NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

# BAB 6: Topeng Sempurna

Ada seni dalam berpura-pura.

Larasati mempelajarinya dengan cepat—bagaimana tersenyum meski dadanya kosong, bagaimana tertawa meski hatinya hancur, bagaimana menyentuh suami yang mengkhianatinya seolah dia masih mencintai sentuhan itu.

Tiga hari setelah malam investigasi yang menghancurkan, Larasati bangun dengan keputusan yang sudah mengeras seperti batu: dia tidak akan menjadi istri yang menangis dan menuntut penjelasan. Dia akan menjadi sesuatu yang lebih berbahaya—istri yang berpura-pura tidak tahu apa-apa sambil mempersiapkan kehancuran.

Pagi itu, dia bangun lebih pagi dari biasanya. Jam lima, saat rumah masih gelap dan Jakarta belum berisik. Dia turun ke dapur, menyalakan lampu, dan mulai memasak.

Beef Wellington—hidangan yang dulu membuat Gavin jatuh cinta padanya.

Tangannya bergerak mekanis, membumbui daging, membungkusnya dengan jamur duxelles dan pastry yang dia buat dari nol. Setiap gerakan presisi, sempurna—seperti dia sedang menyiapkan senjata, bukan makanan.

Jam tujuh, aroma daging panggang memenuhi rumah. Gavin turun dengan wajah terkejut—dia jarang dapat sarapan sehebat ini akhir-akhir ini.

"Lara? Kamu masak Wellington?" Matanya berbinar—kilatan kebahagiaan yang membuat perut Larasati bergejolak antara mual dan amarah.

"Aku ingat ini favoritmu," kata Larasati dengan senyum manis. "Dan aku... aku minta maaf kalau aku jadi istri yang tidak menyenangkan akhir-akhir ini. Aku tahu kamu capek dengan kerjaan. Aku seharusnya lebih pengertian."

Gavin terdiam, mencerna kata-katanya. Ada sesuatu di wajahnya—rasa bersalah yang cepat dia tutup dengan senyum lega. "Lara, kamu gak perlu minta maaf. Gue yang... gue yang seharusnya lebih sering di rumah."

Kata-kata kosong. Tapi Larasati tersenyum lebih lebar, berjalan menghampirinya, memeluk suaminya—suami yang semalam mungkin memeluk perempuan lain dengan cara yang sama.

"Aku cuma pengen kita baik-baik lagi," bisik Larasati di dada Gavin. "Seperti dulu."

Gavin membalas pelukannya—pelukan yang terasa asing, mekanis, tapi dia berpura-pura nyaman. "Gue juga, Lara. Gue juga."

Bohong. Semuanya bohong.

Tapi Larasati tersenyum, melepas pelukan, dan menyajikan sarapan seolah dia adalah istri paling bahagia di dunia.

---

Hari-hari berikutnya, Larasati menjadi istri sempurna versi upgrade.

Dia bangun pagi setiap hari, menyiapkan sarapan yang rumit—French toast dengan berry compote, shakshuka dengan telur perfect poach, pancake dengan tiga jenis topping. Dia merapikan jas Gavin, memilihkan dasi yang matching, menyemprotkan cologne-nya dengan senyum.

"Kamu tampan hari ini," katanya sambil merapikan kerah kemeja Gavin.

"Thanks, sayang." Gavin mencium keningnya—ciuman cepat, tanpa perasaan, tapi Larasati tidak reaktif. Dia hanya tersenyum.

Saat Gavin berangkat kerja, Larasati mengirim pesan: "Semangat hari ini, sayang! Aku masak rendang buat makan malam. Love you ❤️"

Gavin membalas dengan emoji love dan "Love you too."

Kata-kata yang dulu membuat hatinya berbunga-bunga, sekarang hanya membuat dadanya sesak.

Tapi Larasati tidak berhenti. Siang hari, dia kirim foto makanan yang dia masak dengan caption manis. Sore hari, dia kirim pesan menanyakan hari Gavin. Malam hari, saat Gavin pulang—kadang jam delapan, kadang jam sepuluh, kadang tengah malam—dia menyambut dengan senyum, tanpa pertanyaan, tanpa tuduhan.

