NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:917
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10 dikampung halaman

Hiruk pikuk kota telah tergantikan oleh suara jangkrik dan desir angin yang menyapu sawah luas. Langit di kampung halaman Zhavira membentang tenang, seakan ikut menyembuhkan hatinya yang sempat lelah karena berbagai drama di kantor — dan pria bernama Makes Rafasya Willson.

Zhavira menghela napas panjang. Rambutnya dibiarkan terurai ditiup angin, sandal jepit yang dipakainya beradu dengan tanah merah, dan tangannya membawa kantong kecil berisi jajanan pasar yang baru dibelinya dari warung Pak Sanip.

“Udara di sini selalu terasa lebih jujur,” bisiknya sambil menatap hamparan hijau di hadapannya.

Sudah dua hari ia di kampung. Tidur di rumah orang tuanya, makan masakan sederhana, dan jauh dari notifikasi email atau tatapan tajam Makes. Ia ingin jarak — walau dalam diam, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok pria itu.

Namun sore itu...

Langkahnya terhenti ketika melihat mobil SUV hitam berhenti di pinggir jalan kecil yang biasa hanya dilewati motor atau becak. Matanya menyipit, mencoba mengenali plat dan siluet seseorang yang keluar dari mobil.

“Apa-apaan…” gumam Zhavira, hampir menjatuhkan kantong jajanan dari tangannya.

Dari balik pintu, muncul sosok pria jangkung berjaket hitam, memakai kacamata hitam yang tak cukup menyembunyikan wajah yang terlalu familiar.

Makes.

Zhavira hampir tidak percaya.

“Aku, nyusul kamu,” ucap Makes pelan, seakan merasa canggung di tengah suasana desa yang jauh dari dunia glamor yang biasa ia tinggali.

Zhavira membelalak. “Kamu ngapain di sini?”

“Menemui kamu,” jawabnya lugas.

“Kenapa?” tanyanya, masih dalam mode defensif.

“Kamu pergi tanpa kabar. Tiba-tiba cuti, padahal biasanya kamu selalu kasih briefing akhir minggu. Dan, aku butuh penjelasan.” Makes menatapnya, penuh tekad. “Atau mungkin, aku cuma rindu.”

Zhavira terdiam, napasnya tertahan.

“Aku hanya butuh. Waktu menyendiri,” akhirnya ia menjawab.

“Boleh aku ikut menemani masa menyendiri itu?”

Seketika, ketegangan di dada Zhavira mencair. Di satu sisi, ia ingin menyuruh pria itu kembali. Tapi melihat Makes yang datang dengan cara seperti ini — di kampung, dengan mobil penuh debu, dan wajah tanpa polesan — membuatnya goyah.

Ia mengangguk perlahan. “Tapi kamu harus siap berjalan kaki. Jalan ke rumahku nggak bisa dilalui mobil mewahmu itu.”

Senyum tipis akhirnya muncul di wajah Makes. “Aku bisa copot sepatu kalau perlu.”

 **

Malam itu, angin semilir berhembus lembut dari sela-sela jendela rumah kayu sederhana milik keluarga Zhavira. Aroma kopi panas dan pisang goreng yang baru diangkat dari penggorengan memenuhi udara, menambah kehangatan di antara mereka yang duduk di beranda.

“Silakan dicoba, Nak Makes,” ucap Ibu Zhavira dengan senyum ramah sambil menyodorkan piring kecil berisi pisang goreng.

“Terima kasih, Tante,” sahut Makes dengan sopan, walau matanya masih sesekali mencuri pandang ke arah Zhavira yang duduk di samping ayahnya, mengenakan sweater tebal warna krem dan celana kain longgar, terlihat jauh lebih santai dari biasanya.

Zhavira hanya mencuri pandang sekali ke arah Makes, lalu kembali menatap kosong ke arah sawah yang gelap. Masih ada getir yang ia simpan, meski hari itu begitu tenang.

“Makes ini kerja di mana, Nak?” tanya Ayah Zhavira sambil menyeruput kopi.

“Saya pemilik perusahaan tempat Zhavira bekerja, Om,” jawab Makes, masih dengan sopan dan tenang.

“Oh... pantas, kelihatan orangnya serius,” gumam sang ayah.

Zhavira menoleh dengan tatapan malas, “Serius nyusul orang sampai kampung, maksudnya?”

Makes tersenyum tipis, tak membalas. Ia malah mengulurkan cangkir kopinya ke arah Zhavira. “Cicipi punyaku, lebih manis dari yang kamu buat.”

Ayah dan Ibu Zhavira tertawa kecil melihat tingkah mereka.

Zhavira mendesah pelan, menyeruput kopinya sendiri. “Kamu ngapain sih nyusul ke sini?”

“Karena aku tahu kamu butuh aku. Meski kamu belum mau ngaku,” jawab Makes pelan, matanya menatap tajam ke arah Zhavira.

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Zhavira menunduk. Bukan karena kalah. tapi karena takut orang tuanya tahu bahwa, hati yang ia coba kunci rapat—perlahan goyah karena perhatian Makes.

