Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
100 Cambukan? Pembunuhan!
Xuan melangkah maju pelan. Tapi sebelum sempat berbicara, Ji’an melanjutkan.
“Itu guci asli dari Jingdezhen. Sepasang. Dipesan dua tahun lalu.”
“Pecah begitu saja... di tangan seorang dayang baru yang bahkan belum tahu arah ruang tengah.”
Ia menoleh ke Xuan. “Selir Agung. Kalau kami memberi hadiah dan hadiah itu dihancurkan... apakah itu bukan penghinaan?”
Xuan tahu ini jebakan kedua. Ji’an ingin dia memilih:
menyerahkan Zhen untuk dihukum dan menerima “kesalahan,”
atau melindungi Zhen dan tampak seperti menantang otoritas Ji’an.
“Tidak semua barang yang pecah... berarti dirusak,” jawab Xuan tenang.
“Ada yang memang tak berjodoh dengan tempatnya.”
Ji’an tersenyum tipis, tapi matanya tak tersenyum.
“Kami tidak bicara tentang guci lagi.”
Lalu ia melangkah mendekati Zhen.
“Kami bicara tentang... tanggung jawab.”
Tangannya yang berjari ramping terulur—bukan memukul,
tapi menarik dagu Zhen dengan ujung jari agar ia mendongak.
Zhen tak melawan. Tapi wajahnya sedikit pucat ketakutan.
"Berani mengangkat barang kehormatan tanpa hati-hati.
Kalau begini, masih layakkah kau disebut pelayan resmi Kediaman Agung?”
Liao-shi hendak maju, tapi Xuan mengangkat satu jari. Semua diam.
“Zhen adalah bawahanku. Jika harus ada yang bertanggung jawab... maka biarkan aku yang memutuskan.”
Ji’an menatap Xuan—panas, pelan, menantang.
“Oh? Membela dayang rendah... yang katanya sudah menarik perhatian putramu yang dingin itu?”
Seketika ruangan seperti kehilangan udara.
Semua tahu—ini bukan hanya cercaan pada Zhen. Ini tembakan langsung ke arah martabat Xuan sebagai ibu Pangeran Keempat.
Saat Ji’an melontarkan tuduhan-tuduhan dengan suara nyaring—dan Xuan tetap berdiri tegak membela Zhen, di pojok sana, Ling Xi mengepalkan tangan di balik lengan bajunya.
Ia berdiri setengah tersembunyi di balik tirai sulam merah muda. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Nyonyanya sendiri.
Kenapa...? Kenapa kali ini berbeda?
Selama bertahun-tahun ia melihat puluhan dayang datang dan pergi. Beberapa melakukan kesalahan kecil.
Beberapa hanya lambat sedikit. Bahkan pernah ada yang hanya salah memanggil urutan gelar Ji’an.
Semua... diserahkan oleh Selir Xuan tanpa banyak bicara. Tegas. Jelas. Tak terbantah.
Tapi sekarang...?
Dayang yang bahkan belum satu minggu di sini.
Yang bahkan bukan pelayan ruang utama.
Tapi tiba-tiba... dipilih mengangkat hadiah kehormatan.
Dan ketika gagal... dibela?
Ling Xi menatap luka Zhen yang masih sedikit berdarah.
Dia luka jadi masuk akal untuk menjatuhkannya. Tapi kenapa Xuan tidak melihat kalau ini... memang kesalahan?
Kenapa bukan kakakku saja yang dipilih mengangkat guci itu?
Apakah karena dia menarik perhatian Pangeran Keempat?
Ia mengepalkan tangan lebih keras.
Tidak mungkin. Nyonyaku bukan tipe yang akan membiarkan itu mempengaruhi keputusan.
Tapi... kenapa ekspresinya begitu...? Seolah... kecewa dan khawatir pada saat bersamaan.
Apakah... beliau... menyangka... gadis itu sengaja mengorbankan diri...?
Ling Xi menunduk pelan. Tapi pikirannya belum berhenti.
Atau... jangan-jangan... bukan salah paham?
Bagaimana kalau... Nyonyaku memang berniat mendekatkannya pada Pangeran Keempat?
Bagaimana kalau semua ini... memang dimulai dari restu halus yang belum diumumkan?
Napasnya sesak sejenak.
Bayangan itu datang terlalu cepat: Zhen... perlahan menjadi pelayan kepercayaan. Lalu naik lagi. Lalu—siapa tahu?
Menjadi selir Pangeran?
Dan suatu hari... berada di tempat yang bahkan Ling Xi sendiri tak bisa raih, meski sudah satu dekade di sini.
Kalau itu terjadi… dan dia ingat siapa yang menjatuhkannya hari ini...
