Setelah gagal berjodoh dengan Ustaz Ilham, tanpa sengaja Zahra bertemu dengan pria yang bernama Rendra. Dia menolong Rendra saat dikejar seseorang, bahkan memberi tumpangan pada Rendra yang mengaku tak mempunyai tempat tinggal.
Rendra yang melihat ketulusan hati Zahra, merasa jatuh cinta. Meski dia selalu merasa kotor dan hina saat berada di dekat Zahra yang merupakan putri pertama pemilik dari pondok pesantren Al-Jannah. Karena sebenarnya Rendra adalah seorang mafia.
Apakah Zahra akan ikut terseret masuk ke dalam dunia Rendra yang gelap, atau justru Zahra lah penerang kehidupan Rendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Tersenyumlah, agar kecantikanmu tidak kalah dengan bunga mawar ini...
Zahra meluruskan pandangannya, terlihat Rendra sedang tersenyum ke arahnya. Seketika Zahra membalikkan badannya. Diam-diam dia mencium wangi bunga mawar itu, lalu menaruhnya di atas meja dan keluar dari kamar. Dia kini berjalan di taman samping rumahnya. Taman itu memang menjadi satu dengan rumah yang di tempati Rendra.
Rendra yang sedari tadi mengawasi Zahra, kini memberanikan diri untuk mendekatinya.
"Kenapa kamu bersedih?" tanya Rendra. Meski dari kejauhan Rendra bisa menangkap raut kesedihan Zahra.
Zahra kini duduk di bangku taman sambil menatap langit yang masih membiru meski sudah tidak terlalu panas. Karena sebentar lagi senja itu akan datang.
Zahra menggelengkan kepalanya pelan. "Darimana kamu tahu?"
Rendra tersenyum lagi lalu dia duduk di samping Zahra dan menyisakan ruang kosong di antara mereka. "Kesedihan di wajah kamu itu tidak bisa kamu tutupi. Mungkin kamu butuh teman curhat, aku bisa mendengarkan curhatan kamu."
Zahra tersenyum kecil tanpa melihat lawan bicaranya. "Saya curhat hanya dengan Allah, karena Allah tidak hanya mendengar tapi juga memberi jalan dalam hidup saya."
Perkataan Zahra jelas menyindir dirinya. Selama ini pernahkah dia mengingat Sang Pencipta? Dia hidup seolah dirinya adalah Tuhan, hidup dan mati seseorang berada di tangannya dan sekarang perlahan dia menuai keburukan yang telah dia tanam sendiri.
"Seseorang hidup di dunia ini tentu butuh teman. Silakan kamu keluarkan segala keluh kesah kamu jika kamu mau." kata Rendra lagi. Dari sorot mata Zahra, dia bisa menangkap kesunyian itu.
"Saya tidak biasa bercerita pada seseorang, apalagi yang baru saya kenal." Zahra sengaja membangun tembok tinggi di antara mereka.
"Oke, aku mengerti." Rendra kini bersandar dan ikut menatap langit sore hari itu. "Ngomong-ngomong apa impian kamu? Apa kamu punya keinginan yang belum terwujud?"
"Membahagiakan kedua orang tua." jawab Zahra. Karena sepertinya dia tidak memiliki impian lain selain membahagiakan kedua orang tuanya. Meskipun punya, dia tidak mungkin memiliki kebebasan untuk meraihnya.
Rendra tertawa kecil. "Itu sebuah kewajiban bukan impian." Ya, meski dirinya juga belum bisa membahagiakan kedua orang tuanya. Ibunya sudah meninggal sebelum dia bertemu sedangkan Ayahnya kini dia tinggalkan tanpa kabar lagi. Dia benar-benar merasa durhaka. Entah kapan dia bisa membahagiakan Ayahnya dan mendo'akan ibunya.
Rendra menghela napas panjang lalu menatap Zahra lagi, "Sepertinya kamu tertutup sekali ya. Kewajiban memang sudah seharusnya dilaksanakan tapi sekali-kali kamu juga harus bisa menikmati hidup. Dengarkan apa kata hati kecil kamu, agar hidup kamu tidak merasa memiliki beban. Asal apa yang kamu lakukan itu benar, kamu harus yakin dengam diri kamu sendiri."
Zahra hanya menatap Rendra sesaat lalu buru-buru dia mengalihkan pandangannya.
Sedangkan di dalam kamar Zahra, Umi Laila sedang mencarinya. "Zahra kemana?" tanpa sengaja dia menemukan setangkai mawar dan pesan dari Rendra yang ada di atas meja.
Umi Laila berjalan menuju jendela. Dia melihat Zahra yang sedang duduk berdua dengan Rendra. Seketika Umi Laila keluar dari kamar Zahra dan menghampiri mereka berdua.
