Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Pagi itu, Azmi memutuskan untuk kembali ke kompleks perumahan Aryan. Bukan untuk menyerang, melainkan untuk mengamati dan menyusun rencananya. Setelah pertemuan mengerikan dengan sosok iblis penjaga rumah itu di malam sebelumnya, ia sadar bahwa ia tidak bisa bertindak ceroboh. Ia perlu informasi dan bukti, dan Azmi yakin, salah satu orang di rumah itu, pasti bisa memberikan informasi untuknya.
Ia berjalan santai di trotoar, berpura-pura menikmati suasana pagi. Begitu tiba di dekat gerbang rumah mewah itu, Azmi merasakan udara yang sedikit lebih ringan daripada udara saat malam hari, tetapi aura gelap dari rumah itu tetap terasa menusuk.
Tepat saat Azmi melintas, pintu gerbang utama rumah Aryan terbuka. Keluarlah seorang wanita paruh baya dengan pakaian rapi. Itu adalah Bu Ratih, ibu Aryan, yang sedang menunggu taksi online.
Azmi, dengan kesantunannya sebagai lulusan pesantren, melihat ini sebagai kesempatan. Ia mendekat dan menyapa dengan ramah.
“Assalamualaikum, Bu,” sapa Azmi sambil tersenyum sopan.
Bu Ratih terkejut, menoleh dan membalas senyum Azmi dengan sedikit bingung. “Waalaikumussalam. Maaf, Nak, dengan siapa ini, ya?”
“Nama saya Azmi, Bu. Saya baru kembali dari Jawa Timur, setelah belajar di pesantren. Kebetulan saya tinggal tidak jauh dari sini,” jelas Azmi, sambil menunjuk ke arah ujung kompleks. “Saya sering lewat sini dan melihat rumah Ibu yang besar dan indah ini.”
Bu Ratih menghela napas, tersentuh oleh kesopanan Azmi. Ia merasa ada kedamaian dari cara pemuda itu berbicara, sangat berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.
“Oh, Nak Azmi. Salam kenal. Saya Ratih, ibunya Aryan, pemilik rumah ini,” jawab Bu Ratih. Hatinya yang sedang gundah sedikit terhibur. “Iya, Nak. Terima kasih sudah memuji. Tapi namanya juga rumah, ya, biasa saja.”
Azmi mengangguk. Ia memilih mengobrol seperlunya, dan tidak menyinggung soal keanehan apa pun.
“Semoga Ibu dan keluarga selalu dalam lindungan Allah, ya, Bu. Mas Aryan pasti sibuk sekali, ya, Bu? Mengurus bisnis bakso yang begitu besar,” Azmi memancing sedikit informasi tentang kegiatan Aryan sehari-hari.
Bu Ratih tersenyum kecut, senyum yang tidak mencapai matanya. “Begitulah, Nak. Anak saya memang sangat sibuk. Pekerjaannya tidak ada habisnya. Kadang Ibu sendiri jarang melihatnya beristirahat.”
“Benar, Bu. Rezeki memang harus dijemput. Tetapi kesehatan dan ibadah juga tidak boleh dilupakan. Apalagi sebagai pengusaha sukses, pasti godaannya besar, ya, Bu,” kata Azmi, menyisipkan kalimat halus yang bersifat spiritual, ingin melihat reaksi Bu Ratih.
Mendengar kata godaan, mata Bu Ratih seketika berubah murung. Ia teringat akan kamar ritual Aryan, suara aneh yang sering ia dengar, dan semua kecurigaannya. Bu Ratih menatap Azmi lama, seolah sedang menilai apakah pemuda ini bisa dipercaya. Namun, ia memutuskan untuk menahan diri. Ia tidak bisa menceritakan kecurigaannya kepada orang asing di luar rumahnya, yang tidak ia kenal.
“Iya, Nak Azmi. Godaannya memang besar,” jawab Bu Ratih singkat, mengakhiri perbincangan sensitif itu. “Nak Azmi, maaf ya, taksi Ibu sudah datang. Senang sekali sudah bertemu anak soleh seperti kamu. Kapan-kapan mampir ke rumah, ya.”
“Tentu, Bu. Insya Allah kapan-kapan mampir. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Bu Ratih pun masuk ke dalam mobil taksi yang ia pesan. Azmi berdiri sejenak di depan gerbang, untuk mengamati. Ia tahu, Bu Ratih menyimpan rahasia besar, dan tatapan mata wanita itu penuh dengan beban.