"Capek ya? Aku udah siapin air hangat buat mandi. Makan malem di meja. Kalau kamu mau langsung istirahat juga gak apa-apa."

Gavin menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca—campuran antara lega, bingung, dan mungkin sedikit rasa bersalah yang cepat dia kubur. "Thanks, Lara. Lo... lo baik banget."

"Kamu kan suamiku," kata Larasati lembut, mengusap lengannya. "Aku cuma pengen kamu bahagia."

Dan Gavin tersenyum—senyum puas pria yang pikir dia berhasil menipu istrinya dengan sempurna.

---

Tapi di balik topeng sempurna itu, Larasati bekerja.

Setiap hari saat Gavin pergi dan Abimanyu di sekolah, dia menjadi detektif. Dia buka laptop Gavin yang masih dia ingat passwordnya, screenshot setiap email baru dari Kiran. Dia cek rekening kredit Gavin yang linked ke email bersama mereka—menemukan transaksi hotel, restoran mewah, bahkan pembelian perhiasan di toko yang Larasati tidak pernah kunjungi.

Perhiasan untuk Kiran.

Setiap bukti dia simpan di flash drive yang dia sembunyikan di kotak perhiasannya sendiri—tempat yang Gavin tidak akan pernah cek.

Dia juga mulai dokumentasi timeline. Di buku notes tersembunyi di lemari, dia catat:

- 15 Januari: Gavin pulang jam 11 malam, bau parfum asing

- 18 Januari: Transfer Rp 15 juta ke rekening atas nama Kiran Anindita

- 20 Januari: Booking hotel Ritz Carlton untuk satu malam

- 22 Januari: Gavin bilang meeting sampai malam, tapi gue lihat dia ke apartemen SCBD

Setiap tanggal, setiap kebohongan, setiap pengkhianatan—tercatat rapi.

Larasati bekerja dengan presisi seorang jaksa yang sedang membangun kasus. Dan dia punya waktu, karena Gavin terlalu sibuk dengan Kiran untuk memperhatikan apa yang istrinya lakukan.

---

Satu minggu kemudian, Aurellia datang ke rumah. Mereka duduk di teras belakang dengan secangkir chamomile tea—ritual lama mereka sejak SMA saat ada masalah yang harus dibahas.

"Lara," kata Aurellia pelan, menatapnya dengan tatapan khawatir. "Gue... gue bingung sama lo sekarang."

"Kenapa?" Larasati menyeruput tehnya dengan tenang.

"Kemarin gue lihat Instagram lo. Lo posting foto dinner sama Gavin, caption 'Best husband ever' dengan emoji love." Aurellia meletakkan cangkirnya dengan hati-hati. "Lara, seminggu lalu lo nangis di mobil gue setelah lihat suami lo selingkuh. Sekarang lo... lo malah jadi istri yang makin manis? Kenapa?"

Larasati tersenyum—senyum yang tidak sampai ke mata. "Karena aku tidak bodoh, Lia."

"Maksud lo?"

"Kalau aku konfrontasi Gavin sekarang, apa yang akan terjadi?" Larasati menatap tehnya, melihat pantulan wajahnya sendiri di permukaan cairan. "Dia akan bilang itu kesalahpahaman. Dia akan janji untuk berhenti. Mungkin dia bahkan akan berhenti sebentar—sampai dia pikir aku sudah lupa, lalu dia mulai lagi."

Aurellia diam, mendengarkan.

"Atau lebih buruk," lanjut Larasati, suaranya mulai keras, "dia akan minta cerai. Dan dengan apa aku melawan? Dia CEO perusahaan besar. Dia punya lawyer terbaik. Kalau aku gak punya bukti kuat, aku bisa kehilangan Abi dalam custody battle. Aku bisa kehilangan rumah. Aku bisa kehilangan segalanya."

"Tapi lo udah punya bukti—"

"Belum cukup." Larasati menatap sahabatnya dengan tatapan yang membuat Aurellia terdiam. "Aku butuh lebih dari sekadar foto dan email. Aku butuh bukti finansial. Aku butuh bukti kalau Gavin menggunakan uang keluarga untuk selingkuhannya. Aku butuh bukti kalau dia melalaikan kewajibannya sebagai suami dan ayah. Aku butuh kasus yang tidak bisa dia bantah, tidak bisa dia manipulasi dengan lawyer mahal."

