“Menikahlah denganku, lahirkan keturunanku, dan aku akan membantumu.”
Penawaran dari Sagara dengan imbalan yang cukup fantastis membuat Lisa seakan mendapatkan angin segar di tengah tuntutan hutang yang menggunung. Namun, gadis itu tak memiliki cukup keberanian untuk mengambil tawaran itu karena Lisa tahu bahwa Sagara telah memiliki istri dan Lisa tidak ingin melukai perasaan istri Sagara.
Hingga akhirnya Lisa kembali dihadapkan pada kabar yang mengguncang pertahanannya.
Ia harus memilih antara menjadi istri kedua dan melahirkan keturunan Sagara dengan imbalan yang besar, atau mempertahankan harga diri dan masa depannya, tetapi ia harus kehilangan orang yang ia sayangi.
Lalu, bagaimana dengan keputusan Lisa? Dan apa sebenarnya yang buat Sagara akhirnya berpaling dari istrinya?
Yuk, ikuti terus kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadya Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 4
Sagara menatap Bara dengan lekat, pria yang duduk di seberang mejanya bukan hanya asisten pribadinya, melainkan juga teman sekaligus sahabat tempat dirinya berkeluh kesah. Ya, sedekat itu hubungan keduanya, meski Sagara tetap menjaga batasan ketika mereka berada di kantor.
“Bagaimana perasaanmu ketika melihat dengan mata kepalamu sendiri bahwa pasanganmu tengah berbagi peluh dengan pria lain padahal dulunya kamu mati-matian mencoba mencintainya? Bagaimana jika wanita yang kini kamu cintai tidak mau mengandung benihmu?”
Hening, tidak ada tanggapan apapun dari Bara.
***
Angin malam berembus cukup kencang, menerpa wajah putih yang tak berias tampak pucat. Lisa duduk termenung di bangku taman rumah sakit dengan ke dua tangan bersedekap di dada. Hatinya gundah, pikirannya melalang buana mencari jalan keluar untuk semua masalahnya. Namun, yang terbesit di pikirannya justru wajah tegas Sagara. Pria yang pagi tadi mencoba memberikan tawaran yang menggiurkan padanya.
“Apa aku terima aja, ya tawaran itu? Mungkin hanya satu tahun, setelah hamil dan melahirkan anaknya, aku bisa pergi dari Sagara,” gumam Lisa.
“Tapi… apa aku sanggup kalau tiba-tiba dicap sebagai perebut lelaki orang?”
“eh, tapi aku, kan nggak ngerebut, mana bisa disebut pelakor. Tapi mana ada orang yang bakalan percaya, di dunia ini, kan yang mereka lihat, itulah yang akan mereka percayai, yakin banget aku!”
“Tapi harapan satu satunya cuma ada di Sagara, cuma dia yang bisa bantuin aku keluar dari masalah ini. Astaga, bagaimana ini… kalau aku menerima tawaran Sagara, lalu bagaimana dengan mas Zaki, aku juga nggak bisa tiba-tiba mutusin dia begitu saja, dia lelaki yang baik.”
Lisa terus bergumam, memikirkan satu masalah dengan masalah lainnya. Terbesit rasa ingin menerima Sagara tetapi ia masih ragu. Selain karena dirinya masih memiliki kekasih dan masih mempertahankan diri dan masa depannya, ia juga belum sanggup jika nanti tiba-tiba viral karena berhasil menikah dengan seorang pengusaha yang sudah memiliki istri seorang artis.
“Andai saja ayah nggak bermain curang sama ibu, pasti hidupku nggak akan seblangsak ini. Tuhan, bolehkah aku marah dengan ayahku.”
Mengembuskan napasnya lelah, Lisa menyudahi pikirannya yang tengah berlarian, daripada terus menerus memikirkan sesuatu yang masih ia ragukan, lebih baik ia menemani kedua adiknya yang masih setia menunggu sang ibu siuman.
“Marah aja kali, Lis, aku kalau jadi kamu, udah aku bongkar kuburannya dan kuserahkan jasa*dnya ke rentenir itu.”
Lisa segera menoleh dan mendapati Seli, sahabatnya tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dengan ke dua tangan masuk ke saku jaket yang dikenakannya. Lisa mendadak gugup, khawatir Seli mendengar semua ucapannya.
“Seli, sejak kapan kamu di sini?”
“hmm, sejak kapan, ya … kayaknya pas kamu bilang pelakor? Eh, nggak deh kayaknya, pas kamu bilang mau terima tawaran menikah dan punya anak kalau nggak salah,” jawab Seli sembari duduk di samping Lisa.
“Butuh teman cerita? Aku bisa, kok jadi pendengar yang baik,” tawarnya.
Lisa mengembuskan napasnya pelan, apanya yang mau ia ceritakan, Seli sendiri sudah mengetahui semuanya tanpa Lisa harus panjang lebar menceritakan kembali.
“Kamu dengerin semua yang aku omongin tadi, Sel?”
