Sagara mengalami hilang ingatan setelah kecelakaan tragis, tidak ada kenangan Lania dalam pikirannya.
Lania merasa sedih, terlebih-lebih Sagara hanya mengingat sekertaris-nya yang tak lain adalah Adisty.
Peristiwa ini dimanfaatkan Adisty untuk menghasut Sagara agar menceraikan Lania.
Lantas, dapat kah Liana mempertahankan rumah tangganya?
Apakah ingatan Sagara akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon megatron, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Duri Tersembunyi
Lania menatap ke langit-langit. Napasnya berat. Namun, di balik kelemahan tubuhnya, pikirannya mulai bekerja cepat.
Adisty baru saja mengaku. Memang tidak langsung, itu sudah lebih dari cukup untuk memulai langkah balasan.
“Ayolah masuk dulu,” ucap Sagara sembari membuka pintu. “Kamu juga, Dis, kenalkan pacar kamu ke Lania, dong.”
“Sudah malam, Tegar tipe pemalu, makanya selama ini kita gak pernah publikasikan hubungan.” Adisty masuk kembali ke ruangan, kali ini seorang pria tinggi—cukup menarik—berjalan di sisinya.
“Sayang, maaf aku agak lama.” Penampilannya sudah tidak kacau lagi, aroma segar pun menguar di udara—Sagara menaruh buah ke atas meja.
“Kami harus balik,Ga,” kata Adisty terdengar seperti penyesalan, “kita sudah bicara banyak, ya, kan Lan?”
Menurut Lania, tidak perlu menutupi perasaan. Dia enggan menanggapi kata-kata Adisty. Namun, cukup penasaran terhadap pria yang digandeng wanita itu—betulkah hubungan mereka sampai ketahap serius.
Dengan senyum yang setengah mati dipertahankan. Adisty memperkenalkan kekasihnya dengan nada ceria yang dibuat-buat. “Ini Tegar, pacarku.”
Lania bisa merasakan udara di ruangan mendadak terasa lebih berat—kotor. Tegar mengulurkan tangan dengan sopan, tidak tampak kebohongan dimatanya. Akan tetapi, pancaran tatapan itu terlalu datar untuk seorang kekasih sejati.
“Lania.” Terpaksa menyebutkan nama, Lania menoleh ke arah Sagara. “Dia yang kamu maksud, Ga?” Suaminya mengangguk.
Lania melepas jabatan tangan dengan cepat. Senyum pria itu tak berubah, tetapi ada keraguan tipis yang menyelusup di balik sorot matanya. Dia bukan orang yang mudah menilai, ada sesuatu dari cara Tegar berdiri—terlalu formal, terlalu hati-hati—seolah-olah sedang bermain peran.
“Aku harap kamu percaya, Lan,” sindir Adisty.
Dan, Lania sudah cukup lama mengenal Adisty, sehingga hafal sepak terjang asisten pribadi sang suami. Bahwa saat perempuan itu terlalu manis, pasti ada duri tersembunyi di baliknya.
“Kenapa tidak, dengan begitu aku tidak khawatir kamu menunggu seseorang yang mustahil kamu dapatkan,” balas Lania tidak kalah pedas. Suaranya stabil, meski mata tidak lepas dari keduanya—mencari celah, isyarat, atau reaksi sekecil apa pun yang bisa mengungkap kebohongan di antara mereka.
Di balik senyumnya, Lania sedang menata pikiran. Dia tidak repot-repot menunjukkan rasa curiga. Sembari dalam diam, nalurinya yang tajam sedang mencatat—cara Tegar menghindari kontak mata terlalu lama, cara Adisty mencengkeram lengannya sedikit terlalu erat, seolah takut pria itu melenceng dari naskah.
“Sudah berapa lama kalian bersama?” tanya Lania ringan, suaranya terdengar ramah, nyaris polos—mata tajam tidak pernah terlepas untuk mengamati ekspresi Tegar.
“Lania, sudah. Nanti Tegar jadi tidak nyaman. Kayak diintrogasi petugas kepolisian,” pungkas Sagara, yang mulai mengendus bau-bau pertengkaran sengit.
“Tidak jadi masalah, Pak Sagara.” Tegar tersenyum dan menjawab, “Baru… beberapa bulan, tapi rasanya seperti sudah lama.”
Seketika, Adisty tertawa kecil, terlalu nyaring. “Iya, kita tuh cocok banget. Bahkan suka milih makanan yang sama!” katanya sambil menepuk lengan Tegar, lalu menatap Lania dengan senyum penuh kemenangan.
