori yang dia yakini terjadi sepanjang kakaknya bersekolah disana.
“Ini nggak akan masuk akal kalo lo ngomongin perasaan”
Khalil mengamati setiap line yang tersusun rapih pada layar. Menampilkan secara detail awal kejadian sampai kemungkinan besar perilaku apa saja yang dilakukan pelaku terhadap korban.
“Gue yakin pelakunya punya kuasa, lebih dari yang gue bayangin”
“Ini lo yang bikin?”
Aletha menelan ludahnya. Manik mata tak percaya bisa dia lihat lebih jelas dari ketulusan tadi pagi. Ini yang membuatnya tidak ingin menggantungkan kepercayaanya pada manusia lain. Karena Aletha selalu percaya bahwa manusia bersifat dinamis, yang mudah berubah. Soal bentuk atau perasaan sekecil apapun.
Gadis itu menutup laptopnya, membiarkan pikiran liar bercabang diotak Khalil.
“Gue ngga butuh bantuan lo”
“Tapi itu nggak logic”
Aletha menggeleng pelan, masih dengan tatapan dingin yang cukup membuat Khalil tak berpaling, “nggak ada yang logic didunia investigasi, kasus pembunuhan manusia bahkan lebih kejam dari pada santet”
“Aletha, ini bahaya”
“Iya, keluarga gue juga bilang gitu”
Khalil menghela napas, menatap penuh keraguan pada gadis berani yang baru dia temui beberapa hari lalu.
To Be Continue...