“Bisa dibilang seperti itu. Kenapa, Lis? Kamu nggak anggap aku sahabat, ya, sampai-sampai masalah seserius ini kamu pendam sendiri. Kalau Liam tadi nggak cerita masalah administrasi, mungkin aku juga nggak akan tahu kalau kamu lagi kesusahan masalah biaya,”
Sebelum Seli menghampiri Lisa, gadis itu lebih dulu menghampiri Liam dan Leo yang tengah berjaga di luar ruangan sang ibu sembari membawakan makan malam untuk mereka. Seli menanyakan keberadaan Lisa pada Liam dan pria itu mengatakan jika Lisa mungkin saja sedang mengurus biaya rumah sakit ibunya yang belum bisa dibayarkan.
“Bukan begitu, Sel. Mana bisa aku nggak nganggep kamu sahabat sementara cuma kamu yang begitu baik sama aku dan keluarga. Aku juga lagi pusing banget, biaya rumah sakit begitu besar sementara tabunganku nggak cukup. Kamu tahu sendiri,’kan, selama ini aku kerja keras siang dan malam bahkan tanpa libur untuk apa. Warisan hutang titipan ayah yang diberikan ke aku, Sel, jatuh temponya dua hari lagi. Aku bingung banget sekarang, harus kubawa kemana uang itu. Bayar hutang ke rentenir atau buat biaya rumah sakit ibu,” jelas Lisa.
“Aku ada uang tabungan pernikahan, kamu bisa pakai itu dulu, Lis,”
“Nggak, Sel … kamu udah banyak bantuin aku, dan aku nggak mau terus menerus terima bantuan dari kamu. Sebentar lagi kamu akan menikah jadi mana bisa aku–”
“Aku nggak apa-apa Lisa. Aku sudah bicarakan ini sama mas Ilham dan dia setuju. Lagipula rencana pernikahan kami masih beberapa bulan lagi,” potong Seli cepat.
Lisa tetap menolak karena dia juga tahu bahwa Seli mengumpulkan uang itu dengan susah payah. Bahkan sahabatnya itu rela tidak berbelanja keinginannya agar uangnya bisa segera terkumpul, jadi mana bisa Lisa mengganggu tabungan Seli meskipun yang bersangkutan justru dengan kerelaan hati meminjamkan padanya.
“Nggak usah, lah, Sel. Mungkin emang ini jawaban dari keraguanku tadi,” ucap Lisa membuat sebelah alis Seli terangkat.
“Kamu pikirin dulu, Lis, siapa tahu kamu berubah pikiran. Aku begini karena nggak pengen kamu tertekan dan berakhir depresi, atau beneran kamu mau jadi pelakor?” kelakar Seli.
“Sia*lan, kamu, Sel!”
***
Rutinitas yang terasa monoton, tetapi menjadi hiburan tersendiri untuk Sagara. Pria berusia tiga puluh dua tahun itu selalu berangkat pagi sekali dan pulang sangat larut dalam beberapa bulan ini. Seperti halnya hari ini, setelah menghadiri undangan dari kliennya, pria itu tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke apartemennya dan berdiam diri di sana.
Duduk termenung di balkon kamar dengan segelas wine di tangannya membuat pria itu sedikit tenang.
Ingatannya kembali pada kejadian tiga tahun yang lalu, di mana dirinya diminta menemani sang mama yang mengikuti acara amal yang digelar oleh komunitasnya. Di sana dirinya bertemu dengan Dewi, wanita yang saat ini berstatus sebagai istrinya.
Saat itu…
“Saga, kenalin ini Dewi. Dia salah satu relawan di panti asuhan ini. Meski dia disibukkan dengan jadwal syuting yang padat tapi dia masih menyempatkan waktunya untuk datang ke sini, lo,” ucap Rida, mama Sagara dengan antusias.
Dewi Bulan nama panggungnya. Gadis cantik yang dibawa mamanya tampak malu-malu mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
“Kenalkan, saya Dewi,”
"Sagara.”
Sagara menyambut uluran tangan Dewi dengan senang hati. Kesan pertama yang Sagara lihat dari Dewi adalah manis. Senyum malu-malunya membuat Sagara tertarik meski hanya sebatas pandangan itu.
“Kalian kenalan dulu, ya, mama mau ketemu sama ibu panti dulu. Saga, jagain Dewi, jangan sampai lecet,” peringat sang mama disambut anggukan kepala oleh Sagara.
Dari sanalah semua bermula, hubungan mereka yang awalnya sebatas rekan relawan pun semakin dekat karena sang mama yang sering kali menjodohkan keduanya. Hingga di bulan ke tiga mereka kenal, sang mama benar-benar melamar Dewi untuknya.
Saat itu Sagara terlalu percaya pada apapun pilihan sang mama, hingga ketika pernikahan mereka memasuki bulan ke dua, sedikit demi sedikit Sagara mulai menyadari gelagat mencurigakan pada istrinya terlebih lagi istrinya berniat menunda kehamilan.
***
hai hai haii...
jangan lupa, like, komen dan vote juga, ya🥰🥰
terima kasih atas dukungannya😉