Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan sang Pencuri Hati
Udara di ruangan Dr. Sinta terasa membeku, menusuk paru-paru Raya hingga ia tak bisa bernapas. Ia tidak tahu apakah itu karena syok, atau karena kengerian yang baru saja merayap naik, mencekiknya perlahan. Langit. Anaknya. Darah daging Damar. Bukan darah dagingnya. Kata-kata itu berputar dalam otaknya, membentuk badai sempurna yang meluluhlantakkan setiap sel tubuhnya.
"Aku akan mengambilnya." Suara Damar itu, yang pernah begitu lembut dan penuh cinta, kini terdengar seperti lolongan serigala lapar di telinganya. Mencuri. Damar telah mencuri sesuatu darinya, sesuatu yang paling berharga, dan kini ia ingin mengambilnya lagi.
"Raya? Kau baik-baik saja?" Suara Dr. Sinta samar-samar menembus kabut kekacauan di kepala Raya. Wanita paruh baya itu berdiri di depannya, tangannya terulur seperti ingin menyentuh, namun ragu. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang dalam, seolah ia baru saja menyampaikan berita kematian. Dan dalam hati Raya, memang ada sesuatu yang mati. Kepercayaan. Keutuhan keluarganya.
Raya menggeleng, mencoba menepis bayangan Damar dari benaknya. "Tidak," bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. "Aku tidak baik-baik saja. Apa... apa maksudnya ini, Dokter Sinta? Bagaimana bisa Langit... bagaimana bisa dia anak Damar?"
Dr. Sinta menghela napas panjang, menunjuk kursi di depan mejanya. "Duduklah, Raya. Kau butuh menenangkan diri."
Raya menolak. Kakinya terasa seperti terpaku ke lantai, menolak untuk bergerak, menolak untuk menerima realitas ini. "Tidak! Aku tidak butuh tenang! Aku butuh penjelasan! Bagaimana ini bisa terjadi? Apa... apa yang kalian lakukan padaku? Apa yang Damar lakukan?" Nada suaranya meninggi, bergetar menahan ledakan emosi yang siap menerjang.
"Raya, tenanglah. Ini bukan... ini bukan salah siapa-siapa dalam hal kecurangan langsung, setidaknya bukan dari pihak klinik," Dr. Sinta mencoba menjelaskan, wajahnya tampak tidak nyaman. "Kami sudah melakukan investigasi internal setelah hasil tes DNA Langit keluar. Kami menemukan... ada kejanggalan dalam prosedur IVF-mu yang dulu."
"Kejanggalan? Kejanggalan apa?!" Raya mencengkeram lengan Dr. Sinta, matanya menyorotkan rasa putus asa bercampur amarah. "Aku hamil karena program IVF! Dengan sperma Arlan! Aku melihatnya! Aku tahu itu sperma Arlan!"
Dr. Sinta memejamkan mata sesaat. "Dulu, kau dan Damar sempat melakukan program IVF juga, sekitar dua tahun sebelum kau bertemu Arlan. Tapi kau memutuskan untuk menunda penanaman embrio karena masalah kalian, ingat?"
Kilasan memori itu menyeruak. Ya, Raya ingat. Mereka memang pernah mencoba IVF, menyimpan embrio mereka, berharap bisa menyelamatkan pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. Tapi akhirnya, semuanya runtuh. Ia menceraikan Damar, dan setelah itu, ia tak pernah lagi memikirkan embrio yang tersimpan itu.
"Ya... aku ingat," Raya berbisik, otaknya mulai menyatukan kepingan puzzle yang mengerikan. "Tapi itu... embrio kami. Embrio aku dan Damar. Itu tidak ada hubungannya dengan IVF-ku dengan Arlan."
"Itu... di sinilah letak kejanggalannya, Raya," Dr. Sinta berucap pelan, suaranya nyaris seperti desahan. "Ada kesalahan administrasi yang sangat fatal. Tabung penyimpanan embrio... entah bagaimana, tabung yang seharusnya berisi sperma Arlan untuk programmu, secara tidak sengaja tertukar dengan tabung embrio beku yang kau buat dengan Damar bertahun-tahun sebelumnya. Embrio itulah yang akhirnya ditanamkan ke rahimmu."
