Tentang Dukun Santet Legendaris — yang berjaya dalam Mengusir Belanda, Tiga Abad Silam.
Tapi nasibnya berakhir tragis: dibakar hidup-hidup hingga arwahnya gentayangan
Sampai tahun 2025..
Jiwa LANANG JAGAD SEGARA:
tiba-tiba tersedot ke dalam tubuh ADAM SUKMA TANTRA, seorang INTERPOL Jenius, Muda dan Tampan.
Syarat tinggal di tubuh itu: cari dalang di balik pembunuhan Adam.
Maka dimulailah petualangannya menyelidiki kasus-kasus kriminal dengan cara aneh: Lewat Santet, Jimat Ghoib, dan Mantra Terlarang yang tak sesuai zaman. Tapi, justru cara kuno ini paling ampuh dan bikin partnernya cuma bisa terpana.
“Lho, kok jimatku lebih nendang daripada granat?!” — ujar Lanang, si Dukun Gaptek yang kini terjebak dalam lumpur misteri masa lalu.
Sanggupkah ia mewujudkan keinginan Jiwa asli sang pemilik tubuh?
Atau jangan-jangan justru terhantui rasa bersalah karena ternyata, penyebab Matinya Adam masih....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Dukun Gaptek, Menggila di kota besar Amerika.
***
"Adam! Hei... Bangun. Ayo cepat bangun!"
Suara Bryan terdengar dari sela-sela cahaya yang masuk ke pandangan Lanang.
ia meraba-raba sekeliling, dan mendapati sebuah benda yang nyatanya adalah kaca spion. Dia terheran-heran melihat benda berbentuk aneh itu.
Lalu...
DUARR!
Sebuah peluru menghantam pintu mobil di sebelahnya, logamnya berlubang tepat di dekat lengannya.
"Goblok! Masukkan tanganmu! Kau mau cari mati?!"
Suara Bryan di sampingnya menggelegar lagi. Tak hanya berteriak, Bryan langsung menarik tubuh Lanang masuk, menutup kaca mobil rapat-rapat lalu tancap gas.
Ckiiiiitttttt!!!
Ban berdecit. Mobil melaju liar di lahan tandus.
Lanang hanya sempat berpikir, "Lho… aku naik apa ini? Kuda besi?" dia bicara sendiriaan.
***
dan hujan peluru yang mengejar mereka akhirnya reda.
Terima kasih pada Bryan, dengan skill mengemudi paling gila.
Mobilnya sempat menikung di jalur sempit dua kali, membuat Lanang mabuk perjalanan kilat.
“Berhenti—aku mau muntah!”
ucap Lanang yang sudah membuka kaca jendela sebelum Bryan sempat protes.
Hoekk!!
Isinya keluar semua ke udara malam.
“Tutup kaca itu! Kau mau kepalamu ditembak sniper?!” Bryan menghardik sambil tetap memelintir setir dengan wajah cemas.
Tapi bukannya menutup, Lanang malah menatap kaca jendela itu penuh penasaran.
“Kaca? Jadi ini namanya kaca? Wah… naik-turun, naik-turun…” Ia menaik-turunkan kaca mobil dengan ekspresi seperti anak kecil menemukan mainan baru.
Bryan menatapnya tak percaya. “Kau ini lagi kesurupan atau apa sih? Dari tadi sikapmu aneh!”
Mobil tetap melaju kencang, meski hujan peluru tinggal kenangan, tapi Bryan masih memelototi Lanang yang sibuk bersiap membuka kaca jendela sebagai permainan baru.
“Dilarang buka kaca malah dibuka terus,” gumam Bryan mendesis geram. Juga ada raut khawatir yang tak bisa ia sembunyikan saat melihat luka tembak di tubuh Lanang alias Adam.
Lanang hanya nyengir, memandangi kaca jendela itu lagi. “Kalau di kampungku, kaca itu buat cermin, bukan buat main naik-turun begini…”
Bryan menutup wajah dengan satu tangan. “Tuhan, kenapa aku harus kerja sama orang gila ini…”
Kecepatan mobil tetap stabil menuju Quantico. Lampu-lampu kota mulai menyala di kejauhan, gedung-gedung tinggi menjulang mirip tombak raksasa di langit malam.
