Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - Empat.
Sudah beberapa hari berlalu sejak insiden kopi tumpah di kafe itu. Alina mengira pertemuannya dengan Davin hanya akan jadi anekdot lucu yang bisa ia tulis dalam cerita fiksi.
Tapi semesta punya cara sendiri untuk membelokkan hal-hal yang kelihatannya sepele.
Hari itu sabtu pagi, Alina dan Daffa pergi ke taman kota. Daffa ingin naik sepeda dan Alina ingin menghirup udara segar sambil mencatat ide cerita.
Udara Jogja pagi itu hangat, angin bertiup lembut membawa aroma tanah basah dari sisa gerimis semalam.
Alina duduk di bangku taman dengan secangkir kopi dari warung di dekat situ. Daffa sibuk mengayuh sepeda kecilnya, dengan helm biru yang kebesaran.
Daffa berhenti di dekat lapangan rumput, ada anak-anak lain sedang bermain bola. Salah satu dari mereka adalah bocah kecil yang mengenakan kaus bertuliskan 'RAKA' dengan huruf kapital besar di punggungnya.
Bugh!
Beberapa menit kemudian, suara teriakan kecil terdengar.
“Aduh!”
Daffa terjatuh.
Sepedanya miring, lututnya sedikit lecet. Alina reflek berdiri, tapi sebelum ia sempat sampai...
Seseorang sudah lebih dulu menolong.
Pria dengan kemeja abu muda dan celana chino netral yang sangat rapi untuk ukuran main ke taman. Pria itu berjongkok di sisi Daffa dan memeriksa lutut anak itu.
“Cuma lecet kecil,” ucap pria itu pelan. “Tenang aja, kamu nggak perlu ganti lutut kok...”
Daffa hanya berkedip dengan lelucon yang baginya tak lucu dari si pria dewasa. Anak kecil itu pikir, bagaimana caranya berganti lutut?
Alina akhirnya sampai di sana. “Daffa! Kamu nggak apa-apa, sayang?”
Ia lalu menoleh pada pria itu... dan tentu saja tertegun saat mengenali si pria.
“Davin... ternyata Jogja ini kecil banget ya.“ Gumam Alina.
Davin berdiri dengan wajah datarnya. “Atau mungkin... kita yang terus saling nyasar ke kehidupan masing-masing.”
Alina tidak menjawab, Ia lebih sibuk memeriksa lutut anaknya. “Sakit, nggak?“
“Udah nggak sakit, Daffa kan jagoan... Bunda.“ Anak itu nyengir.
Lalu tatapan Daffa beralih ke arah Davin yang sedang memperhatikan ibu dan anak itu.
“Om ini siapa, Bun?” tanya Daffa dengan polosnya.
“Kenalan Bunda.“
Lantas terdengar langkah kaki seseorang berlari ke arah mereka bertiga. “Om Davin!"
Davin menoleh ke arah keponakan nya, “Kamu yang nendang bola ke sepedanya?“
Raka mengangguk pelan.
“Minta maaf." Ucap Davin tegas.
“Mungkin dia nggak sengaja,“ Alina tidak ingin langsung menyalahkan, pasalnya memang itu adalah area umum untuk bermain.
“Iya, Tante. Raka memang nggak sengaja..." Ucap anak itu, mungkin lebih besar tiga tahun dari Daffa.
“Ayo sayang, salaman sama Bang Raka. Katanya dia nggak sengaja tendang bolanya ke sepeda Daffa..." Alina mengeluus kepala anaknya dengan lembut.
Kedua anak laki-laki itu saling bersalaman, lalu Raka kembali bermain bola bersama teman-teman sepantaran nya.
Sementara Daffa, tiba-tiba saja anak itu memegang tangan Davin.
“Om, kok Om mirip seseorang...”
Davin menoleh ke arah anak itu. “Mirip siapa?”
Daffa menatapnya serius. “Ayahku.”
Alina menegang, suasana di antara mereka seketika menjadi agak hening. Tapi Davin tetap berdiri tenang, hanya merasa sedikit canggung.
