Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Menanti Kebenaran
Segalanya membeku.
Kata itu—"hamil"—jatuh seperti peluru diam, menghantam jantung Ayla tanpa ampun.
Tatapannya kosong. Wajahnya pucat. Dunia terasa bergeser beberapa inci dari porosnya.
“Apa?”
Suara Ayla tercekat, serak dan nyaris tak terdengar, seperti ada duri menggantung di tenggorokannya.
“Kau hamil, Ayla,” ulang sang dokter.
Ia menatap wanita paruh baya itu seolah baru mendengar hal paling mustahil di dunia.
“Tidak mungkin…” bibirnya bergetar. “Itu… tidak mungkin.”
Elise, yang berdiri di sampingnya, segera meraih bahunya, menggenggamnya erat.
“Kak, aku tahu ini mengejutkan, tapi—”
“Tidak, Elise…”
Ayla menggeleng perlahan. Matanya mulai berembun, napasnya terengah.
“Aku tak mungkin bisa hamil. Aku—aku mengidap penyakit… itu. Genetis. Dokter bilang…”
Kalimatnya runtuh di ujung, tertelan oleh guncangan yang merambat dari dada ke seluruh tubuhnya.
Dokter tampak terkejut, tapi tetap tenang.
“Saya belum menyimpulkan pasti. Tapi dari pemeriksaan awal, semua tanda mengarah ke sana. Kita akan pastikan lewat pemeriksaan lanjutan.”
Tapi Ayla tak lagi mendengar.
Semuanya seperti menjauh. Suara-suara memudar. Wajah-wajah mengambang.
Yang tersisa hanyalah detak jantungnya yang menghentak-hentak seperti genderang perang—tak beraturan, liar, tak terkendali.
Hamil?
Tangan kirinya terangkat, gemetar, menyentuh jari manisnya.
Cincin perak sederhana itu masih melingkar di sana, dingin dan berat.
Hadiah ulang tahun dari Bayu dua puluh dua tahun lalu.
Dan kini—benih dari pria yang sama... hidup di dalam dirinya.
Satu malam.
Malam yang tak pernah ia rencanakan. Malam yang seharusnya tidak terjadi.
Malam saat takdir mempertemukan mereka lagi, dan ia... tak sanggup berkata tidak.
Ayla memeluk perutnya sendiri tanpa sadar.
Air mata jatuh diam-diam, membasahi pipi. Ia tunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang rapuh dan bergetar.
Dalam diam itu, suara masa lalunya kembali menelusup.
“Kau harus berhenti mencariku, Bay. Sudahi semuanya,” ucapnya nyaris berbisik.
"Aku ingin kamu bahagia. Tapi bukan... denganku.”
Kalimat itu dulu ia ucapkan dengan napas nyaris habis. Tapi bukan karena ia tak mencintai Bayu. Justru karena ia terlalu mencintainya.
“Kau butuh seseorang yang utuh. Yang bisa jadi istri. Ibu dari anak-anakmu. Aku bukan itu. Aku punya kekurangan yang bahkan kamu nggak tahu. Aku...”
"Pergilah, Bay... Kumohon. Temukan seseorang yang bisa mencintaimu sepenuh hati. Lupakan aku."
Dulu, ia terus menolak Bayu. Ia yang memintanya pergi.
Padahal... yang paling ia inginkan adalah tinggal.
Ia ingin, sangat ingin, bersama Bayu. Sekali saja, menjadi egois. Tapi nyatanya... ia tak mampu.
Dan sekarang—benih itu tumbuh.
Benih dari pria itu.
Pria yang diam-diam masih ia cintai, meski telah ia kubur begitu dalam.
Bayu.
Cincin perak di jarinya terasa membara.
Satu-satunya kenangan yang tersisa dari cinta mereka.
Dan kini—mungkinkah… ada yang lain?
Ayla menggertakkan gigi. Kepalanya ringan. Pusing. Perutnya nyeri—bukan sekadar sakit fisik. Ini lebih dalam, mengguncang isi jiwanya.
“Kalau ini benar…” bisiknya. “Sekarang aku harus gimana?”
Elise berjongkok di hadapannya.
“Kau nggak perlu memutuskan apa pun sekarang, Kak,” ucapnya lembut.
“Tapi satu hal yang pasti…”
Ia menatap perut Ayla, masih datar tapi kini seolah menyimpan dunia.
“Yang ada di sana… bukan kesalahan.”
Ayla menutup matanya rapat.
Dan dalam kegelapan yang tenang, satu wajah muncul paling jelas.
Bayu.
Dan ia tahu...
Jika satu malam bisa menumbuhkan kehidupan,
maka mungkin—cinta itu tak pernah benar-benar mati.
Ayla menatap dokter dengan wajah basah. Suaranya pelan, tetapi cukup untuk membuat udara di ruangan itu berubah.
“Dok… saya pernah didiagnosis mengidap EDS. Dua puluh satu tahun lalu.”
Dokter yang semula tenang, langsung menegakkan tubuhnya. “EDS?” ulangnya, matanya membulat. “Ehlers-Danlos?”
Elise tampak bingung. “Itu penyakit apa, Kak?”
“Kelainan jaringan ikat,” jawab dokter cepat, meski matanya masih terfokus pada Ayla. “Tapi kamu yakin sudah didiagnosis?”