Lanang langsung menempelkan wajah ke jendela, matanya membelalak.
“Saloka… itu… itu apa?! Tiang suci para dewa?!”
“Sudah ku bilang aku bukan Saloka!” ucap Bryan jengkel, memelototinya lewat kaca dasbor.
"Oh,,, iya. aku lupa, siapa tadi namamu?" Tanya Lanang akhirnya berbalik, menatap laki-laki yang sedang mengendalikan kuda besi.
"Berhenti meluntur, Adam. Ini aku, Bryan." Bentak Bryan sambil melotot makin garang.
"Oh,,, baiklah, Bryan,,, bukan Saloka. Jadi benda apa itu, Bryan? Bukan tonggak langit Sang Hyang Widhi?" tunjuk Lanang pada deretan gedung yang berjajar tinggi.
"Bukan, itu gedung."
“Gedung? Bukan candi? Bukan istana raja?”
Lanang semakin antusias. Ia sudah menurunkan kaca lagi, setengah badannya keluar mobil. “Duh Gusti… tingginya kayak… kayak… seribu pohon kelapa ditumpuk jadi satu!”
“Masuk! Nanti kepalamu nyangkut di papan iklan!” Bryan menariknya masuk sekali lagi.
Belum sempat duduk tenang, Lanang menunjuk papan neon yang menyala. “Hoooh! Raksasa mana yang bisa bikin tulisan bercahaya seperti ini?! Apa pakai sihir?!”
“Bukan sihir! Itu listrik!” geram Bryan
Lanang menatapnya serius. “Listrik… ala itu ilmu hitam jenis baru?”
Bryan menepuk setir frustasi. “Ya Tuhan, sebenarnya berapa banyak mereka menyiksamu? Kau sampai melantur parah begini?”
Lanang mengabaikannya, matanya masih tak lepas dari pemandangan kota. “Bryan… di mana pasar? Aku mau beli sate ayam, tapi kalau bisa yang pedagangnya nggak bawa racun ya. Aku kapok makan sate ayam yang ada racunnya.” Lanang masih ingat, di masa lalu saat iya masih kecil, ia pernah diracuni seseorang melalui sate ayam.
Bryan hanya terdiam. Otaknya sakit. “Ya Tuhan. Aku… aku nggak dibayar lebih buat menghadapi kekonyolannya ini…” gumamnya pelan. Tapi matanya tak lepas, dari menatap noda merah yang melumuri baju Adam.
...
Tiga puluh menit kemudian, penampakan Rumah sakit militer Quantico sudah menyambut mereka dengan cahaya lampu dingin dan bau antiseptik yang menusuk hidung.
“Cepat! Bawa brangkar kesini!" Bryan berteriak pada dua petugas medis yang sudah berlari mendekat.
“Bryan, Aku nggak mau tidur di ranjang roda itu!” protes Lanang, melangkah mundur. “Kalau di kampungku, ranjang seperti itu di angkat orang ramai sambil nangis-nangis. Itu kereto Jowo, keranda untuk mengusung orang mati—,
“Kau memang hampir mati!” potong Bryan cepat, sambil mendorongnya paksa untuk berbaring di atas brankar, “Lihat tubuhmu, penuh lubang peluru! Darahmu— Oh Ya Tuhan...” Bryan merasa ngeri sendiri.
Lanang menunduk, menatap bekas-bekas sobekan di pakaiannya. Jelas sudah basah oleh warna merah gelap, tapi anehnya dia tidak merasa sakit, hanya hangat.
“Ah, ini? Paling cuma digigit nyamuk besar,” ujarnya santai. Padahal dia tahu, itu berkat perlindungan Adam.
Bryan mendengus penuh emosi. “Itu bukan nyamuk. Itu peluru 9 milimeter.” Dia berujar dengan suara miris.
Petugas medis mulai memeriksa. “Detak jantungnya… stabil?” salah satu petugas medis berbisik bingung, saat melihat kondisi pasien yang tidak meringis sama sekali, meski luka di tubuhnya ada di mana-mana.
Bryan menunduk, berbisik ke arah petugas yang tengah memeriksa Lanang, “Dia cuma nggak merasa sakit karena aku menyuntikkan morfin dosis perang. Kalau efeknya habis, dia akan menjerit seperti babi disembelih. Aku terpaksa menyuntiknya karena tak mau dia mati.”
