Seharusnya Marsha menikah dengan Joseph Sebastian Abraham, seorang duda dengan anak satu yang merupakan founder sekaligus CEO perusahaan kosmetik dan parfum ternama. Setidaknya, mereka saling mencintai.
Namun, takdir tak berpihak kepadanya. Ia harus menerima perjodohan dengan seorang Presdir yang merupakan rekan bisnis ayahnya.
Saat keluarga datang melamar, siapa sangka jika Giorgio Antonio Abraham adalah kakak kandung pria yang ia cintai.
Di waktu yang sama, hati Joseph hancur, karena ia terlanjur berjanji kepada putranya jika ia ingin menjadikan Marsha sebagai ibu sambungnya.
~Haaai, ini bukuku yang ke sekian, buku ini terinspirasi dengan CEO dan Presdir di dunia nyata. Meskipun begitu ini hanya cerita fiksi belaka. Baca sampai habis ya, Guys. Semoga suka dan selamat membaca.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Bioskop
Marsha masih teringat dengan suara bocah kecil yang sejak tadi memanggilnya "Mama".
Perempuan berparas cantik itu tetap mematung, meski sejak tadi buku jemarinya terus ditarik oleh Steven.
"Ma, ayo jalan-jalan," pintanya.
Tatapan matanya begitu teduh dan penuh harap. Membuat Marsha, ada rasa tak tega untuk menolak setiap keinginannya.
Joseph menatap Marsha, tatapan yang penuh tanya untuk ketersediaan gadis itu.
"Boleh, coba tanya Papa dulu, siapa tahu sibuk," ujar Marsha memberikan saran.
Siapa sangka Marsha yang kadang bersikap manja, bisa sangat sabar saat menghadapi seorang bocah nakal seperti Steven.
Kabarnya, bocah itu sulit akrab dengan siapapun. Bahkan Joseph kerap membawa pulang teman wanitanya tetapi tak satupun dari mereka yang mampu menarik perhatian Steven.
"Boleh, bagaimana kalau kita pergi ke Mall. Jalan-jalan, sambil makan. Mama sepertinya sudah lapar tuh," sahut Joseph sembari menunjuk ke arah Marsha yang memasang senyuman manis di depannya.
"Hore, yeay! Kita Jalan-jalan!" seru Steven bersorak riang.
"Teman-teman, aku punya Mama seperti kalian!" teriaknya lagi.
Terdengar menyesakkan di dada Marsha. Bahkan tanpa sadar ia sampai meraba dadanya sendiri.
Kemudian, Joseph melangkah mendahului. Segera membukakan pintu di barisan belakang, tapi segera ditolak oleh Steven.
"Aku gak mau di belakang, Pa. Mau didepan saja dipangku Mama," rengeknya manja.
Joseph tidak serta merta mengiyakan keinginan bocah itu. Tetapi ia kembali memberikan isyarat tatapan mata sebagai pertanyaan kepada Marsha. Mungkin ia merasa tak enak, entah.
"Gak apa-apa kok. Ayo, Sayang!" Marsha langsung menggendong Steven yang bergelayut manja.
Di kursi depan, di sebelah kemudi, Steven tertidur pulas dalam dekapan Marsha.
Sejak sekitar sepuluh menit lalu mobil meluncur ke jalanan ramai. Tak ada sepatah kata pun yang mencairkan suasana tegang di mobil itu.
Ada rasa pilu, seperti teriris perih di bagian dada Joseph. Saat melihat putranya bersikap manja kepada Marsha.
"Sya, aku mau minta maaf sama kamu, karena...."
Dia belum selesai mengucapkan kalimatnya. Tetapi Marsha sudah menjawabnya dengan gelengan kepala cepat.
"Tenang aja, aku baik-baik aja kok. Lagian dia gak menyusahkan, penurut, anak baik," ujar Marsha mencoba menenangkan Joseph.
"Namanya Steven. Umurnya baru lima tahun. Maaf ya, aku terpaksa berbohong. Aku gak tega setiap hari dia tanyain di mana mamanya mulu," ungkap Joseph dengan mata yang dipenuhi embun saat menoleh menatap Marsha.
Ada hal tak biasa dari yang Marsha rasakan. Sepanjang ia mengikuti Joseph di media sosial, nyaris setiap hari CEO muda itu selalu menunjukkan ekspresi bahagia di depan kamera.
Siapa sangka jika ternyata ia menyimpan setumpuk luka dalam.
"Aku gakpapa kok. Lagian aku seneng bisa bikin dia bahagia."
"Biasanya, kalau aku lagi deket sama siapapun ... bahkan anak buahku di kantor aja dia nakal. Sering tunjukin sikap gak suka, rewel segala macam. Tapi entah sama kamu dia bisa baik banget. Manja lagi," cetus Joseph memberikan pujian pada Marsha.
Gadis itu hanya tersenyum simpul, sembari mengelus puncak kepala Steven yang sedang terpejam. Sesekali Marsha mendaratkan kecupan lembut di sana.
Dan perlakuan Marsha, tidak sedikitpun luput dari perhatian Joseph.
"Sya, aku bawain parfum kesukaan kamu di jok belakang. Nanti jangan lupa ya, pas pulang diambil. Umm ... malam nanti kamu sibuk enggak?"
