Bayinya tak selamat, suaminya tega berkhianat, bahkan ia diusir dan dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertua.
Namun takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi Ibu Susu untuk bayi seorang mafia berhati dingin. Di sana, Sahira bertemu Zandereo Raymond, Bos Mafia beristri yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas sakit hatinya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 Masih Mencintai
Tangis manja Baby Zaena menyambut pagi.
“Ululu… Putri Bunda haus, ya?”
Sahira segera menggendongnya, membiarkan si putri kecil menyusu dengan lahap hingga terlelap kembali. Setelah mengikat rambutnya, Sahira bergegas mandi untuk memompa ASI bagi Baby Zee. Namun, baru saja ia keluar dari kamar mandi, tangis Baby Zaena kembali pecah. Bayi itu rupanya sudah terbangun dan merindukan sentuhan ibunya.
Ia kembali tenang saat Sahira mulai memompa ASI. Sambil menunggu, pikiran Sahira melayang. Ia masih dihantui kecemasan akibat serangan kemarin. Lalu, beralih pada tanda lahir unik di tubuh Baby Zee. Ia ingin bertanya pada Nyonya Mauren, tapi kemarin ia diminta untuk beristirahat.
Tiba-tiba, ponsel dari Zander berdering. Mauren memintanya segera membawakan ASI untuk Baby Zee. Dengan cepat, Sahira mengambil dua botol yang sudah terisi dan menggendong Baby Zaena.
Di ambang pintu kamar Baby Zee, Sahira terpaku melihat Balchia, wanita yang selalu menentangnya, sudah berdiri di sebelah Mauren.
“Pagi, Sahira,” sapa Balchia dengan senyum manis yang terasa asing. “Bagaimana tidurmu? Lukamu sudah diobati?”
“Saya baik-baik saja, Nyonya,” jawab Sahira, melirik Baby Zee yang baru selesai dimandikan.
Balchia mendekat, membuat Sahira refleks mundur. Ia bersiap untuk tamparan lain, tapi yang ia dapatkan justru sentuhan lembut di tangannya. “Sahira, gara-gara pembantu itu, kau jadi terluka demi melindungi Baby Zee. Saya… minta maaf.”
Sahira tertegun. Permintaan maaf Balchia terasa terlalu mendadak. Benarkah ia berubah? Keraguan merayap di benaknya.
Mauren tersenyum. “Mama senang kalian akur, Chia. Tapi lebih bagus kalau kalian berteman.”
Balchia mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. “Mama tenang saja, kami tidak akan bertengkar lagi.” Ia merangkul bahu Sahira, seolah mereka teman lama, tapi Sahira hanya menunduk, tak percaya pada sandiwara itu.
Sahira hendak memberikan botol ASI, tapi Balchia langsung merebutnya. “Ma, biar aku saja yang mengurus Baby Zee. Mama pergi mandi saja.”
“Memangnya kamu bisa mengurusnya?” tanya Mauren ragu.
“Bisa, Ma. Aku kan ibunya,” jawab Balchia tegas, melirik Sahira dengan pandangan tajam.
Namun, saat Mauren menyerahkan Baby Zee, bayi itu langsung menangis bahkan sebelum disentuh.
“Chia, nanti kau belajar saja dari Sahira cara menenangkan bayimu,” kata Mauren, mengembalikan Baby Zee ke Sahira. Balchia mengangguk dengan senyum kecut melihat ibu mertuanya pergi.
Begitu pintu tertutup, Balchia menampar pipi Sahira dengan keras. PLAK! Suara itu begitu nyaring, sampai Baby Zaena dan Baby Zee terkejut.
“Nyonya…”
PLAK!
Tamparan lain mendarat di pipi Sahira yang lain.
“Jangan tunjukkan wajah bodoh seperti itu di depanku!” desis Balchia, matanya memancarkan amarah.
“Apa salah saya, Nyonya?” tanya Sahira, suaranya bergetar menahan sakit. Ia berusaha agar kedua bayi itu tidak ikut menangis.
Balchia mencengkeram dagu Sahira. Matanya penuh dendam. “Salahmu itu karena kau bekerja di sini! Apa tidak ada keluarga kaya lain yang bisa kau rayu selain suamiku, hah?! Kau pikir wanita miskin dan gila sepertimu akan diterima di sini?!”
“Nyonya Chia, Anda salah paham. Saya bekerja untuk mencari uang, bukan menggoda suami Anda,” bantah Sahira, suaranya makin gemetar.
Tawa Balchia pecah, terdengar sombong dan sinis. “Uang? Kalau begitu pergilah! Bawa uang ini juga!” Ia melemparkan cek senilai 2 miliar ke lantai.
Sahira terpaku. Jumlah itu sangat besar, tapi bagaimana ia bisa mencairkannya tanpa rekening?
“Kenapa diam? Apa kurang? Mau berapa lagi? Katakan saja!” desak Balchia.
