Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.
Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.
Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.
Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.
Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: ALIANSI BISKUIT KEDALUWARSA
Perintah itu menggantung di udara yang berbau apak. "Reza. Beri dia biskuit."
Reza tersentak, seolah ditarik dari mimpi buruk oleh perintah yang lebih buruk. Dia menatap Rania—temannya yang kini menjadi komandan yang dingin—lalu ke Santi, si wartawan yang kini menjadi rekan tahanan.
Dengan tangan gemetar, Reza merogoh kotak P3K, mengambil bungkusan *cracker* asin kedua, dan mendorongnya ke seberang meja yang berantakan.
Santi Ibrahim menatap biskuit kedaluwarsa itu. Tiga jam yang lalu, dia sedang memikirkan *deadline* dan secangkir kopi *latte* yang enak. Sekarang, dia ditawari makanan ransum oleh seorang buronan supernatural di dalam kontainer berkarat.
Dia mengambil biskuit itu. "Terima kasih," bisiknya. Itu adalah kebohongan.
"Saya tidak menawarinya untuk membuatmu nyaman," kata RANIA, suaranya datar. Dia tidak menoleh dari monitor CRT yang berdengung. "Saya menawarinya agar Anda tidak pingsan. Aset yang pingsan tidak efisien."
Santi bergidik mendengar nada klinis itu. Dia membuka bungkusnya, suaranya terdengar sangat keras.
"Data Anda. Lanjutkan," perintah Rania.
Santi, sambil menggigit biskuit keras yang rasanya seperti kardus berdebu, memaksakan otak reporternya untuk bekerja. "Oke. Militer. Mereka menyebutnya 'Operasi Selubung Pagi'. Karantina total di Sektor Empat... eh, maksud saya, area Blok M. Tapi perimeter mereka... aneh."
Ini menarik perhatian Rania. Dia menoleh dari layar. "Aneh bagaimana?"
"Mereka tidak membuat lingkaran yang rapat," kata Santi, naluri reporternya mengambil alih. "MereKaki membangun barikade terkuat di jalan-jalan utama. Tapi area industri di selatan... sektor gudang... mereka hampir mengabaikannya. Seolah-olah mereka tidak punya cukup orang, atau... mereka tidak peduli jika ada yang keluar lewat sana."
Rania menyerap data itu. *Kekurangan sumber daya? Atau... lubang yang disengaja? Sebuah koridor yang dibiarkan terbuka oleh Ordo untuk pergerakan aset mereka sendiri?*
"Lanjutkan."
"Sinyal," kata Santi, kini lebih percaya diri. "Seperti yang Anda katakan, 'Kabut Perang'. Semua sinyal digital—GPS, seluler, 4G, 5G—mati total. Dihapus. Tapi ada yang lebih aneh. Saya membawa *scanner* radio saya."
Dia menepuk tas kameranya. "Frekuensi AM... biasanya mati. Sekarang? Frekuensi itu *penuh*. Penuh dengan statis. Tapi bukan statis biasa. Itu... 'statis' yang ada di file audio yang dikirim Dion."
Reza, dari sudut, mendongak, wajahnya pucat. "Suara... lolongan itu?"
"Ya," bisik Santi. "Seluruh pita gelombang AM adalah satu jeritan panjang tanpa henti. Seolah-olah 'Koreksi' itu... *menyiarkan* dirinya sendiri."
Rania memproses ini. *Sang Geometer* dan *Pembersih* tidak hanya menghapus. Mereka *berkomunikasi*. Mereka mengotori frekuensi manusia dengan bahasa Gema mereka.
"Oke," kata RANIA. "Itu data yang berguna. Anda telah mengkonfirmasi bahwa dunia luar tidak bisa diandalkan. Militer adalah ancaman yang bisa diprediksi. Komunikasi digital... mati."
Dia berbalik kembali ke monitor CRT.
Santi menatap Rania. "Itu... itu saja? Saya baru saja mempertaruhkan nyawa saya untuk datang ke sini! Saya memberi Anda info intel terbaik! Dan sekarang apa? Kita... kita hanya duduk di sini dalam kegelapan dan makan biskuit basi?"
"Tidak," kata RANIA. "Sekarang, Anda diam. Dan saya bekerja."
Dia mengklik dua kali pada file dokumen utamanya. *'Resonansi Spasial: Analisis Pola Arsitektur Kuno...'*
Layar itu dipenuhi dengan kata-kata. Kata-kata *miliknya*.
*"...Arsitektur adalah bahasa. Ia adalah narasi yang kita bangun di sekitar kita. Dinding-dinding ini berbicara kepada kita dalam bisikan..."*
Rania menatap paragraf pembuka yang penuh gairah itu.
Dia merasakan sesuatu. Sebuah *glitch*. Sebuah getaran di amuletnya.
Rasa... *malu*.
Emosi.
Itu adalah data yang kacau dan tidak efisien. Itu adalah tulisan seorang idealis yang bodoh.
Dia menggulir melewati itu semua dengan cepat, matanya memindai melewati foto-foto dirinya yang tersenyum di situs-situs arkeologi. Dia mencari data murni.
Dia menemukannya. *Lampiran D: Kalkulasi Material dan Sudut.*
Layar itu dipenuhi dengan diagram garis yang dingin dan presisi. Angka. Rumus.