Dunia Raya terasa berhenti berputar. Tabung tertukar? Embrio Damar? Bukan sperma Arlan? Itu berarti... selama ini, ia mengandung anak dari Damar, bukan dari Arlan. Ia telah membesarkan, mencintai, dan menganggap Langit sebagai anak kandungnya bersama Arlan, padahal Langit adalah hasil dari benih mantan suaminya, yang ia benci setengah mati.
"Tidak... tidak mungkin..." Raya mundur selangkah, menabrak meja di belakangnya. Kakinya lemas, tapi ia tidak mau jatuh. Ia tidak mau roboh di depan kebenaran yang begitu menyakitkan ini. "Bagaimana bisa?! Ini rumah sakit terkemuka! Bagaimana bisa ada kesalahan sekonyol itu?!"
Dr. Sinta menundukkan kepalanya, ekspresinya dipenuhi rasa bersalah. "Kami sedang menginvestigasi lebih lanjut. Tapi dari hasil penelusuran kami, sepertinya... ada campur tangan dari pihak luar yang menyebabkan 'kesalahan' itu terjadi."
"Pihak luar?" Raya merasakan darahnya mendidih. "Maksudmu... Damar?"
Dr. Sinta mengangkat wajahnya, tatapan matanya menyimpan beban yang tak terucap. "Kami menemukan bahwa Damar melakukan kunjungan ke klinik ini beberapa kali, mendekati tanggal prosedur IVF-mu dengan Arlan. Ia bertanya tentang embrio beku miliknya... dan juga secara mencurigakan menanyakan jadwal prosedur IVF pasien tertentu."
Nama Raya tidak disebutkan, tapi firasat buruk itu mencengkeramnya erat. Damar. Pria licik itu. Ia sudah merencanakannya. Sejak awal. Sejak ia tahu Raya akan mencoba lagi untuk memiliki anak.
"Dia yang melakukannya," bisik Raya, suaranya dipenuhi kebencian yang dalam. "Dia menukar embrio itu. Dia merencanakan semua ini."
"Kami tidak bisa mengonfirmasi itu secara langsung, Raya," Dr. Sinta buru-buru menyahut, "Tapi indikasi ke arah sana memang kuat. Catatan log keamanan menunjukkan Damar memiliki akses ke area penyimpanan sesaat sebelum insiden. Kami menduga ia memanipulasi label atau bahkan secara fisik menukar tabung."
Manipulasi. Penukaran. Sebuah skema yang begitu keji, begitu culas, sehingga membuat Raya ingin berteriak sekuat tenaga. Damar tidak hanya mencuri masa lalunya, tapi juga masa depannya. Dia mencuri kesempatan Raya untuk memiliki anak kandung dengan Arlan. Dia mencuri kebenaran tentang Langit.
Raya memegangi kepalanya yang terasa berdenyut-denyut. "Lalu... lalu yang ia katakan tadi... 'Aku akan mengambilnya'? Apa maksudnya? Dia tahu Langit anaknya? Sudah berapa lama dia tahu?"
"Kami menduga Damar telah mengetahui ini sejak lama, atau setidaknya sudah mencurigai. Dia sudah menghubungi kami beberapa kali, menanyakan tentang... hak asuh," Dr. Sinta mengakui dengan enggan. "Ia punya hasil tes DNA-nya sendiri. Ia bahkan sempat mengancam akan melaporkan klinik kami jika kami tidak bekerja sama untuk memberinya akses pada Langit."
Raya merasa mual. Jadi selama ini, Damar menonton dari jauh, menunggu saat yang tepat untuk menerkam. Menunggu sampai Langit sakit parah, menunggu sampai tak ada pilihan lain selain tes DNA yang akan mengungkap kebenaran yang mengerikan ini. Monster. Ia benar-benar monster.
"Aku tidak akan membiarkannya," Raya menyatakan, suaranya kini penuh tekad yang keras. "Langit adalah anakku. Aku yang mengandungnya, aku yang melahirkannya, aku yang merawatnya! Dia tidak berhak!"
