seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sibayangan
Cahaya lampu gantung menyala redup. Cermin satu arah menampilkan bayangan Kapten Merlin, Dika, dan Reno yang berdiri diam memperhatikan dari balik kaca. Di sisi lain meja, Komandan Zen duduk dengan tangan terborgol, wajahnya penuh luka dan lelah… namun matanya tetap menyimpan kelicikan.
Dika (dingin):
“Ngomong, Zen. Siapa si Bayangan itu?”
Zen (menatap kosong lalu tersenyum sinis):
“Kalian pikir ini akhir? Hahaha… ini baru awal permainan sebenarnya. Kalian belum tahu siapa dalangnya. Kalian baru tangkap boneka… bukan tangan yang menggerakkannya.”
Merlin (dengan suara tegas):
“Katakan siapa dia, sebelum nyawamu dipakai sebagai pengantar surat untuk yang berikutnya.”
Zen (berbisik lirih):
“Namanya tak tercatat di database. Kami memanggilnya... Sibayangan. Dia lebih dari mafia. Dia bayangan yang menyusup ke mana-mana... termasuk ke dalam tubuh kepolisian kalian sendiri.”
---
Keesokan Harinya – Kantor Sektor Jakarta Timur
Surat resmi datang dari pusat: Kapten Merlin diangkat menjadi Komandan Sektor Jakarta Timur. Namun, perut Merlin yang sudah memasuki bulan ke-6 memaksanya mengajukan cuti persalinan.
Dalam rapat terbatas, Merlin memegang tangan Dika sejenak, lalu memanggil seseorang masuk.
Merlin:
“Karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan, saya menyerahkan tongkat komando sementara kepada yang saya percaya…”
Kapten Merlin duduk di kursi komandan sambil memegang surat cuti yang sudah ditandatangani. Di mejanya, berkas-berkas masih tertata rapi—tanda tanggung jawab yang belum selesai. Tangannya yang lain sesekali menyentuh perutnya yang mulai membesar, sambil menarik napas dalam-dalam.
Merlin (berbicara dalam hati):
“Waktunya menyerahkan tongkat estafet… untuk sementara.”
Ia menekan tombol interkom.
Merlin:
“Reno, tolong hubungi Tania. Suruh dia ke ruanganku sekarang.”
Beberapa jam kemudian, Tania masuk dengan sikap militer yang rapi, tetapi senyum hangatnya masih menyiratkan kedekatan mereka sebagai sahabat lama.
Merlin:
“Aku sudah kirim surat cuti ke pusat. Kandunganku sudah masuk bulan ke-6. Dan kamu tahu, ini bukan pekerjaan yang bisa disambi lagi.”
Tania:
“Jadi pusat sudah tahu?”
Merlin:
“Sudah, dan mereka menyetujui permintaanku. Dan yang lebih penting... mereka setuju kamu gantikan aku sementara.”
Tania terlihat terkejut, tapi juga bangga.
Tania:
“Kamu yakin? Jakarta Timur bukan sektor ringan. Apalagi setelah kasus Zen dan bocoran soal jaringan ‘Sibayangan’.”
Merlin (mengangguk mantap):
“Justru itu. Aku butuh orang yang bisa kupercaya. Dan kamu... selalu jadi pilihanku. Aku sudah siapkan semua laporan, briefing, dan kontak intel. Kamu tinggal melanjutkan.”
Tania menerima berkas dari Merlin dengan mantap, lalu berdiri dan memberi hormat.
Tania:
“Mulai hari ini, saya ambil alih komando, Kapten.”
Langit mulai memerah ketika sebuah mobil dinas berhenti di depan rumah sederhana namun hangat milik Kapten Merlin dan Dika. Dari dalam mobil, seorang wanita berpostur tegap turun. Rambutnya dikuncir kuda, wajahnya teduh namun tegas. Ia adalah Tania, Komandan Sektor Jakarta Barat.
Tania (tersenyum ramah):
“Aina, kamu makin glowing aja ya. Efek jadi calon ibu nih.”
Merlin (terkekeh pelan):
“Tumben kamu manis banget, Tan. Masuk dulu, sini duduk.”
Mereka duduk di ruang tamu. Laila berlari-lari kecil membawa dua gelas teh dingin. Tania mengusap kepala Laila dan tersenyum haru, teringat mendiang suaminya, Steven, seorang dokter yang selalu menyemangatinya dalam setiap misi.
Tania (lirih):
“Aku dulu sempat pikir berhenti jadi polisi, Na… Setelah Steven meninggal, rasanya semua runtuh. Tapi tanah air manggil. Dan kamu tahu kan... aku nggak pernah bisa duduk diam.”
