Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.
Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
" Apakah Itu Cinta? "
Hari-hari Johan perlahan kembali ke alurnya semula. Segala hiruk-pikuk misteri dan bahaya dari pedalaman Bukit Barisan kini menjadi lembaran yang sudah terlipat rapi dalam buku hidupnya. Ia kembali ke kursi kerjanya, pada bangunan tinggi yang dindingnya dipeluk kaca dan udara dingin dari pendingin ruangan. Namun ada yang berbeda. Kali ini, hatinya terasa lebih lapang, seperti hutan yang baru saja diguyur hujan malam.
Masalah yang sempat membelit perusahaannya telah usai. Bukit Barisan tidak lagi menjadi ancaman, melainkan kenangan. Namun justru saat pikirannya mulai tenang, sebuah kejutan kecil menanti di atas meja kerjanya—sebuah amplop bersegel, mewah dan elegan, seakan datang dari dunia lain.
Dengan rasa penasaran, Johan membuka amplop itu. Isinya adalah undangan untuk menghadiri sebuah pameran mode internasional di Paris. Pengirimnya: Pierre Moreau, mitra bisnis barunya dari Prancis. Meski sebelumnya ia gagal menembus pasar internasional karena gagalnya kerja sama dengan Mulyono, kali ini semesta seperti memberi hadiah pengganti—dan itu jauh lebih indah dari yang ia harapkan.
Pierre adalah seorang desainer kenamaan yang Johan temui secara tidak sengaja saat menghadiri forum bisnis di Jakarta. Perkenalan singkat itu tumbuh menjadi percakapan serius, dan kemudian, menjadi sebuah kesepakatan. Pierre menyukai semangat dan visi Johan dalam membangun sesuatu dari nol—seperti batu-batu kecil yang sabar membentuk gunung.
Johan tersenyum. Hatinya menghangat. Ia tahu ini bukan sekadar undangan ke Paris. Ini adalah jalan baru. Babak selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Tanpa ragu, ia memantapkan hati untuk menerima undangan itu.
Saat itulah, layar ponselnya menyala. Sebuah pesan masuk dari Liana:
> “Jo, sibuk gak? Bisa jemput aku gak sore ini di sekolah? Papa gak bisa jemput, katanya mobil lagi di bengkel, baru selesai besok!”
Johan membaca pesan itu perlahan, lalu tersenyum tipis. Ia langsung teringat satu janji. Dulu, saat segala hal masih kacau dan hutan terasa seperti labirin tak berujung, ia pernah berjanji pada Liana—bahwa suatu hari mereka akan menjelajah langit bersama. Naik pesawat. Keluar dari pedalaman. Melihat dunia dari jendela kabin yang tinggi.
Apa ini saatnya? batinnya berbisik.
Apa aku ajak Liana ke Paris saja?
Tangannya bergerak cepat, membalas pesan:
> “Baik, Lia. Nanti aku jemput kamu sore ini.”
Sore harinya, Johan menyelesaikan urusan kantor dan langsung memacu mobilnya ke sekolah. Liana sudah berdiri di gerbang, menanti dengan senyum cerah yang tak pernah gagal membuat dunia sekitarnya terasa lebih hangat.
Dia melompat kecil saat masuk ke mobil.
“Jo, mulai minggu depan aku libur loh. Katanya semester depan aku udah mulai belajar pelajaran SMA!”
“Wah, padahal rasanya baru kemarin kamu masuk sekolah, sekarang udah naik tingkat aja,” balas Johan sambil tertawa kecil.
Lalu ia menoleh, menatap gadis itu dengan ragu-ragu namun penuh harap.
“Kebetulan nih… Kamu mau ikut aku ke Paris gak?”
Liana menoleh cepat. Matanya membesar.
“Paris? Itu di negara Prancis kan, Jo? Aku pernah belajar di sekolah. Itu kota yang terkenal banget katanya!”
“That’s right, Li. Nanti aku izin dulu ke Papa kamu, ya, kalau kamu setuju.”
Liana mengangguk cepat, matanya berbinar seperti malam penuh bintang.
“Mau banget, Jo! Naik pesawat, ya?” ujarnya sambil memeluk tas sekolahnya erat-erat.
Johan tersenyum. “Iya dong. Enam belas sampai tujuh belas jam di udara.”
