NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

Pagi itu, aku datang lebih awal dari biasanya.

Bukan karena rajin, tapi karena… aku mau beli kopi pesanan Nagendra.

Latte. Manis. Sesuai catatan tangan khasnya yang semalam bikin aku susah tidur bukan karena kafein, tapi karena deg-degan.

Dengan bangga dan tangan gemetar, aku meletakkan kopi itu di atas mejanya. “Mission accomplished,” gumamku sambil senyum-senyum sendiri seperti habis menang undian arisan.

Tapi sebelum aku sempat kembali ke mejaku…

“Cathesa.”

Suaranya terdengar dari balik pintu ruangannya. Panggilanku.

Aku masuk, berdiri dengan tangan di depan dada seperti anak magang kena inspeksi.

Tapi…

bukan aku yang membuat ruangannya terasa beda pagi itu.

Melainkan…

Seorang wanita.

Berdiri anggun di dekat rak buku.

Tinggi. Ramping. Rambut hitam lurus, dengan blazer putih gading dan heels mengkilap. Wajahnya… seperti iklan parfum. Tidak ada pori-pori. Tidak ada cela.

Dan yang lebih bikin aku kaget:

Dia tersenyum ke arah Nagendra.

Senyuman yang… bukan sekadar formal. Tapi hangat. Akrab.

Dan yang bikin perutku seperti diaduk sendok es campur:

Dia memanggil Nagendra dengan…

“Nagi.”

NAGI.

SIAPA YANG BOLEH PANGGIL DIA NAGI?! AKU KARYAWAN SAJA TIDAK TAHU DIA PUNYA NAMA PANGGILAN!

“Aku titip ini dulu, ya,” ujar wanita itu sambil menyentuh lengan jas Nagendra dengan sangat… pelan. Tidak berlebihan. Tapi jelas tidak asing.

Nagendra tidak menepis. Hanya mengangguk. Datar. Tapi tidak sedingin biasanya.

“Kami akan ketemu lagi sore nanti, kan?”

“Iya,” jawabnya singkat.

Wanita itu menoleh padaku, dan—ya Tuhan—senyumnya sangat manis. “Kamu asisten barunya?”

Aku mencoba tidak kelihatan panik. “Iya… saya, Cathesa.”

“Oh, lucu banget namanya,” katanya.

Lucu banget… LUCUNYA KENAPA?! Lucu kayak anak TK atau lucu kayak badut pesta ulang tahun?

Sebelum aku sempat menjawab, dia sudah berjalan keluar.

Wanginya tertinggal. Mahal. Lembut. Dominan.

Begitu pintu tertutup kembali, aku masih berdiri kaku. Nagendra sudah kembali menatap layar laptopnya seolah-olah wanita tadi tidak membuat atmosfir kantor berubah 13 derajat.

Aku mencoba bersikap normal.

“Siapa dia, Pak?” tanyaku sambil duduk pelan di kursi seberang.

Nagendra tidak langsung menjawab.

Sampai akhirnya, tanpa menoleh:

“Dia orang lama.”

Orang… lama?

Maksudnya mantan? Rekan bisnis? Atau… calon istri?

Aku meneguk ludah. “Oh. Orang lama, ya… Lama kayak… tahun berapa tuh, Pak?”

Dia mengetik tanpa henti. “Jangan kepo.”

Aku mengangguk sambil nyengir palsu. “Siap. Saya bukan kepo. Saya cuma… observasi berwawasan tinggi.”

Lalu kulirik kopi di mejanya.

Dia belum menyentuh.

Dan untuk alasan yang tidak bisa kujelaskan…

hatiku agak… nyesek.

Sore harinya, aku duduk di pantry sambil ngaduk kopi sendiri.

Reynard, sahabatku, datang dan duduk di sebelah.

“Kenapa wajahmu kayak kucing abis diguyur hujan?”

Aku menatap cangkir kopi. “Kamu percaya nggak, Rey… bos aku kayak punya dua sisi. Ke aku, jutek banget. Tapi tadi pagi… ada cewek datang, panggil dia ‘Nagi’ kayak lagi di drama Korea episode 12.”

Reynard mendesah. “Dan kamu cemburu?”

Aku langsung menegak kopi seperti itu minuman keras.

“Enggak. Bukan cemburu. Aku cuma…”

“…merasa nggak punya posisi?”

Aku menunduk.

Reynard menepuk bahuku. “Sabar ya. Kadang cowok kayak dia… cuma kelihatan dingin karena banyak luka. Atau banyak rahasia.”

Aku mengangguk.

Tapi dalam hati aku tahu…

Apa pun alasannya, aku sudah terlanjur… peduli.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah wanita itu pergi dan kata “orang lama” dilontarkan begitu saja, aku kembali ke mejaku. Duduk. Menatap layar laptop. Tapi otakku tidak bisa diajak kompromi.

Orang lama itu siapa?

Mantan?

Teman lama?

Saudara jauh yang kebetulan super cantik dan aromanya seperti harga satu bulan gajiku?

Aku buka spreadsheet, mencoba fokus. Tapi angka-angka di layar berubah jadi kalimat menyakitkan seperti:

“Nagi sayang, aku kangen kamu.”

“Ingat waktu kita liburan di Paris, Nagi?”

Aku langsung tutup file itu dan ngelus jidat.

Kenapa sih… aku ngerasa terusik?

