Istri Kedua Dokter Pram

"Mas Pram, maaf kalau Mas harus menikahi Laras karena para orang tua," ucap Laras tanpa menoleh pada sang lawan bicara.

dr. Pram menghela napas, "bukan karena mereka. Saya yang meminta kamu pada Papa Lukman. Saya yang harus meminta maaf karena membawa kamu menjadi istri saya ...."

"Kenapa?"

"Permintaan terakhir Naina ...."

"Aku mengerti."

Lalu keduanya kembali saling diam. Saat Laras hendak menoleh ke dr. Pram ternyata pria itu juga menoleh ke arahnya sehingga kini keduanya berada dalam jarak yang cukup dekat. Laras menahan napasnya dengan debar yang memburu. Netra Dokter Pram amat memikat dan harus Laras akui pria ini memang mempunyai daya tarik tersendiri dengan wajah tampan dan kulit putihnya.

"Ma--Mas!"

Laras berucap terbata. Entah apa yang membuat keduanya hanyut dalam kondisi dan suasana magis itu, hingga keduanya saling mendekatkan wajah, dan bibir dingin Laras merasakan hangat dari sentuhan bibir milik dr. Pram.

Laras memejamkan mata untuk sekarang biarkan dia melupakan apa yang terjadi dan menikmati apa yang sekarang mereka lakukan. Keduanya saling mencecap rasa dari bibir masing-masing.

Laras menyentuh lengan dr. Pram yang memegangi wajahnya. Keduanya saling melepaskan diri ketika tersadar dan deru napas yang saling memburu. Laras menjauhkan diri, mendekap erat selimut yang ada di badannya. Hening kembali tercipta.

"Itu--"

"Ma--Mas--"

Keduanya hampir bersamaan membuka suara. dr. Pram mendengus, mengulum bibirnya yang basah bekas ciuman mereka. Laras tak kalah salah tingkah, ini ciuman pertamanya dan mereka melakukannya di balkon. Bagaimana jika ada yang melihat aksi mereka tadi. Duh, sudah terlambat buat menyadarinya.

"Saya minta maaf!" ucap dr. Pram datar.

Laras hendak masuk kembali ke kamar dan lagi-lagi mereka bertabrakan karena dr. Pram juga akan melangkah. Laras hampir terjungkal karena tubuhnya kalah dengan tubuh besar dr. Pram. Pinggangnya ditarik oleh lengan kekar itu dan Laras menahan napas ketika tak ada jarak di antara tubuh mereka. Kedua tangan Laras berada di antara tubuh mereka, menahan dada sang suami.

"Masuk, di luar dingin!" ucap dr. Pram dingin, melepaskan tangannya dari pinggang Laras.

Laras menatap punggung pria itu yang sudah masuk ke kamar. Merapatkan selimut di tubuhnya, Laras ikut masuk ke kamar. Dia melihat dr. Pram yang telah duduk bersandar di ranjang dengan buku bacaan pria itu.

Meletakkan selimut di ujung ranjang, Laras masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi sebelum tidur.

"Apa kami harus melakukan itu?" gumam Laras menatap dirinya di pantulan cermin.

Tidak ingin berlama-lama di kamar mandi, Laras keluar dengan wajah lebih segar. Dia masih menemukan sang suami dalam posisi dan aktivitas yang tadi.

"Tidurlah! Tidak akan ada apa-apa malam ini!" ucap dr. Pram dingin.

Laras menghela napas, sedikit lega. Meski begitu dia juga merasa tertolak sebagai seorang istri. Namun, dia juga harus paham bahwa pernikahan mereka ini terjadi karena keterpaksaan di antara mereka.

Laras membaringkan diri membelakangi dr. Pram. Menatap lampu tidur di nakas dengan menerawang. Pikirannya berkelana pada hal ke depan. Hal apa yang akan ia lakukan sebagai seorang istri dr. Pram. Bisakah dia menjalani pernikahan ini?

"Tidurlah, sudah larut!" ucap dr. Pram tiba-tiba.

Laras menoleh, dan membalik tubuh menghadap dr. Pram. Dia mengamati pria itu dalam diam, memperhatikan juga mengagumi ketampanan wajah sang suami.

"Ganteng banget sih!" gumamnya tanpa sadar.

...Bersambung.......