Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Persiapan Nikah
Noah melangkah maju, berdiri sejajar dengan Ivy. Rahangnya mengeras, sorot mata menusuk seperti baja yang siap melindungi. Suara Noah tegas, bulat, membuat ruangan seakan bergetar.
“Cukup, Ma. Ivy adalah istriku. Tidak ada orang lain yang lebih pantas di sampingku kecuali dia.”
Keheningan langsung jatuh, menelan semua bisik-bisik tamu undangan. Gendis membelalak, wajahnya memucat seperti kehilangan pijakan. Mentari masih tersenyum, tetapi senyum itu getir, seolah selubung topengnya retak.
“Oh? Masih bisa berubah?” ujarnya, lengan terlipat dengan tatapan meremehkan. “Hati lelaki mudah goyah.”
Noah tidak bergeming. Pandangannya lurus, suaranya dingin tapi tajam. “Lelaki yang Mama maksud, bukan aku.”
Ivy menarik napas panjang, menunduk sejenak. Ujung jemarinya bergetar sebelum dia melangkah maju, wajahnya tenang, senyum tipis terukir dengan elegan, tetapi jelas penuh luka yang ditahan. Dia menatap Mentari langsung, tidak lagi sebagai menantu yang takut, melainkan perempuan yang berdiri atas dirinya sendiri.
“Terima kasih atas perhatiannya, Ma,” ucapnya lembut, tetapi tajam.
“Tapi saya tidak datang untuk berdebat. Kami hanya ingin memastikan Gendis sampai dengan selamat. Selamat sore.”
Dia menggenggam tangan Noah, erat, seolah menyerap kekuatan dari genggaman itu. Mereka berjalan pergi, punggung mereka tegak. Gendis hanya bisa memandangi dengan dada panas, sementara Mentari mengepalkan jemarinya di sisi tubuh, keruh dan penuh bara amarah yang berusaha dia sembunyikan di balik senyum kaku.
Di perjalanan pulang, mobil melaju sunyi. Ivy menatap keluar jendela, cahaya lampu jalan berkelebat, tetapi pikirannya penuh riak. Jari-jari Noah hangat di genggamannya, tetapi dadanya tetap sesak.
“Apa kamu marah sama aku karena melawan ibumu?” tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan.
Noah menggeleng, mata tetap fokus ke jalan, meski rahangnya menegang. “Aku marah, tapi bukan sama kamu, Vy. Aku muak dengan mereka yang selalu ingin menjatuhkanmu.”
Ivy melirik sekilas, melihat kilatan getir di mata suaminya. Senyum tipis mengembang, meski matanya berkaca. “Biarkan saja. Yang penting kamu tahu siapa yang benar. Itu sudah cukup buatku, No.”
Noah akhirnya menoleh sekilas, sudut bibirnya melunak. Dia mengangkat tangan Ivy, mengecup punggungnya lama-lama. Ivy menutup mata sesaat, menikmati rasa aman yang jarang dia dapatkan.
Keheningan berubah hangat. Musik romantis dari radio mengalun pelan. Sesekali Noah mengetuk setir mengikuti irama, sementara Ivy mulai ikut tersenyum. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan butik pengantin mewah.
Ivy mengernyit. “No, ngapain berhenti di sini?”
Noah tersenyum kecil, matanya berkilat. “Fitting baju. Kamu lupa?”
“Sekarang?” Ivy membulatkan mata, alisnya saling bertaut.
Noah terkekeh, matanya melirik nakal. “Iya. Sekalian biar kamu lupa kejadian tadi.”
Ivy mengembuskan napas, tetapi senyumnya akhirnya pecah. “Noah ….”
Noah turun lebih dulu, membuka pintu untuk Ivy, lalu mengulurkan tangannya. Ivy menatap jemari itu sejenak sebelum menggenggamnya, ada rasa lega yang menelusup di dadanya.
Mereka masuk butik, cahaya lampu kristal memantulkan kilaunya ke gaun-gaun putih yang tergantung rapi. Desainer menyambut dengan ramah, segera membawa Ivy ke ruang ganti. Noah menunggu sambil membolak-balik katalog, meski matanya tak benar-benar fokus.
“Noah ….” suara lembut Ivy memanggil.
Noah menoleh dan terhenti. Dunia seakan berhenti bersuara. Ivy keluar dengan gaun pengantin putih klasik, jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya.