"Secara biologis, Damar memang ayah Langit, Raya," Dr. Sinta mengingatkan dengan lembut, seolah tak ingin melukai, namun tetap harus menyampaikan fakta yang pahit. "Dan dia punya bukti kuat tentang bagaimana embrio itu ditanamkan. Ini akan menjadi pertarungan hukum yang sangat, sangat berat."
Pertarungan hukum. Sebuah kata yang menancap di hati Raya, memutar rasa takut. Dia harus melawan Damar, orang yang sudah begitu kejam mencurangi hidupnya. Dan yang terburuk, dia harus melakukannya sambil menyembunyikan kebenaran ini dari Arlan, suaminya yang mencintai Langit seperti anaknya sendiri. Bagaimana ia akan menjelaskan semua ini pada Arlan? Bagaimana Arlan akan bereaksi? Cinta Arlan pada Langit begitu tulus, begitu besar. Jika ia tahu bahwa Langit bukan anak biologisnya, bahwa Raya telah 'melahirkan' anak dari mantan suaminya... akankah pernikahan mereka selamat?
Raya memejamkan mata, bayangan wajah Arlan yang terluka muncul di benaknya. Rasa bersalah itu menusuknya lebih dalam daripada pisau tajam. Ia telah berbohong, secara tidak sengaja memang, tapi kebohongan itu kini begitu besar, mengancam untuk menelan segalanya.
"Aku... aku harus pulang," Raya berkata, mengambil tasnya. Ia harus melihat Langit. Memeluknya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang bisa mengambil putranya darinya.
"Raya, kau yakin bisa mengemudi?" Dr. Sinta bertanya, khawatir.
"Aku harus," jawab Raya, tanpa menoleh. Kakinya terasa berat, seolah setiap langkahnya menyeret beban seluruh dunia.
Perjalanan pulang terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Setiap meter terasa seperti siksaan. Otaknya terus bekerja, memutar ulang percakapan dengan Dr. Sinta, membayangkan wajah Damar yang licik, dan kemudian wajah Arlan yang polos, penuh cinta pada Langit.
Ketika ia tiba di rumah, jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Langit sudah tertidur di kamarnya, lelah setelah seharian bermain dan berobat jalan. Raya masuk ke kamar Langit, menatap wajah malaikat kecilnya. Tangan mungilnya memegang erat boneka beruang. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah sedang memimpikan sesuatu yang indah.
Raya berlutut di sisi ranjang, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir deras. Ia membelai lembut rambut Langit yang halus. "Anakku... anakku," bisiknya, suaranya pecah. "Tidak ada yang bisa mengambilmu dariku, Sayang. Tidak akan pernah."
Tangannya gemetar saat ia menyentuh pipi Langit. Setiap sentuhan, setiap detail wajah itu, adalah miliknya. Ia tidak peduli dari mana benih itu berasal. Langit adalah buah hatinya, hasil dari cinta yang ia curahkan setiap hari.
Ia merasakan kehangatan pelukan dari belakang. Arlan.
"Raya? Kamu sudah pulang? Kenapa tidak bersuara?" Arlan berbisik, memeluknya dari belakang. "Kau menangis? Ada apa, Sayang?"
Raya buru-buru menyeka air matanya, berusaha agar suaranya tidak terlalu serak. "Tidak... tidak apa-apa, Mas. Aku hanya... hanya terharu melihat Langit tidur nyenyak. Aku khawatir sekali dengannya akhir-akhir ini." Ia mencoba tersenyum, tapi rasanya seperti otot wajahnya kaku dan mati rasa.
Arlan membalikkan tubuh Raya perlahan, menatap matanya dalam-dalam. "Raya, ada apa? Aku tahu kau memikirkan sesuatu yang lebih dari itu. Matamu... matamu seperti baru saja melihat hantu."
Raya menunduk, tidak sanggup menatap mata Arlan yang penuh kekhawatiran itu. "Tidak, Mas... sungguh. Aku hanya terlalu lelah."
"Raya," Arlan memegang dagunya, mengangkat wajahnya hingga mata mereka bertemu. Sorot mata Arlan begitu tajam, menembus pertahanannya. "Kau berbohong. Aku mengenalmu. Sejak tadi pagi kau terlihat gelisah, dan sekarang kau pulang dengan mata sembap seperti ini. Apa yang terjadi? Apa kata Dokter Sinta tentang Langit? Apa ada yang buruk?"
