Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 | Mulai Perhatian
Ruangan tim ekspor tampak tenang, hanya terdengar suara ketikan keyboard dan helaan napas yang teratur. Namun suasana itu segera berubah ketika pintu ruangan mereka diketuk pelan dan terbuka tanpa menunggu jawaban.
Dua wanita dari tim administrasi melangkah masuk. Wangi parfum manis mereka menyelinap lebih dulu ke dalam ruangan. Yang satu adalah Karin, dikenal sebagai 'duta bulu mata lentik' se-divisi. Yang satunya lagi, Pipin, suka memamerkan koleksi lipstik high-end dan selalu ganti merek setiap hari.
Keduanya tampak berdandan mencolok pagi ini, dengan soflens abu-abu terang dan blush on menyala, kayak lagi demam.
Mereka masuk sambil tertawa pelan, tapi tawa itu langsung berhenti ketika mata mereka menangkap sosok asing di ruangan, lebih tepatnya, Yuto, yang tengah membungkuk sedikit di depan meja, serius membaca laporan.
Pipin menahan napas. “Itu siapa?” bisiknya ke Karin.
“Manajer baru. Ponakannya Pak Yuki.”
“Udah, nanti aja. Kita ke sini cari Fara, bukan cuci mata.”
Mereka berdua mendekat ke meja Fara. Saat tahu ada tamu, Fara pun menoleh, tersenyum sopan. “Kenapa, Kak?”
Karin menunduk sedikit, sok manis. “Fa, bisa bantu input data vendor baru nggak? Kakak masih ngurus pengarsipan kontrak kemarin, takut nggak sempat ke-submit hari ini.”
Fara melirik jam tangannya, lalu kembali menatap layar. Ia sebenarnya sedang fokus menyusun storyboard. Tapi seperti biasa... dia terlalu sulit menolak. Terlalu baik. “Oke, boleh. Tapi sebentar aja ya kak.”
Karin tersenyum puas. “Makasih ya, Fa.”
Fara mengangguk, lalu bangkit dari kursinya. Ia merapikan sedikit tumpukan kertas di mejanya dan menoleh ke arah Yuto. “Pak, saya keluar sebentar, ya.”
Yuto, yang semula fokus pada dokumen, langsung menoleh. Tatapannya lurus ke arah Fara. “Mau ke mana?”
“Ke ruangan Kak Karin, Pak. Sebentar aja.”
Yuto masih menatap Fara. “Ruangan apa?” tanyanya, suaranya masih terdengar tenang, tapi tegas. Tak sekalipun matanya melirik ke arah Karin maupun Pipin yang berdiri tidak jauh dari sana.
“Administrasi, Pak,” jawab Fara.
Yuto tidak mengangguk, tidak juga memberikan senyum atau gestur persetujuan. Ia justru bertanya lagi, “Mau ngapain?”
Karin yang mendengar pertanyaan itu langsung menoleh ke arah Fara, tentu heran. Bahkan Imah, Sisi, Pak Andi, dan Bu Lia mulai saling melirik dari meja masing-masing.
Fara bingung harus menjawab seperti apa. Ia menghela napas pelan. “Mau bantuin Kak Karin input data vendor, Pak. Sebentar aja.”
Dan untuk ketiga kalinya, Yuto bertanya. Kali ini nadanya sedikit lebih lambat, seperti memilih kata. “Kenapa harus kamu yang bantu? Dan... kenapa harus dibantu?”
Fara tercekat. Ia menoleh ke arah Karin, meminta semacam dukungan, tapi Karin malah terlihat gugup. Seketika matanya yang tadinya berbinar-binar dikarenakan ketampanan manager baru itu, kini tergantikan oleh rasa canggung. Ternyata, Yuto tidak hanya rupawan, tapi karismatik dan tajam, membuatnya ciut.
Fara mencoba tetap tenang, karena tahu kini seluruh ruangan seperti ikut memperhatikannya. “Soalnya Kak Karin bilang lagi sibuk, Pak. Saya cuma bantu dikit aja.”
Yuto memandangi Fara beberapa detik lebih lama, lalu akhirnya menghela napas singkat. “Yasudah. Tapi pastikan kamu kembali maksimal sepuluh menit. Jangan sampai kerjaan sendiri terbengkalai.”
Fara mengangguk cepat. “Iya, Pak. Makasih. Ayo cepat, Kak.”
Fara buru-buru menarik Karin keluar dari sana, diikuti Pipin yang masih kaget dengan sikap Yuto barusan.
Yuto masih menatap pintu yang baru saja tertutup. Punggung Fara yang menghilang dari pandangannya membuat raut wajahnya seketika berubah menjadi serius. Sedikit tegang. Ia menghela napas pelan, lalu bersandar sejenak di kursinya. Tatapannya belum lepas dari arah pintu ketika ia bertanya, “Bu, Fara sering diminta bantu kayak gini?”
Bu Lia yang merasa ia yang dimaksud, segera menoleh dan menjawab, “Dulu Fara memang awalnya ditempatkan di tim administrasi, Pak. Anak itu memang jago kali kerjanya. Rajin, cekatan, nggak banyak protes. Mungkin karena itu sering dimintain tolong.”
“Setelah pindah ke sini masih diganggu juga?” tanya Yuto lagi. Kali ini nadanya terdengar lebih datar, tak ramah seperti sebelumnya.
“Sesekali sih, Pak…” jawab Bu Lia hati-hati, mulai menangkap nada protektif yang samar dalam suara manajer barunya itu.