Padahal aku cuma asistennya. Cuma si pembawa salak dan kopi sachet yang kadang salah kirim file.

Tapi rasanya… kayak aku lagi duduk di bangku cadangan nonton orang lain main di lapangan yang harusnya… bukan buatku juga.

Sampai akhirnya, tepat pukul 18.03, saat aku lagi siap-siap pulang, HP-ku bunyi.

Pengirim: N.

Pesan masuk:

“Kamu terlihat tidak fokus hari ini.”

Aku membeku. Tanganku gemetar saat ngetik balasan.

“Saya fokus, Pak. Cuma… tadi kopi saya kebanyakan gula.”

Balasan datang cepat:

“Bukan kopi kamu yang manis. Tapi kamu yang kelihatan aneh.”

Aku refleks berdiri. Ngomong sendiri, “Dia kenapa sih bisa tahu? Aku padahal udah pakai ekspresi netral kelas A.”

Aku bales lagi:

“Bukan aneh, Pak. Itu ekspresi tertekan karena wanita parfumnya mahal masuk ruangan.”

Lama tidak dibalas. Aku kira dia tersinggung. Tapi kemudian…

“Dia hanya masa lalu. Jangan terlalu pikirkan yang tidak penting.”

Aku terdiam.

Masa lalu.

Berarti… benar. Ada sesuatu. Pernah. Tapi sekarang tidak lagi.

Aku nggak tahu kenapa, tapi… membaca pesan itu seperti satu beban kecil di dadaku hilang.

Dan yang membuat aku makin nggak paham adalah…

Kenapa dia menjelaskan itu ke aku?

Setengah jam kemudian, aku sudah di dalam mobil. Rey yang nyetir, seperti biasa.

“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Rey sambil melirik sebentar ke arahku.

Aku pura-pura cuek. “Nggak. Cuma… cuaca hari ini agak hangat ya.”

Rey mendengus. “Cuaca hangat tapi kamu pakai hoodie?”

Aku memandang keluar jendela.

Tersenyum. Kecil. Tapi nyata.

Entah apa yang sedang terjadi.

Tapi satu hal yang pasti…

Si CEO dingin mulai memberi sinyal.

Entah itu sinyal hubungan…

Atau sinyal buat aku mundur.

Tapi tetap saja, hatiku bergetar.

Dan sayangnya…

Aku mulai menyukainya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah percakapan absurd tapi jujur via pesan tadi, aku habiskan malam dengan memikirkan satu kalimat itu:

“Dia hanya masa lalu.”

Kenapa ya… aku bisa ngerasa senang cuma karena dapat informasi gratis tentang kehidupan pribadi atasan?

Apakah ini tanda-tanda aku butuh liburan?

Atau tanda-tanda jatuh cinta sepihak yang menyedihkan tapi bikin jantung kayak microwave—meledak tapi tetap berputar?

Pagi berikutnya…

Aku masuk kantor sambil menenteng kopi pesanan Nagendra (sekarang udah upgrade: latte medium, sedikit manis, tanpa drama). Aku tahu urutannya karena dia akhirnya mengirim pesan semalam:

“Kopi besok. Jangan terlalu manis. Saya cukup satu yang manis di kantor ini.”

Ya Tuhan.

Apakah itu flirting?

Atau itu cuma… sarcasm level dewa?

Aku belum berani menebak.

Tepat pukul 09.07, aku meletakkan kopi di mejanya.

Dia belum datang.

Lalu aku lihat, di atas mejaku sendiri…

ada satu benda.

Kotak kecil berwarna cokelat, diikat pita hitam.

Ada kartu di atasnya.

Tanganku gemetar pas baca:

“Kalau kamu mau pakai ini di event besok malam, silakan. Ukurannya sudah saya pastikan pas. — N”

Isinya?

Sebuah pin bros kecil berbentuk sayap perak. Elegan. Lembut. Mewah tapi sederhana.

Aku duduk pelan-pelan.

Kurasakan… dada mulai deg-degan tanpa peringatan.

Karena sekarang bukan cuma pesan.

Bukan cuma senyuman.

Tapi ada benda nyata.

Dia ingat aku akan ikut ke event klien. Dia tahu aku pasti pakai sesuatu yang formal. Dan dia kasih aku pin untuk itu.

Apakah dia sering begini ke semua staf?

Atau cuma… aku?

Aku tidak tahu.

Tapi untuk pertama kalinya sejak aku kerja di kantor ini…

Aku merasa diperhatikan.

Dan saat pintu ruangannya terbuka, Nagendra masuk dengan wajah biasa. Dingin. Tenang. Tidak seperti pria yang barusan kasih aksesoris ke karyawannya.

Dia menatapku sebentar. Mata kami bertemu.

Tidak ada senyum.

Tapi dia berkata:

“Jangan lupa pakai. Biar kamu kelihatan… sedikit profesional.”

Aku membuka mulut, ingin menjawab. Tapi tidak keluar apa-apa.

Lidahku kayak berubah jadi pita kaset kusut.

Tapi kemudian… dia tambahkan dua kata:

“Terima kasih.”

Itu saja. Dua kata itu.

Tapi dari seorang Nagendra Ramiel Alejandro? Itu seperti diberi emas batangan satu kilo.

Aku mengangguk. Pelan.

Dan untuk pertama kalinya…

Aku tidak merasa hanya sebagai asisten pembawa salak.

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!