Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 : Arc Penjelajahan Bagian 3
“Seperti ada uang memperhatikan, ya?” Bela berbisik, suaranya hampir tenggelam oleh bunyi derit lantai.
“Bukan cuma diperhatikan,” sahut Sinta pelan. “Tapi, tempat ini seperti… menunggu.”
Rizal menoleh ke kiri, lampu senternya menyorot ke arah kursi goyang di sudut ruangan—bergerak perlahan, padahal udara di sana terasa mati. Amira mematung di belakangnya, matanya terpaku pada meja tua di dekat kursi itu. Di atasnya berdiri sebuah lilin merah yang menyala dengan cahaya kecil, berkelip-kelip, membuat bayangan di dinding bergerak aneh.
“Ini tidak ada waktu pertama kali kita ke sini, kan?” tanya Rizal ke Riski.
Riski menggeleng. “Bukan kita yang naruh.”
Amira melangkah mundur setapak. “Kalau gitu, siapa?”
Bau anyir samar mulai terasa lebih kuat, menusuk hidung. Bela mengernyit, menutup mulutnya dengan tangan. “Aduh, ini bau apa kah ini?”
Sinta menatap lurus ke lorong gelap di depan mereka. “Bau yang sama kayak dulu… tapi sekarang lebih pekat.”
Riski menatap kembali ke arah dapur itu." Disitulah kejadiannya. Tapi, aku tidak yakin kalau hal ini berasal dari sana." Sejenak ia terdiam kemudian ia melangkah maju dengan pela dan hati-hati." Yang awasi kita bukan makhluk halus biasa."
Tiba-tiba, semua senter meredup lalu mati bersamaan. Lilin merah itu pun padam, seolah ada tangan yang meniupnya. Kegelapan langsung menelan mereka.
Lalu dari arah tangga, terdengar suara berat berbisik, jelas dan dekat.
“Kalian kembali… bagus. Sekarang kita lihat siapa yang bisa keluar.”
Langkah kaki berat mulai menuruni tangga—pelan, tapi pasti.
Langkah kaki berat di tangga terus terdengar, makin jelas setiap detiknya. Riski menatap ke atas, senter di tangannya hanya memantulkan sorot cahaya yang ditelan gelap.
Tiba-tiba… semua suara hilang. Gerimis di luar lenyap, derit lantai berhenti, bahkan napas mereka terdengar terlalu keras.
Bau anyir menyeruak, lebih kuat, sampai Bela harus menutup mulut dan hidungnya. Amira melangkah mundur, punggungnya menabrak meja tua. Lilin merah yang tadi telah padam, kini menyala lagi—sendiri. Api kecilnya berkelip, seperti berusaha berkata bahwa ada sesuatu di luar jangkauan cahaya.
“Dia di sini…” bisik Riski tanpa mengalihkan pandangan dari tangga." Kalian tetap berhati-hati dalam bertindak. Aku tidak tau pasti apa yang kita hadapi sekarang, tapi yang pastinya ini sosok yang pernah ada saat pertama kali kesini."
Petir menyambar di luar, cahayanya masuk lewat celah jendela, dan sekejap itu mereka semua melihatnya—sosok tinggi, berdiri di anak tangga paling atas. Kepalanya menunduk, rambut hitam panjang menutupi sebagian wajah. Tubuhnya kaku, tapi ada gerakan halus di bahunya… seperti sedang tertawa tanpa suara.
Cahaya petir padam, gelap kembali.
Langkah itu terdengar lagi, kali ini lebih cepat.
Rizal mengarahkan senter ke tangga—kosong. “Hilang?!” suaranya setengah panik.
Bela meraih tangan Amira. “Amira, kita pulang yuk. Aku tidak sanggup dengan kaadaan ini.”
Saat ia berbalik, pintu masuk rumah tua itu tiba-tiba tertutup kembali dengan keras. Brakk...!!
“—dia tidak pernah di atas.” Suara berat itu tiba-tiba terdengar tepat di belakang mereka.
Mereka serempak menoleh. Di ujung ruangan, dari bayangan gelap di sudut, siluet itu mulai terbentuk. Bukan berjalan… tapi seolah bayangan itu sendiri mengental menjadi tubuh manusia.
Mata merahnya menyala samar, bibirnya melengkung membentuk senyum yang dingin.
“Akhirnya… kita ketemu lagi.”
Lilin merah mati seketika. Gelap total. Lalu terdengar bunyi kayu berderit—langkahnya mendekat.
Rizal, Amira, Sinta, dan Bela menatap terpaku melihat sosok tinggi besar itu. "Kaa..kau siapa?" Kata Rizal dengan bibir bergetar.