Tangannya mengepal lebih erat. Sedikit gemetar.
Tapi ia buru-buru menarik napas dan menepis bayangan itu jauh-jauh.
Tidak. Tidak. Itu terlalu jauh.
Nyonyaku... tidak selemah itu. Dan gadis itu… hanya dayang tak bermarga.
Dia bukan siapa-siapa. Dan aku... tidak akan membiarkannya menjadi siapa-siapa.
Sementara Ji’an tidak bisa menerima kekalahan yang datang terlalu sunyi.
Phoenix-nya pecah,
adu domba yang hendak ia nyalakan tak jadi merekah,
dan yang berdiri di tengah serpihan itu adalah dayang yang—dalam diam—telah dua kali membuat rencananya berantakan.
Pertama saat parade panen, ketika gadis ini nyaris menggiring Cheng Yao, putranya itu ke jurang tuduhan sabotase.
Dan kini, dia memecahkan guci itu... tepat saat Xuan hampir tak bisa menolak untuk memajangnya.
Tidak. Tidak cukup dengan sindiran.
"Untuk guci Jingdezhen yang sepasang... kerusakan ini setara dengan...
…seratus batang rotan. Punggungnya.”
Pelayan Ji’an bersiap bergerak. Dua orang maju perlahan dari pintu, membawa tongkat rotan tipis yang biasa digunakan untuk pelanggaran berat.
Zhen masih diam. Tidak membela. Tapi wajahnya memang terlihat takut.
Seratus?
Seratus rotan dalam istana bukan hukuman biasa. Itu pernyataan. Bahwa seseorang harus dikubur—kalau tidak dalam tanah, maka dalam ingatan.
Liao-shi sebagai kepala pelayan hendak menengahi, tapi Xuan maju lebih dulu.
“Tidak bisa.”
Suara Xuan tak meninggi. Tapi cukup untuk menghentikan semua.
"Yu Zhen adalah bawahanku. Barang itu sudah menjadi milikku.
Dan... sebagaimana adatnya, barang yang diberikan...
tidak lagi boleh dipakai untuk menekan pemiliknya.”
Ji’an menatap tajam. “Tapi dayangmu memecahkannya.”
Xuan menoleh perlahan.
"Dan dayangku...
adalah saksi yang membuat kebenaran terungkap saat parade kemarin.
Berani berdiri di tengah hujatan. Diserang. Bahkan luka.
Dia... mungkin ceroboh hari ini.
Tapi satu cerobohannya... tidak akan menghapus keberaniannya kemarin. Apa lagi ketegangan kemarin adalah antara putramu dan putraku. Jangan sampai orang menganggapmu masih mengejar saksi ini, hingga Kaisar kembali curiga dan membuka penyidikan ulang atas kasus kemarin.”
Suasana mendadak hening. Bahkan angin seolah berhenti di luar. Xuan yang selama ini menurut bahkan berani mengancam secara terang-terangan.
Ji’an menyadari bahwa Xuan sudah memilih: ia akan mempertahankan Zhen.
Dan jika dipaksakan... akan terlihat seperti Ji’an membalas dendam secara terbuka, dan ini akan berbahaya baginya maupun bagi Cheng Yao putranya.
Ia menahan amarahnya, matanya menusuk.
"Menarik. Dayang seperti itu...
mungkin bisa mencapai tempat yang tinggi.”
Kalimat itu dilempar begitu saja. Tapi semua orang tahu:
itu kutukan berselimut senyum. Akhirnya ia mengaku kalah atas ancaman ini dan mundur dengan marah.
Namun tak seorang pun menyadari...
Dari balik pilar ukiran angsa perak di ujung lorong,
ada sekelebat bayangan diam-diam memperhatikan.
Mata mata Pangeran Keempat yang dikirim Lian He berdiri setengah membungkuk di belakangnya. Lalu berlari secepat tenaga menuju kediaman Jing Rui.
---
Kediaman Barat pagi itu tak lagi sunyi.
Rombongan telah bersiap. Dua kereta telah berdiri di pelataran, masing-masing memuat perbekalan, surat-surat administratif, dan pelayan pilihan. Kuda-kuda terbaik dari istal utara telah dipilih dan ditenangkan sejak subuh.
Jing Rui sudah mengenakan jubah perjalanan. Warna biru laut, dengan sulaman pola petir samar yang hanya muncul saat tertimpa cahaya.
“Segalanya telah siap,” lapor Lian He dengan suara mantap. “Tuan hanya perlu naik, dan rombongan akan bergerak.”
Jing Rui mengangguk, mengambil gulungan peta terakhir yang diselipkan ke dalam saku dalam. Tapi sebelum ia melangkah...
“Yang Mulia!”
Seseorang berlari dari balik gerbang.