"Zahra, Umi cari sedari tadi ternyata kamu ada di sini."
"Iya, Umi." dengan patuhnya Zahra berdiri. "Ada apa?"
"Keluarga Kyai Haji Rahman sudah datang. Ayo, kita temui sebentar."
Zahra ragu untuk melangkah.
Rendra mendongak menatap pergerakan Zahra yang terlihat sangat terpaksa.
"Maaf Umi, kalau Zahra memang tidak mau tolong jangan dipaksa." kata Rendra dengan sangat sopan. Tentu dia sangat pemberani dalam segala hal.
"Kamu baru mengenal anak saya. Jangan terlalu ikut campur dengan kehidupan Zahra apalagi sampai mempengaruhi dia dengan hal-hal yang buruk." tukas Umi Laila.
Rendra menganggukkan kepalanya. "Saya tahu, saya tidak sepadan jika dibandingkan dengan Zahra. Saya miskin ilmu, miskin harta dan miskin segalanya, saya hanya merasa kasihan melihat kesedihan Zahra yang terus dia sembunyikan."
Zahra melebarkan matanya. Dia menggeleng lalu menarik tangan uminya. "Sudah Umi, jangan dengarkan dia."
Rendra hanya menatap kepergian Zahra sambil melipat tangannya. "Hidup sudah rumit, jangan dibuat semakin rumit." Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke rumahnya.
...***...
Zahra hanya menundukkan pandangannya di hadapan keluarga Kyai Haji Rahman. Apa yang dia takutkan kini terjadi saat putra dari beliau menyatakan pinangannya. Kenapa secepat ini? Dia belum menata hatinya yang terluka karena perjodohannya yang batal dengan Ustaz Ilham. Dia sudah mengatakan kali ini ingin memilih jodohnya sendiri. Apakah memang tidak ada kesempatan baginya untuk memilih?
Air mata itu kian terbendung.
Dengarkan apa kata hati kecil kamu agar hidup kamu tidak terbebani.
Zahra menyusut air mata yang hampir saja terjatuh itu.
"Bagaimana Zahra kamu menerima pinangan nak Azam?"
Meski saat ini dia tahu kebahagiaan kedua orang tuanya sangat terpancar di wajahnya, tapi kali ini dia memberanikan diri untuk menolak.
"Maaf saya tidak bisa menerima."
"Apa karena status saya yang seorang duda kamu tidak bisa menerima saya?" tanya Azam.
Zahra menggelengkan kepalanya. "Maaf, sebelumnya saya sudah memutuskan untuk menemukan jodoh saya sendiri bukan dengan cara seperti ini."
"Zahra, kamu bisa ta'aruf dulu untuk saling mengenal dan dekat." kata Umi Laila berusaha membujuk putrinya. "Nak Azam lelaki yang baik dan mapan. Dia memiliki sebuah pabrik garmen dan dari keluarga yang sudah jelas."
Selalu itu yang menjadi alasan orang tua Zahra. Sebelumnya dia memang mau saja dijodohkan tapi setelah terjadi beberapa kali penolakan karena mereka lebih memilih Syifa, Zahra sudah kecewa dan sakit hati dengan perjodohan. Mungkin saja jika Azam lebih dahulu bertemu Syifa, pasti Azam juga akan memilih Syifa. Kali ini dia ingin mencari seseorang yang benar-benar bisa mencintainya dengan tulus dan menerimanya apa adanya. Meski dia tidak tahu dimana dia akan menemukan sosok lelaki seperti itu.
"Maaf Umi, Zahra tidak bisa." kemudian Zahra berdiri. "Saya permisi dulu." dia berjalan menuju kamarnya.
Kedua orang tua Zahra merasa tidak enak. Mereka beberapa kali meminta maaf kepada keluarga Kyai Haji Rahman. Mereka mengobrol beberapa saat kemudian mereka memutuskan untuk pulang.
Kali ini Abah Husein sedikit kecewa dengan keputusan Zahra. Dia menyimpan harapan besar dengan perjodohan ini. Pilihan yang terbaik untuk Zahra dan tentu pilihan yang terbaik untuk kedua keluarga.
"Umi, kenapa Zahra kali ini menolak? Biasanya dia sangat penurut. Apa karena Azam seorang duda? Atau karena ada faktor lain?" tanya Abah Husein, karena baru kali ini Zahra menolak keinginannya.
"Umi juga kurang tahu tapi tadi Umi sempat melihat Zahra dekat dengan pemuda yang tinggal di rumah sebelah."
"Rendra?" Abah Husein menghela napas panjang.
💞💞💞
.
Like dan komen ya...
jgn lama2
critanya bnyk bngt cobaan nya