Rambut Ivy disanggul rapi, selendang renda tipis melingkupi bahunya. Cahaya lampu menggenggamnya seperti malaikat yang turun dari negeri dongeng.
Noah terpaku. Mulutnya terbuka sedikit, lalu buru-buru dia tutup dengan telapak tangan. Jantungnya berdegup cepat, keringat dingin membasahi tengkuk. Perlahan, dia melangkah mendekat.
“Kamu … cantik sekali, Vy,” bisik Noah dengan suara bergetar.
Pipi Ivy merona. “Jangan berlebihan,” ujarnya pelan, meski matanya menunduk menahan debar.
Noah membelai pipi Ivy, jemarinya lembut menyusuri garis wajah yang dia hafal. Dia condong, napasnya menyentuh wajah Ivy yang hangat. Bibir mereka hampir bersentuhan, sampai Ivy menempelkan tangannya di dada Noah untuk menahan.
“Noah, kita di tempat umum ….” Suara Ivy berbisik dan senyumnya malu-malu.
Noah menarik napas, menahan kecewa. Ivy terkekeh pelan melihat ekspresinya yang seperti anak kecil dilarang jajan. “Sabar, ya. Sebentar lagi kita punya malam milik kita.”
Noah menunduk, pipinya mengembang karena menahan tawa getir. “Kamu benar-benar penyiksa.”
Mereka tertawa bersama, suara yang mencairkan udara tegang tadi. Ivy kembali ke ruang ganti, meninggalkan Noah yang masih berdiri dengan detak jantung belum reda.
Beberapa menit kemudian, mereka keluar butik sambil tertawa kecil. Langit malam berhias bintang, angin lembut menyapu wajah mereka.
Di perjalanan, Noah melirik. “Kamu yakin nggak keberatan semua ini terjadi?”
Ivy menoleh, matanya tenang. “Selama kamu bersamaku, aku nggak takut apa pun.”
Noah menarik tangannya lagi, mengecup punggungnya. Hatinya bergetar hebat. Dia tak pernah menyangka jatuh cinta bisa serumit dan semurni ini pada Ivy, perempuan yang dulu dia kira hanya mengejar uang.
“Aku tidak akan melepaskanmu, Ivy.” Kata itu keluar nyaris seperti sumpah.
---
Sementara itu, jauh dari kehangatan itu, Mentari duduk di ruang kerjanya. Di tangannya, sebuah berkas terbuka, menyingkap identitas yang mengejutkan.
“Tunggu … ternyata dia anak dari ….” gumam Mentari dengan mata menyipit.
Senyuman penuh arti merayap di wajahnya. Jemarinya mengepal di atas meja, tatapan matanya berkilat penuh ambisi.
“Asisten!” panggilnya lantang.
Seorang perempuan berusia empat puluhan masuk, pakaian rapi menambah wibawa. “Ya, Nyonya?”
“Aku akan mengadakan jamuan makan malam besok lusa. Sebarkan undangan. Pastikan juga Ivy dan Noah hadir.”
“Baik, Nyonya.” Asisten itu membungkuk lalu keluar.
Mentari tertawa kecil, bahunya bergetar. Senyum liciknya makin mengeras. “Mari kita lihat, Ivy … kali ini, apakah kamu bisa menghindar?”
---
Dua hari kemudian, aula besar rumah Mentari berkilau oleh cahaya lampu gantung kristal. Lantai marmer mengilap memantulkan gaun-gaun mahal tamu undangan. Meja panjang tertata anggun dengan taplak satin putih dan rangkaian lily segar.
Pejabat, pengusaha, sosialita kota, semua hadir. Gelas kristal berdenting, percakapan lirih berbaur dengan musik orkestra lembut.
Mentari duduk di kursi utama, gaun gelapnya berkilau. Di sisi kanannya, Gendis dengan gaun merah menyala tersenyum angkuh. Namun, tatapan mereka sesekali melirik ke pintu besar aula.
“Tante, tenang saja,” bisik Gendis dengan senyum mengejek. “Dia pasti datang. Ivy nggak akan melewatkan kesempatan ini.”
Mentari menyesap wine perlahan, menahan senyum diplomatis. “Dia akan datang. Dan dia tidak tahu … malam ini panggungku. Dia hanya pion kecil yang siap kugulingkan.”