Ariana selalu percaya bahwa hidup adalah tentang menjalani hari sebaik mungkin. Namun, apa yang terjadi jika waktu yang dimiliki tak lagi panjang? Dia bukan takut mati—dia hanya takut dilupakan, takut meninggalkan dunia tanpa jejak yang berarti.
Dewa tidak pernah berpikir akan jatuh cinta di tempat seperti ini, rumah sakit. Baginya, cinta harusnya penuh petualangan dan kebebasan. Namun, Ariana mengubah segalanya. Dalam tatapan matanya, Dewa melihat dunia yang lebih indah, lebih tulus, meski dipenuhi keterbatasan.
Dan di sinilah kisah mereka dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azra amalina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Yang Penuh Haru
Ruangan rumah sakit masih dipenuhi suara mesin pemantau detak jantung yang berbunyi stabil. Aroma antiseptik yang khas mengisi udara, bercampur dengan udara dingin dari pendingin ruangan. Di atas ranjang, Ariana terbaring dengan selang oksigen yang masih terpasang di hidungnya.
Di sampingnya, Dewa tetap setia duduk, jemarinya tak pernah lepas menggenggam tangan Ariana yang kini terasa lebih hangat. Rasa syukur masih memenuhi dadanya sejak tadi pagi ketika Ariana akhirnya membuka matanya setelah berminggu-minggu terbaring dalam koma. Baginya, ini adalah keajaiban yang tak pernah ia duga, sesuatu yang selama ini hanya bisa ia doakan dalam diam.
Tiba-tiba, suara langkah cepat terdengar dari luar. Pintu kamar rumah sakit terbuka dengan sedikit kasar, dan seorang wanita paruh baya masuk dengan napas tersengal, wajahnya penuh kecemasan. Matanya langsung tertuju pada Ariana, yang kini sudah sadar dan menatapnya lemah.
"Ariana!" seru wanita itu, nyaris terisak.
Dewa menoleh dan melihat ibu Ariana berdiri di ambang pintu dengan air mata menggenang. Di belakangnya, ayah Ariana menyusul, ekspresi tegasnya yang biasanya tenang kini luluh menjadi kelegaan dan kesedihan sekaligus.
"Ibu…?" suara Ariana lemah, tetapi cukup untuk membuat sang ibu bergegas menghampirinya.
Ibu Ariana langsung menggenggam tangan putrinya dengan erat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Syukurlah… syukurlah kamu sadar, Nak…" isaknya, suaranya bergetar karena emosi yang tak tertahan.
Ayahnya, yang biasanya tak banyak menunjukkan ekspresi, berdiri di sisi lain ranjang. Ia menatap putrinya dengan mata yang kini berkaca-kaca, sesuatu yang jarang terlihat dari pria setegar dirinya. "Kamu membuat kami khawatir, Ariana," katanya dengan suara serak.
Ariana mencoba tersenyum meskipun tubuhnya masih lemah. "Maaf… sudah membuat kalian cemas," bisiknya, matanya menatap kedua orang tuanya dengan penuh rasa bersalah.
Ibu Ariana mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. "Tidak perlu minta maaf, Nak. Yang penting kamu sadar. Yang penting kamu masih di sini."
Dewa, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, perlahan berdiri dari kursinya, berniat memberi ruang bagi keluarga Ariana untuk berbagi momen mereka. Ia tahu betapa pentingnya detik-detik ini bagi mereka.
Namun, sebelum ia sempat melangkah keluar, tangan Ariana mencengkeram jemarinya dengan lemah.
"Dewa," panggilnya pelan, matanya menatap penuh harap. "Tetap di sini."
Dewa terdiam sejenak sebelum kembali duduk di sampingnya, masih menggenggam tangannya. Ibu dan ayah Ariana menatapnya, dan untuk pertama kalinya, mereka tersenyum padanya dengan penuh rasa terima kasih.
"Kamu yang menjaga Ariana selama ini, ya?" tanya ayah Ariana dengan suara lebih lembut dari biasanya.
Dewa hanya mengangguk, menatap Ariana dengan tatapan penuh kasih. "Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan, Om."
Ibu Ariana tersenyum, air matanya masih mengalir. "Terima kasih, Dewa. Kami berutang banyak padamu."
Dewa menggeleng pelan. "Aku nggak butuh terima kasih, Tante. Aku cuma ingin Ariana baik-baik saja."
Ariana menatapnya lama sebelum berbisik, "Terima kasih… untuk tetap di sini."
Dewa tersenyum, menggenggam tangannya lebih erat. "Aku selalu di sini, Ana."
Hari itu, di dalam kamar rumah sakit yang sebelumnya penuh kecemasan, kini hanya ada haru, kebahagiaan, dan cinta yang begitu nyata. Ariana telah kembali, dan ia tak lagi sendirian.
...****************...
Kedatangan Sang Kakak
Pintu kamar rumah sakit terbuka dengan cepat, dan seorang pria berpostur tinggi masuk dengan napas sedikit memburu. Wajahnya penuh kecemasan, kemeja yang ia kenakan tampak kusut, seolah ia telah melakukan perjalanan panjang tanpa henti.
"Ariana!" suaranya terdengar serak, penuh emosi.
Ariana yang masih terbaring lemah di ranjang menoleh ke arah suara itu. Begitu melihat sosok kakaknya, matanya langsung berkaca-kaca. "Abang…" suaranya lemah, tetapi penuh rasa haru.
Pria itu, Ardan—abang Ariana—langsung menghampiri dan meraih tangan adiknya. "Ya Tuhan, aku baru dengar kabarnya. Kenapa nggak ada yang bilang dari awal?" suaranya penuh penyesalan.
Ibu mereka yang berdiri di sisi ranjang mencoba menenangkan, "Kami nggak mau mengganggu pekerjaanmu, Nak. Kami juga nggak mau kamu panik."
"Tapi ini Ariana, Bu," Ardan menatap adiknya dengan tatapan penuh kasih. "Aku nggak peduli sejauh apa aku pergi, kalau tahu Ariana seperti ini, aku pasti langsung pulang."
Dewa yang duduk di sisi lain hanya diam, memberi ruang bagi mereka. Ia bisa melihat betapa kuatnya ikatan antara kakak dan adik ini.
Ariana tersenyum kecil, meskipun masih lemah. "Aku baik-baik saja sekarang, Bang… Dewa menjagaku."
Ardan menoleh ke arah Dewa dan mengangguk dalam, tatapannya berubah lebih tenang. "Terima kasih, Dewa. Aku nggak bisa bayangin apa jadinya kalau bukan kamu yang ada di sini."
Dewa tersenyum tipis. "Aku cuma melakukan apa yang harus aku lakukan, Bang."
Ardan kembali menatap adiknya, lalu mengusap kepala Ariana dengan lembut. "Mulai sekarang, Abang di sini. Aku nggak akan pergi ke mana-mana lagi."
Hari itu, di antara kelelahan dan keharuan, keluarga mereka kembali utuh.