Lania hanya mengangguk, menyembunyikan kegelisahan yang mulai mencuat di balik ekspresi datarnya. Dia menangkap bagaimana Tegar terlihat berusaha menyesuaikan diri, ada unsur keterpaksaan dalam setiap gerak. Selain itu, kata-katanya terasa terlalu kentara bagi Lania yang sudah terbiasa membaca bahasa tubuh.
“Cepat juga kamu move on, Dis. Padahal dulu kamu bilang...” Lania sengaja menggantung ucapan, “Akan mengutamakan karier daripada cinta.”
Adisty hanya tertawa, tetapi sorot matanya tajam, seperti hendak menantang. “Yah, kamu tahu sendiri, Lan. Kadang cinta datang di saat yang paling nggak diduga, kan?”
Lania membalas senyum itu, tetapi kali ini senyumnya terasa lebih dingin. Dia tidak butuh jawaban—yang dibutuhkan hanyalah waktu untuk membongkar semuanya. Karena sedari awal, Lania tahu: ini bukan tentang cinta. Ini permainan. Dan Adisty baru saja mengundangnya ke tengah panggung.
“Omong-omong, kami harus balik, sudah malam. Biar Lania tidak istirahat terlalu larut.”
“Ya, terima kasih sudah sempatkan besuk,” ucap Sagara, riang.
Adisty hanya mengangguk lantas pergi dari ruangan.
“Besok dokter sudah mengizinkan kamu pulang,” katanya kepada Lania, sembari menarik kursi di dekat ranjang.
“Ya, aku tidak terlalu suka lama-lama menginap di sini, dingin.”
“Aku sedia jasa pelukan.” Sagara memeluk erat Lania tanpa aba-aba. Dia mengayun-ayunkan ringan tubuh istrinya. “Mulai saat ini, mari kita buka lembaran baru. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku lagi. Kamu lihatkan Adisty sudah punya pasangan.”
“Kamu merusak suasana,” gerutu Lania seraya mendorong perut berotot Sagara. Dia memasang wajah marah yang dibuat sedemikian rupa agar meyakinkan suaminya.
“Aku hanya tidak mau kamu dalam masalah, Sayang.” Nada bicara Sagara terdengar begitu serius.
Ada seberkas cahaya di sorot mata Sagara yang sayu nan hangat. Setelah hari-hari yang penuh dengan rasa sakit, selang infus, besok adalah hari yang Lania tunggu—hari ketika dokter akhirnya memperbolehkan pulang.
Hatinya sedikit berdebar, bukan karena takut, tetapi karena rasa tak sabar yang perlahan membuncah. Lania merindukan udara bebas, aroma rumah, bahkan suara pintu yang berderit ketika angin sore menerobos masuk dari jendela dapur. Namun, lebih dari itu, dia tahu bahwa kepulangannya kali ini bukan sekadar kembali ke rumah—melainkan kembali pada hidup yang sempat kacau.
Di atas nakas, setangkai bunga krisan yang dibawa Pandu beberapa hari lalu masih bertahan, meski mulai mengering di ujung kelopaknya. Lania menatapnya dengan senyum kecil. Dia tahu, besok segalanya tak akan langsung membaik, Sagara akan bersikap jauh-jauh lebih protektif.
Lania menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. "Besok aku pulang," bisiknya lirih, penuh keyakinan.
Dan dalam keheningan ruang rawat itu, harapan perlahan tumbuh seperti pagi yang sedang menunggu waktu untuk terbit.
Sagara mencium ubun-ubun sang istri beberapa kali, nyaris tak terhitung sampai wanita itu terlelap dalam pelukan.
***
Langkah Lania perlahan menuruni koridor menuju lobi rumah sakit. Suara roda kursi dorong yang didorong perawat terdengar pelan, berpadu dengan gemerincing pelan alat infus yang baru saja dilepas dari lengannya. Hari itu, sinar matahari menerobos masuk melalui dinding kaca besar di sisi lobi, memantulkan warna keemasan hangat ke lantai marmer yang mengilap. Aroma antiseptik lagi menusuk—seolah-olah kelegaan dan harapan sudah menipiskan baunya.
Sagara berdiri di sisi Lania, tak berkata-kata, hanya meletakkan tangan di punggung istrinya dengan lembut. Tak ada kalimat besar yang diucapkan, tetapi kebersamaan mereka menjelma seperti selimut tipis yang melindungi hati yang sempat koyak.
“Apa tidak apa-apa kamu meninggalkan kantor selama ini?” tanya Lania.
Senyum simpul terbit di bibir Sagara. “Aku CEO dan pemilik perusahaan. Tidak masalah mau cuti lama.”
jujur selain hasutan nenek lampir, atau ingatan ttg Lania, smp saat ini keinginan sagara sendiri ga jelas
kamu dapat inspirasi dari mana jal
hai sayang. aku datang karena penasaran