**

Keesokan paginya, setelah sarapan ketupat sayur buatan ibu Zhavira, mereka berjalan menyusuri pematang sawah. Makes tampak canggung dengan sandal jepit yang ia pinjam dari Ayah Zhavira, sementara Zhavira justru tertawa melihat ekspresi wajah pria itu saat terkena lumpur.

“Ini pertama kalinya kamu injak sawah?” goda Zhavira sambil membawa topi caping di tangannya.

“Kalau lumpur di parkiran basement, aku sering. Tapi ini, baru,” jawabnya sambil hati-hati melangkah.

Mereka tiba di kebun sayuran milik Pak Andra, tetangga lama Zhavira. Ada deretan sawi, kangkung, tomat, dan cabai yang tumbuh rapi. Seorang ibu tua menyambut mereka sambil membawa keranjang.

“Zhavira! Wah, ini pacar kamu ya?” serunya ceria.

Zhavira tersedak napasnya. “Bukan, Bu Rini! Ini, bos aku!”

Bu Rini tertawa renyah. “Yaelah, bos juga manusia. Kalau rajin ke sawah, cocok tuh jadi menantu petani.”

Wajah Zhavira langsung merah padam.

Sementara Makes — bukannya malu — justru ikut tersenyum dan meraih keranjang kosong. “Kalau harus buktikan diri layak jadi bagian dari kampung ini, saya siap, Bu.”

Zhavira melotot kecil ke arahnya, tapi tak bisa menyembunyikan senyum geli di sudut bibirnya.

 **

Sepanjang hari, mereka membantu memetik sayuran, membawa keranjang, dan bahkan makan siang dengan alas daun pisang bersama warga. Makes tampak benar-benar menyesuaikan diri — meski bajunya penuh tanah dan rambutnya berantakan.

Menjelang sore, mereka duduk di tepi pematang, menatap matahari perlahan turun.

“Kenapa kamu benar-benar datang ke sini, Makes?” tanya Zhavira akhirnya, lirih.

“Karena kamu buat aku sadar, aku nggak bisa terus mengatur semuanya, termasuk perasaanku sendiri,” jawab Makes pelan. “Dan mungkin, aku butuh belajar hidup sesederhana ini. Supaya aku bisa ngerti kamu, tanpa menekanmu.”

Zhavira memejamkan mata sejenak.

Lalu ia tersenyum, tulus.

Di tengah sawah dan suara jangkrik yang kembali terdengar, mereka duduk dalam diam yang damai — bukan karena tak ada yang ingin dikatakan, tapi karena untuk pertama kalinya, hati mereka bicara lebih jujur daripada mulut mereka.

**

Langit malam di kampung itu tampak begitu bersih, bertabur bintang gemintang yang menggantung manis di atas hamparan sawah. Angin berembus lembut membawa wangi tanah dan rumput basah, menciptakan suasana yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk kota.

Makes dan Zhavira berjalan beriringan di jalan setapak di tepi sawah. Cahaya kuning dari lampu di rumah-rumah penduduk menyala redup di kejauhan, seperti lentera yang menghangatkan malam.

Zhavira menyilangkan tangan di dada, menatap ke depan. “Kamu belum jawab, kenapa masih di sini. Bukannya sudah cukup main petak umpet dengan pekerjaan selama dua hari?”

“Aku bisa kerja di mana saja. Yang nggak bisa aku dapat di mana saja itu kamu,” jawab Makes lembut, namun dalam.

Zhavira tertawa kecil, sinis, “Itu jawaban bos genit atau cowok kesepian?”

“Jawaban pria yang benar-benar jatuh cinta,” ucap Makes tegas, lalu menghentikan langkahnya.

Zhavira ikut berhenti. Ia menatap Makes dalam diam.

“Aku tahu kamu masih takut, masih ragu. Tapi sejak kamu datang dalam hidupku, aku nggak bisa lagi lihat siapa pun dengan cara yang sama. Kamu itu bukan cuma sekretarisku, atau perempuan keras kepala yang selalu ngambek kalau aku perhatian. Kamu itu, rumah yang selalu aku cari.”

Angin malam meniup rambut Zhavira yang tergerai. Ia menatap Makes, dan kali ini, tanpa kebencian atau ironi di balik sorot matanya.

“Aku nggak tahu dengan perasaanku Makes,” bisiknya pelan.

“Aku juga nggak tahu kenapa aku bisa jatuh cinta padamu Zha,” balas Makes sambil tersenyum lembut. “Tapi aku mau belajar. Mulai dari hal paling kecil... seperti jalan malam di sawah, atau cara bikin kopi yang kamu suka.”

Zhavira tertawa pelan, namun kali ini tulus. Ia menunduk, lalu mengangguk pelan.

“Oke... kita coba.”

Mata Makes membulat tak percaya. “Kita… pacaran?”

Zhavira mengangguk lagi, wajahnya memerah karena malu. “Tapi jangan panggil aku ‘sayang’ di kantor.”

Makes tertawa pelan. “Kalau di luar kantor boleh?”

Zhavira menatapnya tajam, lalu tersenyum. “Nanti aku pikirkan.”

Malam itu, di bawah langit penuh bintang dan suara jangkrik yang merdu, hubungan mereka akhirnya dimulai—bukan sebagai atasan dan bawahan, tapi dua insan yang memilih saling percaya, meski dengan langkah pelan.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!