Yuto tak menanggapi lagi. Ia hanya mengangguk kecil, kemudian kembali menunduk ke arah layar laptopnya. Jemarinya mulai mengetik pelan… tapi pikirannya belum benar-benar kembali ke laporan. Sesuatu tentang Fara masih menggelayut dalam benaknya.
---
Saat jam makan siang tiba, Sisi menoleh dari kursinya dan memanggil pelan, “Pak, kami mau pesan makan siang. Bapak mau sekalian?”
Yuto yang masih fokus membaca laporan hanya menjawab tanpa menoleh, “Boleh. Pesan apa aja yang kalian mau, saya yang bayar.”
“Serius, Pak?” Suara Sisi meninggi senang.
Yuto mengangguk pelan, tapi kemudian terhenti. Matanya seketika tertuju ke meja kerja Fara yang masih kosong. Alisnya berkerut. “Kenapa Fara belum balik?”
Sisi, Imah, Bu Lia, Pak Andi ikut melirik ke meja Fara. Tak ada yang menjawab.
Raut wajah Yuto langsung berubah. Tanpa banyak kata, ia berdiri dari kursinya.
“Di mana ruang administrasi?” tanyanya, kini menatap langsung ke arah Sisi.
Sisi terkejut, pertama kali melihat ekspresi kesal di wajah Yuto. “Dekat dapur kantor, Pak… belok kanan, jalan terus sampai ujung.”
Tanpa berkata apa pun lagi, Yuto sudah melangkah cepat keluar dari ruangan.
Beberapa detik hening, sampai akhirnya terdengar helaan napas Pak Andi.
Ia mengangguk pelan sambil tersenyum tipis. “Hm. Menarik juga sih, ini. Kita kayak lagi di dalam sinetron, ya. Kita figurannya.”
Bu Lia tertawa kecil. “Yaampun… Fara, Fara…”
Imah merapatkan bibirnya, berusaha menahan tawa, sedangkan Sisi masih melongo tak percaya.
“Ini sih udah bukan perhatian biasa,” gumam Bu Lia sambil menepuk meja ringan. “Saya suka, saya suka. Berasa jadi anak muda lagi.”
---
Yuto menyusuri lorong kantor. Tak ada senyum seperti pagi tadi. Garis di antara alisnya dalam, dan keningnya sedikit berkerut.
Pandangannya cepat menangkap tulisan bertuliskan ADMINISTRASI di atas salah satu pintu dekat dapur. Ia langsung menuju ke sana. Tanpa mengetuk, tangannya segera membuka pintu.
Ruangan itu seketika terbuka. Dan di sana, di sudut ruangan, Fara tampak baru saja berdiri dari kursi. Ia menoleh cepat, terkejut melihat siapa yang datang.
“P-Pak?” Fara tampak kikuk. “Ada apa?”
Yuto tak langsung menjawab. Matanya menyapu seisi ruangan. Hanya ada Fara di sana. Tak ada Karin. Tak ada Pipin. Tak ada siapa pun.
Yuto menghela napas dalam.
“Kenapa kamu cuma sendiri?” tanyanya akhirnya. Suaranya tetap lembut, tapi tegas. Jelas kelihatan nggak senang.
Fara melangkah pelan mendekat. “Kak Karin sama yang lain baru aja keluar, Pak. Katanya mau makan siang.”
Yuto menatapnya lebih lekat. “Dan mereka tinggalin kamu di sini sendiri?”
“Saya udah siap juga kok, Pak…” jawab Fara, berusaha tersenyum kecil.
Namun, tak seperti biasanya, Yuto tidak membalas senyumnya. Ia malah menarik napas panjang, tatapannya sejenak menelisik wajah Fara, seakan ingin memahami lebih dalam. Dalam benaknya, kalimat Yuri, kakaknya, terngiang kembali.
"*Anak itu kubilang paok, enggak juga. Polos, enggak juga. Kelewat baik lebih cocok. Tapi sama aja. Paok lah itu untukku*." \[Paok \= Bodoh\].
Waktu itu Yuto hanya menganggap ucapan kakaknya sebagai candaan, karena sejak dulu kakaknya memang suka membicarakan Fara, karena gemas. Bahkan julukan Bebek Gendut Yuto dapatkan dari kakaknya.
Tapi kini, berdiri di ruangan itu, melihat langsung Fara yang tampak tak terganggu meski baru saja dimanfaatkan… rasa kasihan justru menghantam lebih dalam.
“Ayo balik ke ruangan,” kata Yuto akhirnya. “Yang lain mau pesan makanan.” Yuto sudah membuka pintu kembali, tetapi tidak langsung menutupnya. Ia menahan pintu, menunggu Fara keluar lebih dulu.
Tentu Fara heran dengan sikapnya itu, tetapi Fara kembali berpikir, mungkin karena dia sahabat dekat adik sepupu Yuto.
“Ini terakhir kali abang izinkan kamu bantu mereka,” kata Yuto tiba-tiba, saat Fara hendak melangkah keluar.
Mendengar perkataannya, langkah Fara terhenti tepat di depannya yang masih menahan pintu.
“Tapi, Pak—“
“Enggak ada tapi-tapi, Fara.” Kali ini suara Yuto sedikit lebih tegas.
Fara membeku sesaat, menatapnya bingung, tapi tidak berani membantah.
“Yasudah, cepat jalan. Sana pilih mau pesan apa. Siang ini abang yang traktir.”
.
.
.
.
.
Continued...