Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Takdir Di Tengah Hujan
Aqila melangkah tertatih keluar dari rumah itu, langkahnya berat, dan setiap gerakan kecil terasa menyakitkan. Tubuhnya penuh luka bekas pukulan Miranda dan Areta, rasa sakit yang tidak hanya menyayat fisiknya, tapi juga hatinya.Dengan barang barangnya yang dibungkus dalam sebuah tas kecil yang sudah basah, ia berjalan tanpa arah.
Air matanya mengalir deras, menyatu dengan hujan yang mengguyur kota tanpa ampun. Malam semakin pekat, dan udara dingin menembus tubuhnya yang basah kuyup. Aqila memeluk dirinya sendiri, mencoba mengusir dingin, tapi yang ia rasakan hanyalah kesepian dan keputus asaan. Ia tidak tahu harus ke mana. Semua yang ia miliki,keluarga, tempat tinggal, dan rasa aman telah direnggut darinya.
Langkahnya berhenti di depan gerbang sebuah pemakaman tua yang sunyi, letaknya sedikit di pinggir kota. Pemakaman itu adalah tempat kedua orang tuanya dimakamkan. Ia masuk dengan langkah gontai, air hujan membasahi tanah di sekitarnya hingga menjadi lumpur. Dengan sisa tenaganya, ia berjalan hingga tiba di depan dua nisan yang berdampingan, milik papanya, Hendra Wijaya, dan mamanya, Larasati Safina.
Aqila berlutut di sana, tangannya menyentuh nisan yang dingin. Ia menangis sejadi-jadinya, air matanya bercampur dengan tetesan hujan yang terus turun.
"Pa... Ma... hikss..kenapa kalian tinggalin aku?" isaknya dengan suara parau. "Aku nggak kuat lagi, Pa... Ma... Aku udah nggak punya siapa-siapa. Mereka usir aku dari rumah, mereka pukul aku, hina aku, anggap aku nggak lebih dari pembantu!"
Tangisannya pecah, semakin menjadi. Ia menenggelamkan wajahnya di telapak tangan, mencoba meredam suara tangis, tapi sia-sia.
"Ma... Pa... aku kangen. Kenapa kalian nggak ajak aku pergi waktu itu? Kenapa kalian tinggalkan aku sendirian di dunia ini? Apa salah aku, Pa? Apa aku memang nggak pantas bahagia? Semua orang benci aku. hikss.. Kak Areta... dia selalu jahat ke aku, mama Miranda yang papa percayakan untuk menjaga aku juga jahat sama aku pa.. hikss..., dia selalu mukul dan nyiksa aku. Bahkan Daniel, orang yang aku pikir cinta sama aku, dia selingkuh dengan Areta. Aku... aku cuma alat, Pa. Alat untuk semua orang."
Hujan deras terus mengguyur, tubuh Aqila menggigil kedinginan, tapi ia tidak peduli. Ia mengusap nisan itu dengan lembut, seperti sedang mengusap wajah orang tuanya.
"Kalau aja kalian masih ada di sini... Aku nggak bakal jadi kayak gini. Aku bakal punya tempat pulang, aku bakal punya orang yang peluk aku waktu aku nangis. Aku capek, Ma... Aku...hikss... bener-bener capek."
Sesaat ia terdiam, matanya tertuju pada nisan itu. Harapan, rasa sakit, dan kenangan menyatu dalam pandangannya.
"Ma, Pa... aku janji aku bakal kuat, aku bakal cari jalan aku sendiri. Tapi... kalau aku gagal, mungkin aku bakal nyusul kalian," bisiknya lirih.
Aqila bangkit perlahan, meskipun kakinya gemetar. Ia mengucapkan doa terakhir sebelum meninggalkan makam itu. Hujan masih turun deras, membuatnya semakin basah kuyup.
Hujan semakin deras saat Aqila meninggalkan pemakaman. Malam itu, ia menyebrangi jalan kecil yang mengarah ke pusat kota. Langkahnya goyah, dan pikirannya penuh dengan rasa sakit. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan tinggi.
Saat cahaya lampu mobil mendekat, Aqila tersadar dan refleks berteriak, "Aaahh!"
Pengemudi mobil, Alvano Raffael Mahendra, langsung menginjak rem dengan keras. Mobil berhenti hanya beberapa inci dari tubuh Aqila. Di dalam mobil, Alvano merasa jantungnya berdetak kencang.
"Hampir saja..." gumamnya dengan napas tersengal. Ia keluar dari mobil dengan tergesa-gesa, ingin memastikan keadaan orang yang hampir ia tabrak.