Keduanya saling menatap, meskipun tatapan itu hanya sebentar.
"Janji sih enggak, tapi aku mau nonton bioskop. Buku baruku yang kemarin, difilmkan dan sudah tayang. Aku mau nonton, apakah ceritanya lebih menarik dari tulisanku? Aku penasaran. Dan makasih parfumnya."
"Mau aku temani?" tanya Joseph menawar.
Marsha mengangguk setuju.
***
Tepat pukul 18.00 wib. Marsha telah berdandan cantik. Ia berjalan perlahan menuruni anak tangga.
"Mau ke mana?" tanya Danu, saudara tiri Marsha.
Tatapan matanya memang selalu menyebalkan, seolah menelanjangi Marsha dengan memperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Bukan urusanmu," sahut Marsha.
Gadis itu memang tak pernah suka sejak pria itu dan ibunya datang ke rumahnya karena merebut perhatian papanya, Pak Tama.
"Aku aduin ke Papa, mau? Kalau gak mau, bisa gak kamu bersikap baik," decak Danu kemudian.
Marsha tidak menjawab, ia hanya melemparkan tatapan tidak sukanya. Kemudian gadis itu berjalan menuju kamar ayahnya.
"Pa, aku pamit ya. Mau nonton Bioskop. Buku aku difilmkan, dan aku penasaran dengan reaksi penonton," rengek Marsha sambil memasang ekspresi memelas di wajahnya.
Pak Tama yang sedang bersantai sambil menunggu jam makan malam, akhirnya memberikan persetujuannya.
"Boleh, tapi besok papa mau kamu kencan sama Gio," sahutnya dengan santai.
Marsha mendengus kesal.
"Kamu 'kan sudah setuju dengan perjodohan ini, Marsha?" Pak Tama mengamati ekspresi putrinya.
"Iya, iya. Papa atur deh. Suru aja dia jemput besok, setengah tujuh malam," dengkusnya kesal.
Kemudian ia mencium punggung tangan ayahnya, puncak kepala, dan berpindah ke kedua pipinya.
"Banyak istirahat, jaga makannya juga. Jangan lupa diminum obatnya ya, Pa," ungkap Marsha.
Gadis itu memang sangat menyayangi ayahnya, meski pria paruh baya di hadapannya itu pernah membuatnya kecewa dengan menikah lagi.
"Oke, nikmati nontonnya. Dan jangan pulang malam," pungkas sang ayah.
Kemudian, Marsha berlalu meninggalkan sang ayah.
Di halaman rumahnya, tampak mobil Joseph sudah terparkir di sana.
Entah karena kagum, atau apa? Tetapi yang jelas, Marsha sangat nyaman setiap kali ia berdekatan dan jalan dengan Joseph.
Lagi, ketika Marsha sedang dibukakan pintu mobil oleh Joseph. Tampak Danu bersandar di pilar utama rumah besar yang seba putih itu.
Membuat Joseph tak nyaman dibuatnya.
Beberapa menit kemudian mobil hitam itu meluncur cepat di jalanan. Di sepanjang perjalanan, keduanya tak banyak bicara.
Joseph lebih fokus memperhatikan jalanan, sedangkan Marsha tampak sibuk dengan gawai di genggaman tangannya.
Setelah sekitar dua puluh menit di jalan, akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan.
Bioskop yang dituju terletak di salah satu Mall di kota besar. Memudahkan keduanya untuk menghabiskan sisa malam seusai nonton.
Di dalam bioskop, suasana yang sedari tadi ramai, kemudian berubah hening ketika film mulai diputar.
Film yang diangkat dari kisah sederhana karya Marsha Widya Tama, dengan judul "Perempuan Tanpa Kasta."
Kisah sedih itu dimulai. Dan beberapa penonton tampak larut dalam kesedihan.
Adegan yang mengharukan salah satunya adalah ketika Lintang membacakan puisi buatannya setelah calon suaminya pergi tepat di hari pernikahannya. Ia membaca sendirian di kamarnya.
Aku pernah tergila rasa, tergerus asa. Mencintai seseorang tanpa jeda. Bahkan mencintaimu rasanya terasa candu, yang membuatku berpikir tanpamu aku akan lumpuh. Lalu hari-hariku berubah kelabu. Aku mencintaimu tanpa ragu, meski ketika bertemu kita acapkali berseteru. Ternyata cinta memang segila itu, membuat para insannya menjadi gemuruh, riuh, dalam remuk.
Hari itu banyak tamu yang datang, bukan untuk menyaksikannya duduk di pelaminan, tetapi justru datang untuk menguatkan, atau justru menertawakan? Entah.
Tapi yang jelas, penonton ikut larut dalam kesedihan dalam film. Terlebih Ayah Lintang meninggal di hari yang sama, ketika ia ditinggalkan oleh pujaan hatinya. Kisah sedih yang menyesakkan.
Membuat Marsha menangis tersedu, lalu Joseph meraih dan memeluknya.
"Ini bukan kisah kamu 'kan Sya?" tanyanya, membuat Marsha mendongak menatap Joseph kala itu.
Bersambung....