Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
2
Pagi hari Kania sudah bersiap dengan baju olahraga nya. Memakai crop top dan legging. Rambut nya di kuncir kuda, memakai lipbalm, dan siap untuk berlari.
Begitu keluar rumah Kania diserbu udara dingin pedesaan. Kania berlari kecil menyusuri jalanan desa. Dilihatnya sudah banyak warga yang sudah melanjutkan aktivitas nya, ada anak yang akan ke sekolah, para pria bekerja dan para Ibu mengerbungi warung sayur. Sepanjang jalan banyak mata para warga yang menatapnya ingin tahu. Tiap ada yang melihatnya, Kania hanya membalas dengan tersenyum.
Kania tampak lelah, dia menghentikan lari nya. Ternyata dia tiba di depan rumah kopi yang pas awal dirinya tiba di desa ini sudah menarik perhatian nya. Kania melihat tidak ada papan yang menyatakan tempat ini masih tutup atau sudah buka. Dengan langkah perlahan Kania memasuki area depan “rumah kopi’’ ini.
Dia melihat sudah ada Pria yang sedang menggiling kopi dengan manual. Pria tersebut menggiling kopi dengan gerakan yang lambat, stabil, dan berirama. Suara kres kres kres dari gilingan manual adalah salah satu suara yang paling tenang yang pernah di dengar Kania. Suara ini sangat berbeda dengan ketikan di keyboard nya atau bunyi notifikasi ponsel yang selalu membuatnya stress.
Tanpa disadari Kania perlahan mendekat. Duduk di depan sang pembuat kopi yang terlihat fokus sampai tidak menyadari ada yang datang mendekat.
Kania melihat setelah pria itu selesai menggiling kopi nya, dia menggunakan air untuk merebus air yang akan diseduh untuk kopi nya. Terlihat dia menunggu sampai titik suhu yang di inginkan, seperti sudah tau kapan waktu yang tepat untuk mematikan api nya.
Setelah air matang, pria itu tidak langsung menuangkan air tersebut ke bubuk kopi nya. Melainkan menuang air tersebut ke saringan kain sederhana. Ia menuangkan air panas ke bubuk kopi secara perlahan, melingkar, dan bertahap. Ia tidak terburu buru. Seluruh perhatian nya terpusat bagaimana air mengekstrak sari pati kopi, menetes perlahan, dan menghasilkan aroma yang kaya. Kopi yang dihasilkan ada kopi hitam tanpa tambahan gula atau susu, menonjolkan rasa khas kopi Ranu Asri. Kopi disajikan dalam cangkir keramik sederhana, tampak raut puas di wajah pria itu.
Pria itu tersentak kaget, mungkin baru menyadari kehadiran nya. Kania tersenyum simpul.
‘’Hai, kupikir sudah buka.’’ Ucapnya canggung.
‘’Hmm.. Kopi?’’ Tanya nya,
Kania menggeleng. Dia sudah muak minum kopi tiap hari nya. Dulu, dia membutuhkan kopi untuk membuat mata nya tetap terjaga. Sekarang, dia tidak ingin meminum kopi lagi.
‘’Teh mungkin’’ ujar Kania.
Pria itu mengangguk. Lalu kembali fokus seperti tadi, tapi kali ini untuk membuatkan teh untuk Kania. Setelah menuangkan ke dalam cangkir keramik, dia membawa teh ke meja Kania.
‘’Thanks’’
Kania lalu menyeruput teh tersebut dengan perlahan. Pria itu masih berdiri di depan nya. Kania menatapnya bingung, dia dengan tatapan tajam nya menatap Kania, seakan ingin memarahi nya.
‘’Duduk?’’ Tawar Kania sambil menunjuk kursi depan nya yang kosong.
Pria itu menghela napas nya, dan juga ikut duduk di kursi depan nya. Dalam hati Kania, pria ini sopan sekali mesti ditawari duduk dulu baru dia mau duduk. Apa warga di desa ini masih menganut kesopanan yang kental ya. Berarti nanti Kania tidak boleh membawa kebiasaan nya tinggal di kota untuk dia adaptasikan hidup di desa ini.
‘’Kamu anak nya Bapak Harris yang sementara akan tinggal disini’’ tanya nya.
‘’Belum bisa dipastikan sementara nya itu berapa lama sih, tapi ya, aku Kania, anaknya Bapak Harris yang ‘’itu’’.
‘’Lain kali berpakaian yang sopan’’ tegur nya. Dia melihatku dengan wajah datar.
‘’Ini pakaian olahraga, aku tidak salah pakai kok’’
‘’Ini bukan di kota’’
Ahh, aku paham. Jadi ini dianggap berpakaian tidak sopan kalau disini. Kania mengangguk mengerti.