Saat Alvano mendekat, ia melihat seorang gadis berdiri terpaku di tengah jalan, tubuhnya basah kuyup, wajahnya penuh ketakutan. Namun, tidak lama kemudian, gadis itu jatuh pingsan di depannya.
Alvano membungkuk untuk memeriksa gadis itu, matanya membelalak saat mengenali wajahnya. "Gadis ini... bukankah dia yang tadi aku lihat di kampus?" gumamnya, mencoba mengingat pertemuan singkat mereka.
Ia segera mengangkat tubuh Aqila yang basah kuyup dan ringan seperti tidak memiliki kekuatan lagi. "Apa yang terjadi padanya?" pikirnya dengan wajah serius. Hujan terus mengguyur saat Alvano membawa Aqila ke dalam mobilnya.
Dia duduk di kursi pengemudi, sesekali melirik ke arah gadis itu yang masih tak sadarkan diri. Wajahnya terlihat begitu terluka, dengan bekas lebam di beberapa bagian tubuhnya. Alvano merasa ada sesuatu yang berat dalam hati gadis itu.
"Aku tidak tahu siapa dia... tapi aku tidak bisa meninggalkannya begini saja," gumamnya pelan sebelum melajukan mobilnya menuju rumahnya.
Alvano tiba di depan rumah keluarganya, sebuah rumah besar yang megah di kawasan elit Kota Jakarta. Hujan masih mengguyur deras saat ia mematikan mesin mobil. Ia keluar, lalu mengangkat tubuh Aqila yang masih pingsan dengan hati-hati. Bajunya sudah basah kuyup, dan wajahnya tampak pucat dengan luka di beberapa bagian tubuh.
Ketika ia membuka pintu depan, kedua orang tuanya, Dimas Rasyid Mahendra dan Ratna Dewi Mahendra, yang sedang duduk di ruang keluarga, langsung terkejut.
"Alvano?" tanya Ratna, bangkit dari sofa. "Siapa gadis itu? Apa yang terjadi?"
"Ma, Pa, aku nggak tahu banyak. Aku hampir menabraknya tadi di jalan. Dia pingsan, jadi aku bawa ke sini," jawab Alvano sambil berjalan ke arah kamar tamu.
"Kenapa dia bisa sampai seperti itu?" Dimas ikut mendekat, wajahnya tampak cemas.
"Dia terlihat sangat terluka," gumam Ratna sambil mengikuti langkah anaknya.
Alvano merebahkan Aqila di ranjang kamar tamu dengan hati-hati. Ia menyelipkan bantal di bawah kepalanya, memastikan posisinya nyaman. Ratna dan Dimas masuk ke kamar, mengamati gadis itu lebih dekat. Ratna menutup mulutnya, tampak sangat terkejut melihat kondisi Aqila.
"Ya Allah, Van, lihat tubuhnya!" seru Ratna, matanya mulai berkaca-kaca. "Banyak sekali luka... dan itu darah?"
"Van, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa dia?" Dimas bertanya dengan nada serius, meski ia juga tampak prihatin.
"Aku benar-benar nggak tahu, Pa. Aku hanya... aku hampir menabraknya tadi. Dia ada di tengah jalan, basah kuyup, kelihatan seperti nggak punya tujuan. Aku nggak bisa ninggalin dia begitu saja," jawab Alvano, nadanya berat.
Ratna mendekat, menyentuh tangan Aqila yang dingin. "Gadis ini pasti mengalami sesuatu yang berat. Lihat bajunya... basah dan penuh lumpur. Dia pasti sudah lama di luar."
"Van, tolong ambilkan handuk. Kita harus membersihkan tubuhnya dulu," ujar Ratna sambil menatap suaminya. "Mas, bantu aku siapkan air hangat. Gadis ini perlu segera dirawat."
Dimas mengangguk dan bergegas keluar kamar, sementara Alvano menyerahkan handuk kepada ibunya. "Ma, aku keluar sebentar, Mama yang urus dia dulu" ucapnya pelan.
Ratna mengangguk, lalu duduk di sisi ranjang. "Nak, aku nggak tahu apa yang sudah kamu lalui," gumamnya sambil menyeka wajah Aqila dengan lembut menggunakan handuk hangat. "Tapi kamu aman di sini sekarang."
Setelah membersihkan wajah Aqila, Ratna mengganti bajunya yang basah kuyup. Ia menemukan beberapa luka memar di tubuh Aqila yang membuat hatinya teriris. Ratna menatapnya dengan penuh iba. "Mas, lihat ini," panggilnya pada Dimas yang baru kembali membawa salep antiseptik.
