Benci Jadi Cinta

Sejak kejadian di gala dinner itu, aku butuh waktu untuk benar-benar tenang.

Ternyata luka yang dibuka Adit bukan cuma soal cinta lama, tapi soal kepercayaan pada diriku sendiri karena aku nyaris terbawa suasana, nyaris memberi ruang untuk seseorang yang jelas-jelas tidak layak.

Dan sekarang aku tahu, yang selama ini jujur, sabar, dan setia menungguku pulang… cuma satu orang yaitu Raka.

Hari Senin datang dengan sisa-sisa rasa lelah. Aku datang ke kantor lebih pagi dari biasa. Butuh ruang sebelum suasana kerja mulai penuh tekanan lagi.

Tapi yang tak aku duga adalah Raka sudah ada di sana.

Dia duduk di ruang meeting kecil dekat pantry, matanya menatap ke arah jendela, memegang cangkir kopi yang tinggal setengah.

Aku ragu untuk mendekat. Tapi akhirnya aku melangkah masuk dan berdiri di hadapannya.

“Pagi,” sapaku pelan.

Dia menoleh, lalu tersenyum tipis. “Pagi.”

Senyumnya masih hangat, tapi aku tahu ada sesuatu yang belum selesai.

“Aku tahu soal gala dinner,” katanya tanpa basa-basi.

Aku menelan ludah. “Aku gak nyari masalah , Aku... kaget juga ternyata Adit...”

“Tunangan,” potong Raka. “Aku tahu. Dan aku tahu kamu gak tahu.”

Aku mengangguk. “Maaf Rak , Aku gak cerita soal dansa itu karena aku takut kelihatan lemah. Padahal aku harusnya bisa jujur ke kamu.”

Dia bangkit dari kursinya, lalu mendekat. “Aku bukan marah karena kamu dansa. Aku marah karena kamu gak percaya aku cukup kuat buat dengar hal itu dari kamu sendiri.”

Aku memejamkan mata. Rasa bersalah menyelinap diam-diam.

Tapi kemudian, dia menarikku ke pelukannya. Hangat dan terasa aman .

“Kita belajar bareng ya, Nay. Belajar buat lebih terbuka, lebih percaya. Karena aku sayang kamu,” bisiknya.

Aku mengangguk di dadanya. “Aku juga sayang kamu, Rak.”

Dan untuk sesaat, semua kembali tenang.

Tapi... ternyata semesta belum selesai memberi kejutan.

Siang harinya, saat aku kembali ke meja kerja, sebuah pesan baru masuk ke email pribadi. Tanpa pengirim. Subjeknya hanya satu kata: “Hati-hati.”

Isinya hanya satu foto.

Foto saat aku dan Raka berdiri berdua di parkiran kantor, terlihat dari kejauhan. Seperti diambil diam-diam dikirimkan dengan niat yang jelas mengancam.

Dadaku langsung sesak. Siapa yang kirim? Untuk apa? Dan kenapa sekarang?

Aku menunjukkan email itu ke Raka, dan dia langsung serius.

“Ini bukan sekadar gangguan, Nay. Ini bisa jadi ada yang gak suka sama kita. Entah karena proyek, atau karena hubungan kita.”

“Menurut kamu... Adit?” tanyaku pelan.

Raka menggeleng. “Enggak. Gaya dia gak sekompleks ini. Ini kayak... seseorang yang punya akses ke dalam.”

Aku terdiam , Otakku langsung menebak banyak nama, tapi semuanya terlalu samar.

“Kalau ini soal kerjaan, aku bisa tangani. Tapi kalau mereka ganggu kamu secara pribadi… aku gak akan diam.”

Aku menggenggam tangannya. “Aku gak mau kamu terlibat masalah karena aku.”

“Terlalu telat,” katanya sambil tersenyum miris. “Karena kamu, aku bahkan rela ngelawan orang tuaku sendiri.”

Dan saat itu juga, aku sadar… aku gak sendiri. Apa pun yang datang, kami akan hadapi bareng-bareng.

Malamnya, Raka mengajakku ke tempat yang selama ini jadi tempat healing nya sendiri villa kecil di puncak, milik pamannya. Udara di sana dingin tapi menenangkan.

“Di sini, aku biasa nulis jurnal. Ngelepas penat,” katanya sambil menyerahkan satu buku kosong padaku.

Aku membuka halaman pertama , Kosong. Tapi terasa penuh harapan.

“Mulai dari halaman baru,” bisiknya.

Dan di malam itu, untuk pertama kalinya setelah badai, aku tidur dalam tenang. Di tempat asing, tapi bersama orang yang terasa seperti rumah .