Ayla mengangguk pelan. “Dulu, dokter bilang pembuluh darahku rapuh… katanya kemungkinan EDS tipe vaskular atau hemofilia berat. Tapi aku tidak pernah menjalani pemeriksaan lanjutan. Saat itu… aku dipaksa menikah dengan pria yang tak kucintai.”
Napas Ayla tercekat. Matanya berkaca-kaca.
“Setelah mengetahui kondisiku, kupikir... dia akan mengurungkan niatnya. Tapi ternyata tidak. Dia tetap menikahiku—bukan karena cinta, tapi karena ego... dan dendam.”
Ayla menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Aku bahkan menderita vaginismus. Tapi semua itu tak menghentikannya.”
Suasana menjadi sangat sunyi. Elise menatap lekat Ayla, seolah baru mengenal sisi lain yang tak pernah diceritakan.
Dokter mengambil napas dalam. “Kalau begitu, kita harus lakukan pemeriksaan ulang. Banyak kondisi bisa menyerupai EDS, dan dalam dua dekade terakhir, alat diagnostik sudah jauh berkembang.”
Ia berhenti sejenak, lalu mencondongkan tubuh, menatap Ayla lembut. “Ayla, apakah kamu pernah mengalami gejala seperti mudah memar, kulit sangat elastis, atau sendi yang gampang bergeser?”
Ayla menggeleng perlahan. “Tidak, Dok. Aku bahkan jarang sakit.Tadi, luka di pelipisku pendarahannya juga gak lama.”
Dokter mengangguk pelan. “Kemungkinan besar itu hasil palsu atau salah tafsir. EDS vaskular sangat langka, dan harus dikonfirmasi lewat tes genetik. Banyak pasien hidup dalam ketakutan karena salah diagnosis.”
Ayla mematung.
Elise memandang sang dokter penuh harap. “Jadi… ada kemungkinan Kak Ayla tidak benar-benar mengidap penyakit itu?”
Dokter tersenyum tipis. “Dari keterangan Ayla tadi, kemungkinan itu sangat besar. Tapi kita harus pastikan lewat rangkaian tes. Untuk kehamilanmu sendiri, kita akan lakukan USG dan cek darah secara lengkap. Tapi kalau kamu benar-benar tidak memiliki EDS… maka kamu mungkin bisa menjalani kehamilan ini.”
Ayla menutup mulutnya, tak kuasa menahan suara isakan kecil yang lolos. Tangannya refleks menyentuh perutnya.
Bukan cuma kehidupan yang tumbuh di sana.
Tapi juga… harapan yang selama ini ia kubur.
---
Malam itu, Ayla tidak bisa tidur.
Rasanya seperti ditarik antara dua kenyataan yang saling bertolak belakang—dan sama-sama menakutkan.
"Apakah aku benar-benar hamil?
Dan… apakah benar aku tidak mengidap EDS?"
Jika jawabannya iya untuk keduanya—maka itu berarti satu hal:
Selama dua puluh tahun, ia telah hidup dalam ketakutan yang tak perlu. Ia membangun tembok di sekeliling hatinya, memenjarakan perasaannya, dan meninggalkan pria yang ia cintai… hanya karena sebuah diagnosis.
Diagnosis yang… mungkin saja palsu.
Ayla memeluk tubuhnya sendiri, duduk meringkuk di ujung ranjang, membiarkan malam menghisap semua detak cemasnya. Bayangan masa lalu menari-nari di kepalanya—wajah Bayu, mata kecewa itu, kata-kata terakhirnya, dan dirinya sendiri yang terus menghindar, terus menolak untuk mencintai karena merasa tak layak untuk Bayu.
“Kalau saja aku berani…”
Kalau saja dokter waktu itu tidak menyampaikan vonis itu dengan begitu pasti. Kalau saja ia berani mencari pendapat kedua. Tapi ia terlalu muda, terlalu takut, dan terlalu ingin menyelamatkan Bayu dari kemungkinan kehilangan dirinya.
Kini semua sudah terlambat.
Atau… belum?
Ayla mengusap perutnya. Ia belum tahu apa yang tumbuh di sana. Tapi jika benar ada kehidupan… dan jika tubuhnya sebenarnya sehat…
Maka semua pengorbanannya dulu adalah sebuah kesia-siaan. Ia melukai hatinya sendiri. Dan lebih buruk lagi—ia melukai Bayu.
Ia menunduk dalam. Ada tangis yang tak tumpah, hanya bergetar di balik kelopak.
"Aku harap esok datang lebih cepat. Aku ingin tahu. Harus tahu."
Ia harus tahu tentang tubuhnya. Tentang harapannya. Tentang hidup yang mungkin—baru akan benar-benar dimulai.
Dan esok... jika ia tahu bahwa selama ini ia tak pernah mengidap EDS—apa yang akan ia lakukan setelah dua puluh tahun lebih mengubur cintanya hidup-hidup?
Dan jika ia benar-benar hamil... akankah ia tetap diam, atau akhirnya memperjuangkan hidup yang dulu terpaksa ia relakan?
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa
Syailendra sekali ini saja, tunjukkan cinta & tanggung jawabmu pada kebahagiaan keturunanmu