Aurellia menatapnya dengan campuran kagum dan khawatir. "Lara... lo... lo berubah."

"Aku tidak berubah," kata Larasati tenang. "Aku hanya belajar. Belajar bahwa di dunia ini, perempuan yang menangis dan menuntut keadilan tidak akan dapat apa-apa. Yang menang adalah perempuan yang diam, merencanakan, dan menyerang di waktu yang tepat."

"Jadi lo sedang...?"

"Aku sedang menyiapkan serangan balik." Larasati meneguk tehnya sampai habis. "Dan saat aku serang, Gavin tidak akan tahu apa yang menghantamnya."

Aurellia diam cukup lama, mencerna perubahan sahabatnya. "Lo butuh bantuan apa?"

"Aku butuh nama lawyer yang bagus. Lawyer khusus perceraian yang bisa menang melawan firma besar."

"Gue kenal seseorang," kata Aurellia pelan. "Temen gue dari kuliah. Namanya Diana Kusuma. Dia partner di firma Kusuma & Associates. Spesialisasi family law, dan dia... dia kejam. Dalam artian yang baik."

Larasati tersenyum—kali ini senyum yang tajam, berbahaya. "Perfect. Arrange meeting buat aku ya? Tapi jangan di tempat yang obvious. Aku gak mau ada risiko Gavin tahu."

"Understood." Aurellia menggenggam tangannya. "Lara, gue cuma mau mastiin—lo yakin sama ini? Maksud gue, ini gak ada jalan balik setelah lo mulai proses legal."

"Aku yakin." Tidak ada keraguan di suara Larasati. "Pernikahan ini sudah berakhir sejak lama, Lia. Aku cuma perempuan bodoh yang terlalu cinta untuk sadar. Tapi sekarang aku sadar. Dan aku tidak akan jadi korban."

---

Malam itu, saat Larasati sedang membantu Abimanyu mengerjakan PR matematika, Gavin pulang jam delapan—cukup cepat untuk ukurannya akhir-akhir ini.

"Papa!" Abimanyu berlari memeluknya. Gavin tertawa, mengangkat anaknya.

"Hey, buddy! Papa kangen sama Abi."

"Beneran?" Mata Abimanyu berbinar dengan harapan yang membuat dada Larasati sakit. "Papa mau main sama Abi?"

"Besok ya, sayang. Papa capek hari ini." Gavin menurunkan Abimanyu. "Sekarang lanjutin PR dulu, oke?"

Kilatan kecewa di wajah Abimanyu membuat Larasati ingin berteriak. Tapi dia tersenyum, mengusap kepala anaknya. "Ayo, Abi. Papa istirahat dulu. Nanti kita selesaiin PR-nya bareng Mama."

Setelah Abimanyu kembali ke meja belajar, Larasati menghampiri Gavin yang sedang buka laptop di ruang keluarga.

"Makan malam?" tanya Larasati lembut.

"Udah makan di kantor. Thanks." Gavin tidak mengangkat pandangan dari layar.

"Aku bikin rendang. Yang kamu suka."

"Nanti aja, Lara. Gue ada email urgent."

Urgent. Atau chat dengan Kiran?

Tapi Larasati tidak bertanya. Dia hanya mengangguk, tersenyum, dan kembali ke Abimanyu.

Satu jam kemudian, setelah Abimanyu tidur, Larasati turun dan menemukan Gavin masih di laptop. Dia bawa piring rendang dengan nasi, taruh di sebelah Gavin.

"Sayang, kamu harus makan. Gak baik kerja dengan perut kosong."

Gavin akhirnya menatapnya, senyum kecil di bibirnya. "Thanks, Lara. Lo... lo beneran berubah akhir-akhir ini. In a good way."

"Aku cuma pengen jadi istri yang lebih baik." Larasati duduk di sebelahnya, kepalanya bersandar di bahu Gavin—posisi yang dulu nyaman, sekarang terasa seperti siksaan. "Aku sayang sama kamu, Gavin. Aku cuma pengen kita bahagia."

Gavin menegang sejenak, lalu dia peluk Larasati—pelukan yang terasa mekanis, obligatory. "Gue juga, Lara."