"Amira... Atau mungkin ku sebut." Pria itu terdiam sejenak." White Angel "
Pria itu melanjutkan ucapannya." Berhenti acting seperti itu, karena sungguh memuakkan." Ia meludah kelantai.
Mereka semua langsung saling menatap. Rasa takut dan heran yang bercampur aduk meliputi wajah mereka.
"Amira? Apa maksudnya itu? Kamu kenal hantu ini? Atau ini anggota komplotan hantu?" Rizal menatap dalam Amira. Tapi Amira hanya bisa terdiam tanpa berucap apa-apa. Ia menatap wajah pria itu dengan sorot mata setajam pisau. Sudah tak ada lagi ketakutan yang terlihat dari gerak-geriknya.
"Ya.. Ya.. Ya.." Riski bergumam.
Riski melangkah maju dengan penuh perhitungan yang matang." Syukurlah. Setidaknya aku tau hantu itu tidak ada,"ia menyipitkan matanya." Kalau kamu pria sebutkan tujuanmu disini, atau mungkin kamu suka caraku sendiri agar kamu bisa membuka mulut.
"Agen Dark. Salah satu rival dari tim White Angel . Mereka salah satu anggota dari VIRUS. Tapi mereka ini pengguna ilmu hitam." Amira menjelaskan dengan detail tanpa ragu.
"Sinta, Rizal, ayo kita pulang. Riski cari solusi." Lutut Bela gemetaran sedangkan Rizal dan Sinta tak mampu berucap apa-apa.
Riski tersenyum tipis." Maaf kawan-kawan, sudah melibatkan kalian terlalu jauh. Dari sini mungkin kalian akan lihat aku yang sebenarnya." Kata Riski sembari mengeluarkan pisau belati dari sarungnya.
"Riski... Aku tidak tau apa yang ingin kamu rencanakan. Tapi tolong."
"Di-copy". Riski langsung melesat cepat ke arah pria itu dengan pisau yang terhunus dengan tajam. Tapi, pria itu menghindar seolah ia mampu membaca serangan itu." Boleh aku puji kecepatanmu. Tapi," Ia tersenyum sejenak." Kalian akan mati disini."
Pria itu mengeluarkannya pedang katanya dari balik punggungnya. Ia langsung menerjang ke arah Riski. Riski tak tinggal diam, langsung menangkis dengan cepat menggunakan pisau belatinya. Suara berdengung yang kuat meledak saat kedua mata pisau itu saling bertabrakan.
Riski mundur sejenak, serang itu membuat pergelangan tangannya sedikit nyeri akibat massa yang berbeda antara pisau dan pedang katana. "Boleh juga, ini akan semakin menarik. Setelah kau, teman-temanmu dan white angel akan jadi korbannya."
"Bau busukmu ini sungguh familiar. Jangan-jangan..." Riski terdiam sejenak." Kau Parakan yang ada saat malam berdarah itu?" lanjutnya.
"Hmm... Boleh juga pengamatanmu anak muda. Tapi, lebih baik kau serahkan kertas itu agar ku ampuni nyawa kalian..."
Pria itu tak sempat menyelesaikan ucapannya—Riski sudah meluncur seperti kilat.
Tanpa aba-aba, ia menghujani lawannya dengan tendangan bertubi-tubi. Angin dari setiap hentakan kakinya nyaris mengenai sasaran, tapi pria itu terus memutar tubuhnya, menghindar dengan lincah.
"Rizal…! Lemparkan pisaumu sekarang!" teriak Riski, matanya tak lepas dari lawan.
"Terlalu jauh!" sahut Rizal sambil mencabut pisaunya lagi.
"Sudah… lemparkan saja!"
Rizal tak berpikir panjang. Dengan satu ayunan cepat, pisaunya meluncur di udara. Riski melompat, memutar tubuh, dan menangkap gagang pisau itu tepat di tangan—semuanya dalam satu gerakan mulus.
Senyum tipis terukir di bibirnya. Ia mulai berjalan perlahan, memutar-mutar pisau itu di jemarinya.
"Permainan baru saja dimulai," ucapnya, suaranya dingin.
Tanpa memberi waktu bernapas, lawannya maju, menebas dari depan. Riski menangkis, bilah besi beradu hingga memercikkan kilatan cahaya. Tapi sebelum ia sempat bergerak lagi, kaki lawannya meluncur seperti peluru, menghantam dada Riski dengan keras.
Dugh!
Tubuhnya terpental ke belakang, menghantam lantai. Di tengah jatuhnya, ujung pisaunya sendiri tergores di pipi, meninggalkan luka panjang. Hangatnya darah mengalir, menetes dari rahangnya ke lantai.
Riski mengangkat wajahnya, menatap tajam… dan tersenyum tipis meski napasnya berat.
Bersambung…