Merlin (menatap sahabatnya dalam):
“Dan sekarang kamu dipercaya untuk jagain markas timur. Sementara aku istirahat dulu…”
Tania (serius):
“Aku janji, Aina. Aku akan jaga semua ini. Termasuk anak dan suamimu kalau perlu.”
Merlin (tertawa):
“Hati-hati kamu ditaksir Dika. Dia tukang masak sekarang loh, resto seafood.”
Tania (ikut tertawa):
“Wah, mungkin aku harus jadi pelanggan tetap.”
Dika baru saja memarkir motornya. Badannya masih berbau asap dapur, kemejanya digulung sampai siku. Ia membuka pintu dengan santai, tapi langkahnya langsung terhenti di ambang pintu ruang tamu.
Dika (heran):
"Lho, kok nggak kasih kabar ada tamu istimewa, Na?"
Aina (tersenyum sambil berdiri):
"Ini dia tamu istimewanya…"
Seorang wanita berambut pendek dengan gaya tegas berdiri dan mengulurkan tangan.
Tania:
"Tania. Komandan sektor Jakarta Barat. Tapi mulai besok, aku akan gantikan tugas Aina sementara."
Dika (menyalami sambil mengangguk):
"Oh, jadi ini yang namanya Tania? Aina sering cerita. Terima kasih sudah datang ke rumah kami."
Aina:
"Aku sudah ajukan cuti, dan pusat menyetujui. Tania akan handle sektor Jakarta Timur sampai aku selesai persalinan."
Dika mengangguk, lalu menatap Tania dengan nada bersahabat.
Dika:
"Kalau gitu... selamat bertugas, Komandan. Tapi jangan lupa mampir makan ke resto kami kalau sempat. Istri saya jago masak, tapi saya lebih jago goreng ikan."
Mereka semua tertawa ringan, mencairkan suasana serius di antara misi besar yang menanti.
Tiba-tiba, Laila datang menghampiri sambil membawa segelas jus untuk ayahnya. Ia menatap ayahnya dengan ekspresi polos tapi penuh makna.
Laila (dengan suara lantang):
"Ayah, jangan genit ya sama Bu Tania. Kasihan dedek bayi dalam perut Bunda."
Seketika semua terdiam sejenak, lalu meledak dalam tawa. Dika memeluk Laila sambil tertawa geli.
Dika:
"Aduh... Laila, Laila. Anak kecil ngerti apa sih?"
Aina (ikut tertawa, sambil menyikut lengan Dika pelan):
"Laila bukan anak kecil lagi. Kadang omongannya ada benarnya juga..."
Pipi Aina memerah, antara malu dan senang. Tania ikut tertawa lepas, lalu mengangkat gelas jus dari tangan Laila.
Tania (tersenyum):
"Haduh, Bu Komandan. Kalau marah pun tetap cantik, ya. Hati-hati Pak Dika bisa tambah jatuh cinta."
Suasana kembali hangat dan penuh keakraban. Tania tidak hanya menggantikan posisi penting di kepolisian, tapi perlahan mulai menjadi bagian dari keluarga kecil itu.
Malam hari – ruang tamu rumah Dika dan Aina
Lampu temaram menyinari ruangan. Laila berjalan pelan menghampiri ayahnya yang sedang duduk sambil memeriksa berkas. Di tangannya tergenggam sebuah kalung sederhana dari kerang-kerang kecil berwarna putih pucat.
Laila (dengan suara pelan tapi mantap):
"Ayah... ini buat ayah."
Ia menyematkan kalung kerang itu ke leher Dika.
"Ayah pakai ini ya kalau lagi tugas. Biar ingat terus sama kami."
Dika tersenyum, menyentuh kalung itu dengan penuh haru.
Laila (lanjut, suaranya mulai bergetar):
"Tapi... jangan sampai putus ya. Kalau putus, takutnya ayah nggak ketemu kami lagi..."
Dika menatap putrinya, lalu memeluknya erat. Matanya sedikit basah.
Dika:
"Ayah janji... kalung ini nggak akan putus. Ayah juga nggak akan pernah jauh dari kalian."
Di sudut ruangan, Aina berdiri sambil memegangi perutnya yang mulai membesar. Matanya menatap kalung itu—dan suaminya—dengan tatapan waspada. Hatinya bergejolak.
Narasi (dalam hati Aina):
"Firasatku belum hilang. Frenki belum tertangkap. Si Bayangan pun masih bersembunyi entah di mana... Aku takut. Takut tugas selanjutnya membawa Dika pada jalan yang sama seperti Gilang dulu..."
Tangannya menggenggam pinggiran sofa erat-erat. Ia tahu, waktunya akan tiba. Dan ia harus siap.
---