“Maaf, saya tidak bisa menerimanya.”
“Apa?!” rahang Balchia mengeras. “Kenapa kau menolaknya, jalang?!” Ia mengangkat tangannya, hendak memukul lagi, tapi suara klakson mobil Zander terdengar dari luar. Balchia segera berlari keluar kamar.
Sahira menghela napas lega. “Tidak apa-apa, sayang. Nenek lampirnya sudah pergi,” bisiknya pada Baby Zaena. Ia melirik Baby Zee yang menggeliat manja, ingin digendong. Sahira hanya memberikan botol susu, lalu pergi dari kamar itu, meninggalkan Baby Zee dengan air mata menetes. Apa Sahira marah karena Balchia menamparnya, sehingga ia mengabaikan Baby Zee?
Di luar, Balchia menyambut Zander yang terlihat berantakan. “Hans, apa yang terjadi pada suamiku?”
“Ceritanya panjang, Nona,” jawab Hansel, tak ingin mengungkapkan alasan sebenarnya.
“Ya sudah, biar aku saja yang membawanya ke kamar,” kata Balchia, memapah Zander. Bau alkohol dari tubuh Zander begitu menyengat.
Hansel berbalik, teringat tujuan lain. Ia mencari Sahira dan menemukannya di dapur.
“Mbak Sahira!” panggil Hansel. Ia terkejut melihat tangan Sahira terbalut perban. “Apa yang terjadi padamu?”
Sahira menceritakan kejadian itu sambil tersenyum tipis. “Kau tidak perlu cemas, Hans. Aku sudah baik-baik saja. Ada yang mau kau tanyakan?”
Hansel terdiam, ingin bertanya mengapa wajah Sahira memerah seolah habis dipukul. Sahira mendesaknya lagi. “Hans, masih ada yang mau kau tanyakan?”
“Ada yang harus saya sampaikan ke Mbak,” kata Hansel serius.
Hansel menceritakan masa lalu Zander. Sahira membeku, botol air di tangannya terjatuh. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal. Ayah dari bayi yang ia asuh ternyata cinta masa lalunya.
“Mbak Sahira, kau baik-baik saja?” tanya Hansel khawatir melihat Sahira yang limbung.
Sahira menepis tangan Hansel. Senyum getir terukir di bibirnya. Ia pergi tanpa mengatakan apapun, membuat Hansel bingung.
“Mbak, tunggu!” Sebelum melewati pintu, Hansel menahannya. Ia harus mengungkapkan segalanya.
Sahira berhenti dan berbalik. Hansel langsung mengungkapkan perasaan Zander yang selama ini terpendam. “Mbak, Tuan Zander sebenarnya masih mencintai Anda. Dia ingin Anda kembali pada…”
Sahira memotong perkataan Hansel. Ia tidak ingin mendengarnya. “Hans, terima kasih kau sudah mengatakannya, tapi maaf, saya tidak bisa mencintainya lagi,” ucap Sahira.
“Kenapa? Kenapa Mbak bicara begitu?” tanya Hansel, suaranya putus asa.
“Itu sudah berlalu. Saya sudah melupakannya dan saya tidak bisa mencintai suami orang. Saya kerja di sini untuk mencari biaya hidup putri saya, bukan untuk merusak rumah tangga orang lain. Permisi.”
Hansel membiarkan Sahira pergi. Ia merasa pusing. “Ahhh… sudahlah, yang penting aku sudah katakan semuanya. Cinta itu memusingkan, menyakitkan, dan menyusahkan.” Hansel membatin, membenarkan alasan mengapa ia belum menikah. Ia tidak mau hidup seperti Zander yang terbelenggu cinta masa lalu.
Brak!
Sahira menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia jatuh terduduk, menyandar di pintu sambil menutup wajahnya. Air mata yang sudah ia tahan akhirnya menetes. Kenangan persahabatan dan cinta yang hancur itu membuatnya bingung. Bagaimana ia harus menghadapi Zander?
“Baiklah,” bisik Sahira pada dirinya sendiri. “Anggap saja aku tidak mendengar apa pun dari Hansel. Anggap Zander itu hanya majikanku, bukan pria yang pernah singgah di kehidupanku.”
Sahira bangkit, memeluk putri kecilnya dengan penuh cinta. “Aku punya Baby Zaena, aku pasti bisa melewati ini sampai kontrak kerjaku berakhir.”
Di kamar lain, Zander mengigau. “Sahira…”
Balchia, yang berdiri di sebelahnya, mengepalkan tangan, wajahnya merah padam. “Semenjak wanita itu datang, Sahira terus yang dipanggil-panggil. Aku ini istrimu, bukan dia, Zan.”
___________
To be continue...
Like, komen, vote, subscribe.
nanti tuh cebong berenang ria di rahim istri mu kamu ga percaya zan
Duda di t inggal mati rupa ny... 😁😁😁
makaberhati2 lah Sahira
fasar hokang jaya