“Wahhh… Bahkan naik pesawat pun tetap lama ya,” ucapnya, membayangkan duduk di kursi jendela, melihat awan di bawah kakinya.
Johan tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menatap Liana, lalu menatap ke depan. Dalam hatinya, ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar tentang Paris. Ini tentang harapan. Tentang janji yang ditepati. Tentang seorang gadis kecil dari rimba, yang akan segera tahu seperti apa rasanya melihat dunia yang luas—dan mungkin, jatuh cinta pada hidup yang lebih besar dari sebelumnya.
Perjalanan menuju rumah Liana berlangsung dalam balutan kehangatan yang sunyi. Di dalam mobil yang melaju pelan, diiringi suara lembut lagu dari radio, mereka berbicara tentang mimpi—tentang Paris, kota yang hanya pernah Liana lihat dari halaman buku dan potongan gambar di televisi. Sorot matanya cerah, seperti anak kecil yang diberi tiket masuk ke negeri dongeng.
Sesekali Liana tertawa, menyebut nama-nama tempat yang ia ingin kunjungi. Johan mendengarkan dengan sabar, sesekali menimpali, tapi lebih sering membiarkan suara Liana mengisi ruang, seolah ingin menghafal nada bahagianya malam itu.
Setibanya di rumah, Johan turun dari mobil. Ia berjalan perlahan ke arah pria yang berdiri di depan teras, sosok yang belum lama ini kembali hadir dalam hidup Liana—sang ayah. Percakapan mereka tenang, penuh kehati-hatian. Johan menjelaskan dengan lembut tentang rencana perjalanan ke Paris, tentang bagaimana Liana pantas melihat dunia, tentang betapa berharganya pengalaman itu baginya, juga tentang nya pada Liana .
Ada keraguan di mata sang Papa. Tapi ada juga rasa percaya, yang perlahan tumbuh dari caranya memandang Johan. Pada akhirnya, setelah jeda panjang, sang Papa mengangguk pelan. Bukan hanya tanda setuju, tapi juga semacam restu diam-diam yang keluar dari relung hati seorang Papa.
“Jaga dia baik-baik,” ucapnya lirih.
Johan membalas dengan anggukan dan senyum tulus. Di dalam mobil, Liana memandang mereka dari balik kaca jendela, tak menyangka restu yang ia nanti bisa datang secepat ini.
Perjalanan berlanjut ke rumah Johan. Malam turun pelan-pelan, membungkus jalanan kota dengan lampu-lampu yang berpendar lembut. Di sepanjang perjalanan, mereka mulai membicarakan detail keberangkatan—paspor, koper, dan hal-hal remeh yang justru membuat Liana semakin tak sabar menanti hari itu.
Sesampainya di rumah, seorang gadis remaja bertubuh kecil menyambut mereka dengan riang. Putri—Adik Bungsu Johan, yang juga sudah seperti adik sendiri atau bahkan sahabat bagi Liana.
“Kak, malam ini nginap sini, ya? Kangen banget,” katanya sambil memeluk Liana.
Liana tertawa. “Aku juga kangen, Put. Malam ini kita belajar bareng, ya. Sekarang aku udah setara SMA, lho!”
Putri memekik pelan. “Wah, cepat banget, Kak! Nanti aku ajarin semua pelajaran dari kelas satu sampai kelas tiga.”
“Hehe, siap! Jadi gak sabar,” sahut Liana, matanya bersinar seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Putri baru saja memulai kuliahnya tahun ini. Jurusan Manajemen Informatika. Tapi bagi Liana, Putri tetaplah sahabatnya, tempat ia bercerita dan belajar mengenal dunia di luar rimba masa lalunya.
Malam itu, setelah menenangkan diri, Johan menghubungi Pierre. Ia memberi kabar bahwa ia akan membawa seorang teman ke Paris—teman yang istimewa. Pierre menyambutnya dengan tawa ringan dan suara hangat yang menenangkan. Ia berjanji akan menyiapkan segala hal, agar perjalanan mereka di Paris nanti tak hanya menyenangkan, tapi juga berarti.
Malam telah tua. Angin dari sela-sela jendela hanya membawa sunyi. Di lantai atas rumah yang sepi, Johan duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu meja menyala redup, seperti bintang yang terlambat menyala di langit gelap. Di hadapannya, layar laptop terbuka, tapi pikirannya tidak ikut terbuka. Angka-angka, grafik, strategi—semuanya kabur seperti kabut pagi.