Mereka duduk seperti itu beberapa menit. Dari luar, mereka terlihat seperti pasangan bahagia. Tapi Larasati bisa merasakan jantung Gavin berdetak cepat—detak yang tidak nyaman, bersalah.

Good. Biarkan dia merasa bersalah. Biarkan dia pikir istrinya masih percaya padanya. Itu akan membuatnya lengah.

"Oh iya," kata Gavin tiba-tiba, melepas pelukan. "Gue ada berita."

"Apa?"

"Gue harus ke Surabaya. Untuk meeting dengan investor baru. Tiga hari. Berangkat besok pagi."

Jantung Larasati berhenti sejenak. Tapi wajahnya tetap tenang, tersenyum. "Oh? Tiga hari? Kapan pulang?"

"Jumat malam. Mungkin Sabtu pagi kalau meeting-nya molor." Gavin menatapnya hati-hati. "Lo... lo okay? Gue tahu ini mendadak."

Mendadak. Atau direncanakan dengan Kiran?

Larasati ingat salah satu email yang dia baca—Kiran mention tentang "getaway" di Surabaya. Ini bukan meeting bisnis. Ini liburan dengan selingkuhan.

Tapi Larasati tersenyum manis, mengusap pipi Gavin. "Tentu aja okay, sayang. Kerjaan kamu penting. Aku dan Abi akan di sini, nungguin kamu pulang."

Gavin terlihat lega—terlalu lega. "Thanks, Lara. Lo pengertian banget."

"Aku kan istri kamu." Larasati berdiri, mencium kening Gavin. "Aku akan siapkan koper kamu ya. Baju apa yang mau kamu bawa?"

"Gak usah, Lara. Gue bisa siapkan sendiri—"

"Gak apa-apa. Aku senang ngelakuin ini." Larasati sudah berjalan ke tangga. "Kamu lanjutin kerjaanmu. Aku urus semuanya."

Di kamar, saat Larasati menyiapkan koper Gavin, tangannya gemetar. Tapi bukan gemetar takut—gemetar marah, gemetar karena dia harus menahan diri untuk tidak merobek semua baju suaminya, tidak berteriak, tidak menghancurkan semuanya.

Tiga hari di Surabaya. Dengan Kiran. Sementara dia di sini dengan Abimanyu, berpura-pura jadi istri yang tidak tahu apa-apa.

Larasati duduk di lantai kamar, memeluk kemeja Gavin yang akan dia masukkan ke koper. Kemeja yang masih bau cologne suaminya—bau yang dulu dia cintai, sekarang hanya membuatnya mual.

Tapi dia tidak menangis. Tidak ada lagi air mata. Hanya kemarahan yang membeku, yang mengeras jadi tekad.

Dia ambil ponselnya, kirim pesan ke Aurellia: "Gavin ke Surabaya tiga hari. Dengan Kiran. Aku butuh bukti mereka di sana. Bisa bantu?"

Balasan datang cepat: "Gue punya temen photographer di Surabaya. Bisa hire dia buat investigasi. Mau?"

"Ya. Apapun yang bisa dapat bukti. Aku bayar berapapun."

"Okay. Gue atur. Lo oke, Lara?"

Larasati menatap pertanyaan itu. Apa dia oke? Tidak. Dia hancur. Tapi dia tidak punya luxury untuk tidak oke.

"Aku harus oke," ketik dia. "Untuk Abi. Untuk diriku sendiri. Aku harus kuat."

Dia kirim pesan, lalu melanjutkan menyiapkan koper suaminya—koper untuk perjalanan ke pelukan perempuan lain.

Dan sambil melipat setiap baju dengan presisi, Larasati tersenyum—senyum dingin yang tidak ada kehangatan di dalamnya.

Gavin pikir dia menipu istri bodoh yang percaya semua kebohongannya. Tapi yang tidak dia tahu, istri bodoh itu sudah mati. Yang tersisa adalah perempuan yang lebih berbahaya—perempuan yang tidak punya apa-apa lagi untuk hilang, dan segalanya untuk dibalaskan.

Dan serangan balik itu akan datang. Cepat atau lambat.

Gavin hanya belum tahu saja.

---

**Bersambung ke Bab 7**

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!