‘’Tapi aku hanya bawa pakaian seperti ini aja. Gapapa kan kalau aku pake, toh ga ada yang salah dengan aku pakai kaya gini.’’
‘’Beli yang baru’’ sahutnya.
Aku menatapnya. Ternyata pria didepan nya ini mempunyai mata yang tajam, penuh selidik, berwarna cokelat pekat. Hidung nya mancung dan proporsional. Mempunyai garis bibir tipis dan sedikit melengkung ke atas, potongan rambut pendek yang praktis. Secara garis besar tampilan pria ini menurutnya memancarkan kedamaian, kejujuran dan bisa diandalkan.
Untuk ukuran pemuda desa, pria ini bisa dikatakan sangat tampan, tinggi, dan berbadan bagus. Yang bisa Kania tebak pasti pria ini paling tampan yang tinggal di desa ini. Mungkin idola kaum hawa. Kania melihat di jari tangan nya belum tersemat cincin, jadi bisa dipastikan pria ini masih sendiri atau sudah punya kekasih. Sepertinya sih kekasih, karena tidak mungkin pria seperti ini belum ada pasangan.
‘’Kamu jual’’ akhirnya aku bersuara setelah puas mengamati pria didepan nya ini.
‘’Dini yang mengantarkan’’ jawabnya singkat.
‘’Siapa itu Dini.? Bisa aku cari Dini di mana? Ada nomor ponselnya’’ tanyaku.
‘’Yang bersih rumah-mu, Dini’’
Ohh, jadi suka membantu merawat rumah kakek namanya Dini. Tapi kenapa pria ini sangat tidak sopan menyebut Dini tanpa embel embel Bu di depan nama nya. Karna menurut Kania pasti yang membantu merawat rumah peninggalan kakek nya sudah berusia lanjut, kan.
‘’Oke.’’ Aku kembali menyeruput teh nya. Membiarkan teh nya sisa sedikit. ‘’Harganya berapa, Mas’’ tanyaku.
‘’Gratis’’ lalu dia bangun dari duduknya dan kembali ke stan awal saat aku melihatnya pertama kali.
‘’Makasih mas. Ini tiap hari buka jam berapa, kayaknya besok aku mampir lagi kesini abis lari pagi’’
‘’Jam 6’’
Huh..irit bicara sekali laki laki satu ini. Pasti lawan bicara nya sangat frustasi menghadapi kekakuan pria ini. Untung ganteng, jadi bisa sedikit tertolong sih dengan kekurangan nya yang satu itu.
‘’Anak gadis siapa ini, sangat cantiikk’’ tetiba suara lembut wanita terdengar dari arah samping. Kania melihat wanita yang seumuran Ibu nya memakai pakaian terusan batik, rambut diikat rapi, membawa senampan penuh piring makanan. Pria itu dengan sigap mengambil alih nampan tersebut. Menaruhnya ke dalam etalase yang tersedia.
Kania mencium tangan wanita paruh baya ini dengan sopan.
‘’Kania, Buk. Kemarin baru datang dari kota.’’ Jelasnya.
‘’Oalah anaknya Harris. Ya ampun, sekarang sudah cantik sekali.’’ Ibu ini langsung memeluk Kania dengan hangat. ‘’Terakhir masih sekecil ini’’ sambil menunjuk pinggang nya. “Sekarang sudah tinggi, cantik pula. Panggil Ibu Wati, saya ini Ibu nya Bara’’ sambil menunjuk pria pembuat kopi itu.
Kania hanya mengangguk paham.
‘’Pasti belum pada kenal, kan?’’ Aku tersenyum kaku. ‘’Ya, pasti. Bara ini irit bicara, jarang senyum, keliatan galak. Maklumi aja ya, Nak.’’ Jelas Ibu Wati.
‘’Emang gitu ya, Bu’’ tanyaku balik.
‘’Loh iya, Ibu udah panjang lebar cerita jawaban nya template, ya, enggak, hmm..’’ ujar Ibu Wati.
Aku tertawa pelan, begitu Bara menatapku tajam, tawaku langsung usai. Ih bener bener serem, salut deh sama kekasih pria ini. Dan kesian sekali nasib nya punya kekasih yang kaku gitu.
‘’Ehem, Bu, saya pamit dulu ya. Besok saya mampir lagi boleh kan, Bu’’
‘’Tentu boleh dong, besok Ibu tunggu ya, nanti Ibu buatkan camilan untuk teman minum teh. Besok kita cerita cerita seru ya’’ dengan semangat Ibu Wati sudah menyusun rencana kegiatan esok hari.
Kania melangkah pelan,menuju rumah nya seusai keluar dari kedai kopi yang bernama ‘’Senja Ranu’’.