Ia menoleh pelan ke arah bingkai kecil di sudut meja. Foto lama. Potret dirinya bersama Keysha. Senyum perempuan itu masih sama: tenang, hangat, seperti mata air di tengah padang. Senyum yang dulu mampu menenangkan badai paling liar di dalam hatinya.
Namun kini, ada nama lain yang pelan-pelan mengetuk pintu hatinya.
Liana.
Gadis itu tak tahu dunia. Tapi dunia seakan mengenal dirinya. Lugu, namun punya semacam keberanian aneh yang hanya dimiliki mereka yang tumbuh bersama rimba. Dan entah sejak kapan, setiap senyum Liana mulai menciptakan gelombang kecil di dalam dada Johan. Seperti air yang diam tiba-tiba beriak.
Apakah itu cinta?
Johan menarik napas. Ia tidak tahu. Ia bahkan tidak yakin masih mampu mencintai. Karena dalam hidupnya, hanya ada satu nama yang pernah ia izinkan tinggal begitu lama di hatinya.
Keysha.
Dan malam itu, entah karena terlalu letih atau terlalu sepi, Johan tertidur di kursinya—dan masuk ke dalam mimpi yang begitu nyata, begitu halus, seperti masa lalu yang menuntut pamit secara utuh.
Ia berdiri di sebuah taman luas. Angin dingin meniup lembut kelopak bunga sakura yang jatuh pelan-pelan. Di bangku kayu menghadap danau, dua perempuan duduk berdampingan—Liana dan Keysha.
Liana tengah bercerita. Tangannya bergerak-gerak, matanya bersinar seperti bersua teman lama. Sementara Keysha hanya mendengarkan. Dengan tatapan yang dulu membuat Johan merasa utuh. Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Ada cemburu di sana.
Bukan cemburu yang mencakar. Tapi cemburu yang ikhlas. Cemburu yang hanya dimiliki mereka yang benar-benar pernah mencintai, dan kini hanya ingin melihat orang yang dicintai bahagia—meski dengan orang lain.
Lalu Keysha berdiri. Melangkah ke arah Johan. Mata mereka bertemu.
“Kamu mulai jatuh cinta lagi, ya?” tanyanya lirih, seperti bisikan angin sore.
Johan tak menjawab. Ia hanya menunduk.
Keysha tersenyum tipis. “Dia baik, Jo. Jaga dia. Bukan karena kamu harus menggantikan aku… Tapi karena kamu pantas untuk bahagia lagi.”
Johan ingin berkata sesuatu, tapi tak sempat. Keysha perlahan berjalan menjauh, menyusuri jalan taman. Kelopak bunga sakura gugur bersamanya. Sebelum sosoknya lenyap sepenuhnya, Keysha sempat menoleh sekali lagi dan berkata:
“Liana akan mencintaimu dengan cara yang belum pernah kau rasakan. Karena ia mengenal cinta… dari kamu.”
Johan terbangun dengan dada berdegup kencang dan peluh dingin di kening. Jam di sudut ruangan menunjukkan pukul 02.13 dini hari. Gelap. Tapi bayangan mimpinya masih mengambang, seolah belum benar-benar berakhir.
Ia meraih ponsel.
Satu pesan masuk.
> “Jo… Aku gak bisa tidur. Karena memikirkan Paris dan juga naik pesawat.”
Johan mengetik balasan sambil tersenyum.
> “Tarik napas dalam-dalam, sudah???”
Balasan cepat masuk:
> “Sudah Jo… Tapi tambah sesakk…”
Johan terkekeh pelan.
> “Buang napas sekarang. Kirain kamu buang sendiri-sendiri. Ternyata harus disuruh dulu🤣”
Balasan Liana muncul tak lama kemudian:
> “Ahhh… akhirnya lega,” tulisnya polos.
Lama Johan menatap layar itu. Tersenyum. Lalu ia letakkan ponsel di atas dadanya. Matanya terpejam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang. Bukan karena sudah melupakan Keysha, tapi karena akhirnya, ia mengerti…
Keysha telah memberinya restu.
Dan Liana… adalah awal yang baru.