Jantung Raya berdebar kencang. Ini dia. Momen ini. Bagaimana ia bisa mengatakan pada Arlan bahwa putra yang mereka cintai bukan anak biologisnya? Bahwa ia telah mengandung anak dari mantan suaminya sendiri, bahkan tanpa menyadarinya? Kebenaran itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak di antara mereka.
"Mas... aku..." Raya tidak bisa melanjutkan. Tenggorokannya tercekat.
Arlan menghela napas panjang, tatapannya menyiratkan campuran kekhawatiran dan rasa sakit. "Raya, kau tahu kau bisa menceritakan apa pun padaku. Apa pun itu. Aku suamumu."
Raya menggelengkan kepala, air mata kembali mengalir. Bukan karena kesedihan semata, tapi karena rasa bersalah yang menggerogoti. Ia ingin jujur, tapi rasa takut kehilangan Arlan, kehilangan segalanya, terlalu besar.
Arlan mendekapnya erat, membenamkan wajah Raya di dadanya. "Katakan padaku, Sayang. Aku bisa merasakan kalau ada yang tidak beres. Ini... tentang masa lalumu? Damar?"
Tubuh Raya menegang dalam pelukan Arlan. Damar. Nama itu. Arlan menyebut nama itu. Apakah dia sudah tahu? Apakah dia sudah mulai curiga?
"Kenapa... kenapa kau bertanya begitu, Mas?" Raya mendongak, menatap Arlan dengan mata penuh ketakutan.
Arlan melepaskan pelukannya, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sedikit keraguan di sana, tapi juga ketegasan. "Aku... aku tidak sengaja melihat riwayat panggilan masuk di ponselmu tadi pagi, Raya. Ada nama Damar. Dan kau panik ketika aku bertanya. Ada apa sebenarnya antara kau dan Damar? Apa Damar ada hubungannya dengan hasil tes DNA Langit? Atau... apa Damar pernah menghubungimu dan mengancam sesuatu?"
Dinding pertahanan Raya runtuh sepenuhnya. Arlan sudah melihatnya. Arlan sudah mencurigai. Ia tahu Damar sudah mencoba menghubunginya. Jaringan kebohongan yang ia coba bangun kini ambruk.
"Tidak, Mas... bukan begitu..." Raya mencoba menyangkal, tapi suaranya terlalu lemah, terlalu rapuh.
Arlan menggenggam tangannya, dingin dan gemetar. "Tatapanmu tidak bisa berbohong, Raya. Ada sesuatu yang besar. Apa yang disembunyikan Dokter Sinta dariku, dan apa yang disembunyikan Damar darimu? Ini pasti berhubungan dengan Langit, kan? Aku tahu ada sesuatu yang aneh dengan hasil tes itu. Aku tahu kau tidak mau membicarakannya. Katakan padaku, Raya. Demi kebaikan kita semua... demi Langit."
Kata-kata Arlan menusuk hingga ke ulu hati. Demi Langit. Ya, demi Langit, ia harus melindungi Arlan dari kebenaran yang akan menghancurkan segalanya. Tapi juga, demi Langit, ia harus menghadapi kebenaran itu.
Raya memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir. Ia terperangkap. Terjebak di antara suaminya yang penuh cinta dan mantan suaminya yang licik, di antara kebenaran yang menyakitkan dan kebohongan yang mematikan.
"Mas... aku... aku tidak tahu bagaimana mengatakannya..." Raya memulai, suaranya nyaris tak terdengar. Ia merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, siap melompat ke kehancuran.
Arlan menatapnya dengan mata menyipit, bibirnya menipis. Ketegangan di antara mereka begitu pekat, seolah bisa dipotong dengan pisau. "Katakan padaku, Raya. Sekarang. Apa yang kau sembunyikan tentang Langit? Apa hubungannya dengan Damar?"
Raya membuka matanya, menatap Arlan, suaminya, pria yang selama ini menjadi pelabuhan hatinya. Pria yang akan terluka paling parah oleh kebenaran ini. Ia menarik napas dalam, siap untuk melompat.
"Langit... Langit itu..."