‘Ibu Ratih curiga pada putranya sendiri. Dia adalah kunci untuk masuk ke dalam rumah itu dan membongkar rahasia Aryan,’ batin Azmi. Ia kini memiliki titik kontak, dan langkah selanjutnya adalah memenangkan kepercayaan Bu Ratih.
Sementara di rumah Broto. Jarwo bergerak cepat, setelah diperintahkan oleh Broto untuk mencari orang pintar, untuk melawan Aryan. Selama tiga hari, ia tidak peduli pada urusan bisnis Bakso milik Broto, yang mulai lesu, dan omzet yang menurun. Prioritasnya hanya satu, menemukan orang yang mampu melawan Aryan dengan kekuatan gaib.
Jarwo mencari ke berbagai tempat, dari pelosok desa hingga sudut-sudut kota yang tersembunyi. Ia bertemu dengan banyak dukun dan orang pintar, tetapi sebagian besar hanya meminta uang dan sesajen, tanpa menjanjikan kemampuan yang benar-benar bisa menghancurkan usaha Aryan.
Hingga pada sore hari di hari ketiga, Jarwo bertemu dengan sebuah padepokan sederhana yang terletak di kaki gunung, jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Padepokan itu dipimpin oleh seorang kiai sepuh yang dikenal sebagai Kiai Syarif.
Kiai Syarif bukanlah seorang yang mencari kekayaan. Ia menerima tamu di pendopo yang sederhana, dengan pakaian putih yang bersih dan sorot mata yang teduh, tetapi memancarkan wibawa spiritual yang luar biasa.
Jarwo menceritakan semuanya, dari awal persaingan bisnis Broto dengan Aryan, kekalahan Broto yang memalukan, hingga tewasnya empat anak buah mereka secara tragis di tangan orang suruhan Aryan. Jarwo tidak menyebut Broto ingin menghancurkan saingannya, melainkan hanya ingin menegakkan keadilan atas kematian rekan-rekannya dan menghentikan kejahatan.
Kiai Syarif mendengarkan dengan sabar, sambil sesekali mengangguk.
“Jadi, kamu yakin bahwa lawanmu ini menggunakan perjanjian gaib untuk mendapatkan kekayaan dan kekuatan?” tanya Kiai Syarif setelah Jarwo selesai bercerita.
“Sangat yakin, Kiai,” jawab Jarwo. “Semua kejadiannya tidak masuk akal. Kami butuh bantuan Kiai untuk menghentikan kejahatan ini.”
Kiai Syarif mengambil napas dalam-dalam. “Penyelesaian masalah duniawi dengan melibatkan makhluk gaib, apalagi dari golongan yang sesat, akan selalu berakhir buruk. Jika memang benar ada perjanjian Iblis di sana, itu adalah urusan yang sangat berbahaya. Ini bukan sekadar pertarungan bisnis, Nak. Ini pertarungan melawan iblis.”
“Kami tahu, Kiai. Oleh karena itu, kami datang meminta bantuan Kiai, dengan harapan bisa mengalahkan dia,” desak Jarwo.
Kiai Syarif terdiam lama. Ia lalu menutup matanya sejenak, seolah sedang berkomunikasi dengan sesuatu yang tak kasat mata.
“Baiklah,” ujar Kiai Syarif akhirnya, membuka matanya yang teduh. “Saya tidak bisa menerima uang dari perbuatan melawan kedzaliman. Tapi saya bisa membantu untuk menegakkan kebenaran. Saya akan coba periksa orang ini, seberapa kuat pelindungnya, dan di mana sumber kekuatannya berada.”
“Terima kasih, Kiai! Terima kasih banyak!” Jarwo dengan wajah lega.
“Namun ada syaratnya,” potong Kiai Syarif. “Jika memang benar ia didukung oleh kekuatan yang menyimpang, niat kalian harus murni untuk menghentikan kedzaliman dan menyelamatkan jiwa yang terperangkap. Saya tidak ingin energi ini digunakan hanya untuk kepentingan persaingan bisnis. Kamu harus berjanji pada saya.”
Jarwo dengan cepat menjawab, “Saya berjanji, Kiai. Kami hanya ingin menghentikan dia agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan.”
Kiai Syarif tersenyum tipis. “Bagus. Sekarang, bawa saya ke tempat di mana kamu bisa melihat rumah orang itu dari kejauhan. Saya harus memeriksanya terlebih dulu, setelah itu, kita tentukan langkah selanjutnya.”
Jarwo segera menyanggupi. Ia tahu, Broto akan sangat senang dengan kabar ini. Akhirnya, mereka mendapatkan orang yang akan membantunya. Perang gaib antara Broto dan Aryan akan segera dimulai, dengan Kiai Syarif kini terlibat di dalamnya.