*Batu Andesit (Borobudur): Faktor Peredam Gema: 8.5 (Tinggi).*
*Marmer (Katedral): Faktor Amplifikasi Gema: 4.2 (Sedang).*
*Sudut Spasial 87° (Desain 'Geometer'): Titik Nol Resonansi - BAHAYA.*
Reza, melihat Rania terserap ke dalam layar, memberanikan diri untuk berbisik kepada Santi. "Dia... dia tidak selalu seperti ini. Sebelum... batu itu..."
"Batu apa?" bisik Santi.
"Yang ada di lehernya," kata Reza. "Itu... membisukan 'mereka'. Tapi itu juga... membisukan *dia*."
Santi menatap Rania, yang kini bergumam pelan pada dirinya sendiri, menelusuri rumus-rumus di layar.
"Dion memberikannya..." kata Reza. "Dia bilang itu akan melindunginya."
Santi mengangguk, otaknya yang jurnalistik mencatat setiap detail. Ini adalah kepingan *puzzle* yang krusial.
"Ra?" Reza memanggil pelan.
"Apa?" RANIA membentak, tidak menoleh.
"Kita... kita tidak bisa tinggal di sini, kan?" kata Reza. "Generator ini. Truk ini. Kita... 'berisik' secara manusiawi. Anda sendiri yang bilang. 'Kekacauan'. Cepat atau lambat, patroli militer akan mendengar generator ini."
Rania berhenti menggulir.
Dia mengangkat kepalanya, mendengarkan.
Untuk pertama kalinya, dia benar-benar mendengar suara *thrum-thrum-thrum* dari generator di luar. Itu adalah detak jantung yang nyaring, suar tembak di malam yang sunyi.
Logika Reza... benar.
Dia menatap Santi. "Mobil Anda. Di mana?"
"Saya... saya parkir tiga blok dari sini," kata Santi. "Di dekat jalan raya utama."
"Itu punya GPS? Pelacak?"
"Ya, tentu saja. Mobil baru."
"Itu adalah peti mati," kata RANIA datar. "Kita tidak bisa menggunakannya. Setiap unit Ordo atau militer dengan sensor yang berfungsi bisa melacak emisi elektronik dasarnya. Kita harus tetap *low-tech*."
Dia menunjuk ke truk pikap tua di luar. "Truk itu. Tua. Tanpa komputer. Tanpa GPS. Itu... 'sunyi' secara digital."
"Tapi generator ini tidak!" balas Reza.
Rania mematikan monitor. Dia berdiri. Kegelapan kembali, hanya menyisakan cahaya oranye yang sakit-sakitan dari luar.
"Anda berdua benar," katanya, dan kata-kata itu terdengar aneh, bahkan baginya. Sebuah kompromi.
"Rencana baru," lanjutnya. "Kita punya data skripsi. Kita punya satu aset reporter. Kita punya satu truk 'sunyi'. Tapi kita punya markas yang 'berisik' dan sumber daya yang terbatas."
Dia mulai mondar-mandir di trailer yang sempit.
"Kita butuh tempat yang baru," katanya. "Tempat yang *sunyi* secara Gema *dan* manusiawi. Jauh dari zona 'Koreksi'. Jauh dari perimeter militer. Jauh dari... segalanya."
"Di mana ada tempat seperti itu di kota ini?" tanya Santi.
Rania berhenti. Dia memikirkan petanya. Peta kurirnya. Dia memikirkan area-area yang dia benci untuk didatangi. Area-area di mana tidak ada sinyal, tidak ada jalan, tidak ada *orang*.
"Ada," katanya. "Pinggiran kota. Proyek-proyek properti gagal dari krisis moneter puluhan tahun lalu. 'Kota-kota Hantu'. Perumahan yang sudah dibangun tapi tidak pernah ditinggali. Infrastruktur yang membusuk. Tidak ada Gema tua. Tidak ada sinyal seluler. Tidak ada patroli militer."
Dia menatap kedua "aset"-nya.
"Kita akan pergi ke sana. Kita akan mendirikan pos operasi yang sebenarnya. Kita akan mempelajari skripsi ini. Kita akan mempelajari apa yang Bima lakukan. Dan kita akan menemukan cara untuk menghentikannya."
Reza tampak sedikit lega. Sebuah rencana. Sebuah tempat yang jauh.
Santi tampak ngeri. "Pergi... ke kota hantu? Bersembunyi? Saya seorang reporter! Saya harus—"
"Anda seorang *aset*," potong RANIA. "Dan Anda akan lebih berguna di sana. Anda bisa memantau frekuensi AM itu. Anda bisa mencoba... *hack*... ke jaringan militer dari jarak aman. Anda bisa menjadi telinga kami. Reza akan menjadi mata kami. Dan saya..."
Dia menyentuh *hard drive* itu. "Saya akan menjadi otaknya."
*THUK... FFFT...*
Lampu neon di atas kepala mereka berkedip-kedip.
Layar monitor CRT yang mati menyala sejenak dengan statis, lalu mati lagi.
Suara *thrum-thrum-thrum* dari generator di luar... tersendat.
*THrum... thrum... sputter...*
Lalu... keheningan total.
Generatornya mati.
Mereka bertiga membeku dalam kegelapan absolut.
Pintu kontainer—yang telah mereka buka dan tutup berkali-kali—tiba-tiba terasa sangat tipis.
Reza menahan napas. "Bahan... bahan bakarnya habis?" bisiknya penuh harap.
"Atau..." bisik Santi, matanya tertuju ke pintu. "Seseorang... mematikannya."