Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Luka Lama yang Mengetuk Pintu Kedamaian
Pagi itu, udara di kota tempat pelatihan masih sejuk, embun belum sepenuhnya mengering. Nayla berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Ia mengenakan blus sederhana berwarna biru langit dan rok panjang berwarna senada. Tak ada polesan makeup berlebihan, tak ada aksesori mencolok hanya perempuan biasa yang tengah belajar kembali mencintai hidupnya sendiri.
Fadly mengetuk pintu kamar, sopan seperti biasa. “Bu Nayla, siap?”
“Sebentar ya, Pak,” jawab Nayla dari dalam.
Di ruang pelatihan, sambutan peserta hangat dan antusias. Nayla menyampaikan materi tentang ‘Kemandirian Perempuan dan Harga Diri’ tema yang baginya bukan sekadar teori, tapi kisah nyata yang ia telan sendiri dalam diam selama bertahun-tahun.
Ketika sesi selesai, Fadly sempat menghampiri.
“Saya kagum... Ibu bisa bicara dengan jernih tentang luka tanpa menyebar kebencian,” katanya pelan.
Nayla hanya tersenyum. “Saya tak ingin menjadi korban selamanya.”
Fadly menatapnya dalam-dalam. Ia ingin berkata lebih. Tapi sesuatu dalam dirinya menahan. Ia tahu, hati Nayla masih dalam masa pemulihan. Dan cinta yang terlalu cepat datang bisa membuatnya runtuh kembali.
Sementara itu, di Jakarta, Arvan duduk di dalam mobilnya. Tangannya memegang kemudi, tapi pikirannya melayang. Laras sudah tiga hari tak pulang sejak pertengkaran terakhir. Ia pergi dengan membawa koper dan ancaman.
“Aku bukan perempuan yang bisa kau abaikan, Van! Kalau kamu kira bisa lepas begitu saja, kita lihat siapa yang akan lebih hancur!” kata Laras terakhir kali.
Arvan menatap layar ponsel. Lagi-lagi membuka galeri foto yang isinya kini lebih banyak potret masa lalu bersama Nayla. Matanya berhenti pada satu foto: Nayla tertawa lepas saat keduanya berlibur ke Ubud, bertahun-tahun lalu. Tertawa yang sudah lama tak ia lihat, bahkan sebelum bercerai.
Ada getaran aneh di dadanya. Penyesalan. Dan hampa.
Dua hari kemudian, Nayla dan Fadly kembali ke Jakarta. Mobil kantor menurunkan mereka di titik yang berbeda. Nayla masuk ke rumahnya yang kini jauh lebih tenang. Sepi. Tapi bukan kesepian yang menyakitkan lebih kepada kesunyian yang memberi ruang.
Malam harinya, ponselnya berbunyi.
Nomor Tak Dikenal.
Awalnya Nayla enggan mengangkat. Tapi nalurinya seperti mendesak: jawab.
“Halo?” suaranya pelan.
“Halo, Nayla... ini aku, Arvan.”
Sejenak, dunia terasa berhenti.
Butuh waktu beberapa detik sebelum Nayla menjawab, “Ada perlu apa?”
“Nayla... aku hanya ingin bicara. Bukan tentang kita. Tapi... tentang aku. Tentang semua yang selama ini aku pendam.”
Nayla menghela napas. “Arvan, kita sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Aku mohon, jangan mengganggu proses yang sedang aku jalani.”
“Aku tahu. Aku hanya... ingin minta maaf. Bukan karena berharap kau kembali. Tapi karena aku sadar... aku telah menghancurkan seseorang yang tulus. Dan aku tak bisa berdamai dengan itu.”
Nayla tak menjawab. Di dalam hatinya, sesuatu bergetar. Tapi bukan karena cinta. Lebih karena luka yang ternyata masih ada jejaknya, meski telah lama ia rawat.
“Sudah. Maaf kalau ini kasar, tapi... aku butuh tenang, Arvan. Jangan hubungi aku lagi. Aku bukan milik siapa-siapa, tapi hatiku bukan tempat penyesalan siapa pun untuk pulang.”
Dan dengan suara yang tenang, Nayla mematikan sambungan itu.
Pagi berikutnya, Nayla membuka laptopnya. Banyak email masuk, dan salah satunya dari sebuah media lokal yang pernah meliput kegiatannya. Mereka ingin mengangkat profil Nayla sebagai “Perempuan Inspiratif”.
Fadly pun mengirim pesan:
“Selamat ya, Bu Nayla. Layak sekali. Saya tahu betul Ibu bukan sekadar bertahan. Ibu adalah bukti bahwa luka tidak harus membuat kita menjadi keras, tapi cukup membuat kita lebih bijaksana.”
Nayla tersenyum.
Ya, mungkin hatinya belum benar-benar pulih. Tapi hari demi hari, ia merasa... utuh kembali.
Bukan karena siapa-siapa. Tapi karena ia belajar bahwa perempuan bisa berdiri tanpa harus bergantung pada cinta yang menyakitkan.