“Oh ya? Tapi Om belum pernah bertemu ayahmu.“ Kata Davin pelan.
Daffa tersenyum kecil. “Daffa juga belum pernah bertemu, tapi Daffa pernah lihat fotonya. Dan... Ayah Daffa mirip Om. Wajahnya... kayak Om, tapi lebih terlihat jahat.”
Alina buru-buru menyela. “Daffa, jangan sembarangan bicara sayang.”
“Tapi bener, Bun. Kalau Om Davin mau jadi ayahku... Daffa nggak keberatan kok.” Daffa mengangkat bahu kecilnya layaknya orang dewasa.
Alina menahan nafas, Davin menatap Daffa lama lalu beralih pada Alina. “Kamu sepertinya mendidik dia dengan sangat jujur, ya. Mengatakan Ayah kandungnya jahat..."
Alina membalas tatapan Davin. “Kupikir kejujuran lebih baik daripada dongeng palsu, tapi aku tak pernah mengatakan Ayah kandungnya jahat... aku hanya mengatakan jika selama ini kami hanya hidup berdua jadi jangan pernah menanyakan apalagi mencari Ayahnya."
Davin tersenyum tipis.
“Dan kejujuran itu... ternyata bisa membuat anak empat tahun bikin dua orang dewasa seperti kita menjadi canggung.”
Daffa kembali memeluk sepeda mininya tanpa merasakan kecanggungan sang Bunda dan Davin.
Tapi sebelum ia kembali mengayuh sepeda, ia menoleh pada Davin lagi. “Kalau sekali-kali Daffa main ke rumah Om, boleh?”
“Kita belum sampai tahap itu, Daffa.” Alina cepat-cepat bicara.
Davin justru menjawab lebih cepat, “Tentu boleh, kamu bisa bermain dengan keponakan Om yang tadi. Tapi... harus dapat izin dari Bunda dulu ya.”
Anak kecil itu mengangguk seolah sedang menyetujui kontrak penting. Lalu ia mengayuh sepeda dengan teriakan khas anak kecil. “Om Davin! Nanti beliin Daffa, Dino biru yang bisa gigit monster yaaa!”
Davin hanya terkekeh kecil seraya melambaikan tangan.
Alina menatap pria itu, dia ragu sejenak. “Davin, jangan terlalu dekat dengan anakku. Aku belum tahu kamu siapa...“
“Dan aku... belum tahu bagaimana caranya bisa dekat dengan anak sekeren dia. Tapi sepertinya, anakmu tahu caranya agar kami menjadi dekat.”
Akhirnya Alina tertawa kecil, tapi dengan cepat ia menundukkan kepalanya. Pikiran putra kecilnya itu memang terkadang tak bisa ditebak, namun syukurnya Daffa tak pernah merengek ingin bertemu Ayah kandungnya.
Dan... hari itu, bukan cinta yang tumbuh. Tapi sebuah kedekatan baru yang tidak dipaksakan, tidak di gombali dan tidak dikejar.
*****
Malam itu, Davin harus ke sebuah acara pertemuan para pebisnis Infrastruktur. Ia adalah seorang CEO dari holding company, yaitu Pemimpin dari perusahaan induk yang memiliki saham atau kendali atas perusahaan lain.
Penampilan elegannya saat ia datang ke acara sangat berbeda sekali dengan penampilan kaku dan sederhana saat bertemu Alina di taman kota dan juga di kafe yang kini menjadi kafe langganan mereka berdua
“Halo, Tuan Davin. Akhirnya saya bisa bertemu dengan Anda, sulit sekali bertemu seseorang dengan jadwal yang super sibuk.“ Ucap seseorang.
Davin menolehkan kepalanya ke sumber suara, ia tersenyum pada orang itu karena beberapa kali mereka melakukan kerjasama.
“Malam, Tuan Rama.“
Rama berdiri dengan sama tampan nya seperti lima tahun lalu, di sampingnya ada Erika yang menggandeng lengan pria itu dengan senyum mengembang.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.