Lanang hanya tersenyum tipis mendengar kata-kata itu. “Tenang saja… Bryan. Aku sudah mati tadi.”
Bryan mengerutkan kening, tapi mulutnya bersungut-sungut tak terima, “Apa maksudmu ‘sudah mati’?”
Lanang hendak menjawab, tapi matanya kosong sejenak—mengingat cahaya yang menyilaukan, tarikan paksa dari kehampaan, dan tubuh asing yang kini ia huni. Juga interaksinya barusan bersama sosok jiwa Adam secara langsung.
Yang Bryan tidak tahu… ADAM SUKMA TANTRA, pemilik tubuh ini yang asli memang sudah tak bernyawa ketika Lanang masih dari awal. Morfin jelas tidak bisa menolong orang mati.
Petugas medis lun mendorong ranjang roda ke lorong operasi. Bryan mengikuti di belakang, wajahnya masih penuh tanda tanya, dan wajah cemas.
Lanang menatap langit-langit putih di atas kepalanya sambil bergumam pelan, “Maaf, Bocah… aku cuma numpang bernafas sebentar di tubuhmu. Nanti kalau aku sudah puas main, kau boleh ambil kembali tubuh ini."
***
Satu jam kemudian operasi berjalan “lancar”
Bisa di sebut Lancar, kalau yang dimaksud adalah tim medis berhasil mengeluarkan peluru tanpa kehilangan kesabaran total.
Mereka sudah menyuntikkan anestesi, atau obat bius dosis gajah yang cukup untuk membuat tentara marinir jatuh pingsan selama tiga hari.
Tapi tidak untuk Lanang, dua tetap segar bugar tanpa efek teler sama sekali.
“Oh, jadi tubuhnya ini mau di apakan, Tabib? Potong? Jahit? Atau ini ritual penyembuhan di zamanmu?” tanya Lanang sambil menunjuk pisau bedah yang berkilat di tangan dokter.
“Diam!” bentak salah satu perawat sambil menahan kepala Lanang.
Tapi Lanang langsung beralih ke lampu sorot meja oprasi, di atas kepalanya. “Wah… bulan di surga ternyata ada empat, ya? Dan lebih dekat… bisa aku sentuh?” Tangannya sudah terulur, tapi perawat lain langsung menepisnya.
Dokter Elibrech, si kepala bedah yang sudah berusia 60-an itu, mencoba fokus, tapi keningnya berkerut dalam. “Bryan, kau yakin orang ini tidak… mabuk narkoba?”
Bryan, yang menunggu di luar ruang operasi, hanya menjawab lewat interkom, “Bukan narkoba. Tapi morfin. Dosis militer. Terpaksa ku gunakan untuk keadaan darurat.”
“Kalau ini ‘keadaan darurat’, aku ingin lihat seperti apa ‘keadaan santai’-mu,” gerutu Elibrech sambil menjahit luka terakhir.
Begitu operasi selesai dan Lanang keluar namun masih di atas ranjang roda, Bryan sudah bersiap untuk menyambut kabar baik. Tapi yang datang justru amarah Pak Tua Elibrech.
“Bryan! Apa yang kau lakukan pada partner-mu?! Anestesi tidak berpengaruh terhadapnya sama sekali!” bentak Elibrech, wajahnya memerah.
“Aku cuma—”
“—menyuntiknya dengan obat rahasia? Serum super soldier? Racun katak Amazon?!”
“Morfin. Satu dosis. Itu saja.”
Elibrech menatapnya lama, jelas tidak percaya. “Kau tahu? Kalau semua pasienku seperti ini, aku akan pensiun dini karena sakit kepala.”
Bryan hanya bisa mengangkat tangan pasrah, sementara Lanang di ranjang tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada dokter.
“Terima kasih, Tabib Elibrech! Jahitannya rapi sekali. Kau pasti keturunan empu pandai besi!”
Elibrech menatapnya jengkel, lalu menatap Bryan. “Ya Tuhan, dia benar-benar geger otak.”
"Cepat siapkan ruang CT-SCAN!" Dokter Elibrech berteriak kalap.
***
seru dan menyeramkan.
tapi suka
semakin seru ceritanya