Dimas mendekat dan mengamati luka-luka itu. "Apa mungkin... dia disiksa?" gumamnya, nada suaranya dipenuhi keprihatinan.
"Aku tidak tahu, Mas. Tapi kita tidak bisa membiarkan dia seperti ini," jawab Ratna dengan tegas. "Aku akan obati luka-lukanya sebaik mungkin."
Dimas menghela napas panjang. "Van," panggilnya ketika Alvano kembali ke kamar. "Kalau dia sadar, kita harus cari tahu siapa dia dan kenapa dia bisa sampai seperti ini. Tapi untuk sekarang, biarkan dia istirahat."
Alvano mengangguk pelan. Matanya tetap tertuju pada wajah Aqila yang tampak sangat kelelahan dan penuh luka. Dalam hatinya, ia berjanji untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Takdir malam itu membawa sebuah simpati mendalam yang tak pernah ia duga sebelumnya.
🌸🌸🌸🌸🌸
Dengan tubuh yang masih lemas, Aqila perlahan membuka matanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah tiga sosok berdiri di sampingnya. seorang pria muda yang tampak gagah, seorang wanita paruh baya dengan wajah lembut, dan seorang pria yang terlihat bijaksana. Ketiganya menatapnya dengan pandangan prihatin.
Aqila meringis saat mencoba menggerakkan tubuhnya. Luka-luka di tubuhnya terasa menyakitkan. Ia mengerutkan dahi, bingung dengan tempat ia berada.
“Dimana aku?” tanyanya dengan suara serak dan bergetar, mencoba bangkit dari tempat tidur. Namun, rasa sakit memaksanya kembali terbaring.
“Kamu di rumah kami,” jawab Alvano dengan suara tenang.
“aku menemukanmu tadi di jalan, dan kamu pingsan,” tambahnya.
Aqila langsung gelisah. Ia mencoba bangkit lagi meski tubuhnya gemetar. “Aku harus pergi... aku nggak boleh di sini,” katanya panik. Namun, wanita paruh baya, yang ternyata adalah Mama Alvano, segera menahannya.
“Tenang, Nak. Kamu nggak perlu takut. Kamu aman di sini,” ucap Ratna lembut sambil duduk di sisi Aqila. Ia memegang tangan Aqila yang dingin. “Kamu butuh istirahat. Lihat tubuhmu, penuh luka. Jangan paksakan diri.”
Aqila memandang Ratna dengan mata berkaca-kaca, tapi ia tetap menggigit bibirnya, menahan tangis. “Kenapa... kenapa kalian menolong aku? Aku nggak pantas. Aku nggak punya apa-apa...” Suaranya bergetar.
Ratna tersenyum kecil, tapi senyum itu dipenuhi rasa iba. “Siapa pun yang membutuhkan pertolongan pantas untuk dibantu, Nak. Jangan bicara seperti itu. Aku seorang ibu, melihatmu seperti ini membuatku ingin melindungimu.”
Aqila tak mampu menahan tangisnya. Air matanya mengalir tanpa henti. “Aku... aku nggak punya siapa-siapa lagi...” bisiknya.
Dimas, ayah Alvano, akhirnya angkat bicara. “Kami tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi kamu aman di sini. Jangan takut. Kami hanya ingin membantu.”
Alvano yang sejak tadi diam akhirnya mendekat. Ia menatap Aqila serius. “Apa kamu ingat apa yang terjadi sebelum kamu pingsan?”
Aqila menunduk, tubuhnya gemetar. Ia tidak tahu harus menjelaskan dari mana. Trauma dan rasa sakit membuatnya sulit bicara.
Melihat itu, Ratna mengusap lembut rambut Aqila. “Sudah, Nak. Tidak apa-apa kalau kamu belum ingin bicara sekarang. Istirahatlah dulu, ya. Kami akan ada di sini kalau kamu butuh sesuatu.”
Aqila menatap Ratna dengan penuh rasa syukur, tapi ia masih merasa canggung berada di tempat asing. Ia kembali berbaring dengan hati yang penuh kekalutan, namun untuk pertama kalinya, ia merasa ada sedikit kehangatan di tengah dinginnya hidup yang ia alami.
Sementara itu, Alvano berdiri di sudut ruangan, memperhatikan gadis itu dengan tatapan penuh tanya. Ada sesuatu tentang Aqila yang menarik perhatiannya, kesedihan mendalam yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Siapa gadis ini sebenarnya? pikirnya. Namun, ia memilih menyimpan pertanyaannya untuk nanti.
********
like,vote and komennya jangan lupa readersss😄