Jangan lupa like dan komennya setelah membaca. Terima kasih.
Menjadi tulang punggung keluarganya, tidak membuat Zayna merasa terbebani. Dia membantu sang Ayah bekerja untuk membiayai sekolah kedua adik tirinya hingga tamat kuliah.
Disaat dia akan menikah dengan sang kekasih, adiknya justru menggoda laki-laki itu dan membuat pernikahan Zayna berganti menjadi pernikahan Zanita.
Dihina dan digunjing sebagai gadis pembawa sial tidak menyurutkan langkahnya.
Akankah ada seseorang yang akan meminangnya atau dia akan hidup sendiri selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kamu istrinya
Rahmat mencoba menghubungi istrinya. Namun, tidak diangkat. Pria itu pun mencoba menghubunginya kembali dan akhirnya diangkat setelah beberapa kali.
"Halo, a—"
"Di mana kunci kamar Zayna?" tanya Rahmat memotong ucapan istrinya.
"A–ada di laci samping kamarnya," jawab Savina gugup. Dia tahu pasti saat ini sang suami sedang marah.
Rahmat segera memutuskan panggilan begitu saja. Savina memukul kepalanya pelsn. Bisa-bisanya wanita itu lupa membuka pintu kamar dan meminta bodyguard pergi. Kalau seperti ini sudah pasti sang suami akan marah besar. Akan tetapi, Savina tidak mau disalahkan.
Dia melakukan ini semua karena putrinya. Wanita itu akan memikirkan alasan yang bisa membuat suaminya luluh. Tidak perlu diragukan lagi. Savina memang pandai dalam hal ini.
"Ada apa, Bu Savina?" tanya Lusi.
"Tidak apa-apa, Bu. Papanya anak-anak, nanya sudah selesai apa belum," jawab Savina berbohong.
"Kita temui pihak kathering dulu, baru kita pulang." Savina hanya mengangguk mengikuti ke mana besannya pergi.
Sementara di rumah, Rahmat yang sudah menemukan kunci kamar Zayna, segera membuka pintu. Terlihat gadis itu sedang tertidur di atas ranjang dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, hanya menyisakan kepala saja.
Pria itu ingin melihat keadaan putrinya. Lebih tepatnya bekas tamparannya tadi. Rahmat tadi melihat jika sudut bibir Zayna berdarah karena itu dia ingin tahu. Namun, pria itu tidak bisa melihatnya karena sang putri tidur dengan posisi miring. Bekas tamparan pun berada di posisi bawah.
Ada rasa bersalah di hati pria itu karena sudah menyakiti Zayna, tetapi Rahmat meyakinkan hatinya jika apa yang dilakukan juga untuk kebaikan sang putri. Dia memutuskan untuk segera keluar agar tidak mengganggu gadis itu istirahat.
Pintu kamar tertutup membuat Zayna membuka netranya. Setetes air mata jatuh dari ujung mata, segera gadis itu menghapusnya. Dia memang berpura-pura tidur. Tadi Zayna mendengar papanya berbicara di depan pintu.
Zayna yang saat itu masih duduk di atas sajadah segera berdiri dan melipat mukena. Dia membaringkan tubuh dan menyelimutinya. Gadis itu tidak ingin berbicara dengan siapa pun saat ini. Hatinya masih sangat terluka atas perbuatan keluarganya.
Entahlah apa mereka masih bisa disebut keluarga, setelah apa yang mereka perbuat pada Zayna. Mudah bagi mereka mempermainkan sebuah hubungan. Setelah seorang pria membatalkan pernikahan dengannya lalu memilih menikahi adiknya begitu saja.
'Kenapa papa tega padaku? Aku juga anak papa, kan? Aku sangat berharap papa membelaku, tetapi sepertinya itu hanya anganku saja. Jika Mama Savina yang melakukannya, aku masih bisa memakluminya karena dia ibu sambungku, tapi papa ... papa adalah ayah kandungku, bagaimana papa bisa setega itu padaku?' tanya Zayna dalam hati.
Gadis itu memejamkan mata sejenak, guna menetralkan hatinya yang terluka. Dia sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti ini. Bertambah sedikit lagi, tidak masalah bukan!
*****
Keesokan paginya seperti biasa, Zayna akan mempersiapkan sarapan untuk semua orang. Gadis itu sudah bertekad akan terlihat biasa saja. Meski mulai hari ini dia akan selalu melihat mantan kekasihnya yang akan bermesraan dengan sang adik.
Di keluarga ini memang selalu Zayna yang mempersiapkan sarapan pagi dan makan malam. Untuk bersih-bersih dan lainnya sudah ada ART yang akan datang agak siang dan pulang sore hari.
Saat sarapan sudah siap, semua orang berkumpul di meja makan. Begitupun dengan Zayna yang sudah siap dengan seragam kerjanya. Gadis itu bekerja di sebuah restoran yang cukup besar dengan gaji yang cukup tinggi untuk ukuran seorang pelayan. Hingga dia bisa membantu sang papa menyekolahkan kedua adiknya hingga lulus kuliah.
Rahmat hanya pegawai biasa, uang gajinya hanya cukup untuk keperluan keluarga sehari-hari. Itulah kenapa saat sang istri meminta Zayna bekerja saja setelah lulus SMA, pria itu hanya diam.
Zayna tidak pernah keberatan akan hal itu. Justru dia sangat senang bisa membantu papanya. Gaji gadis itu sepenuhnya diberikan pada Rahmat. Zayna hanya mengambil sedikit untuk membeli bahan bakar motor tuanya.
"Selamat pagi," sapa Zanita yang baru datang dengan suaminya.
Fahri sempat melirik sekilas ke arah Zayna. Namun, gadis itu hanya sibuk menata bekal untuk makan siang ayahnya. Tingkah laku pria itu tidak lepas dari penglihatan Zanita—istrinya.
"Sayang, mau makan pakai apa?" tanya Zanita yang memang sengaja ingin memperlihatkan kemesraannya.
"Apa saja, Sayang."
Jujur hati Zayna begitu terluka mendengarnya. Dulu panggilan itu tertuju padanya, tetapi kini pada adiknya. Gadis itu tidak ingin memperlihatkan kerapuhannya di depan siapa pun, apalagi pasangan pengkhianat itu. Wanita itu hanya ingin menunjukkan ketabahan dan kekuatannya.
Dia yakin suatu hari nanti akan ada massanya untuk Zayna mendapat kebahagiaan. Entah kapan itu datang, biarlah waktu yang menjawabnya. Untuk saat ini hanya berdoa yang bisa gadis itu lakukan.
"Kak, kopi untuk suamiku mana?" tanya Zanita.
"Dia suamimu, kenapa aku yang harus membuatkannya?" tanya Zayna balik.
"Biasanya sua juga, Kakak, yang mempersiapkannya! Atau jangan-jangan Kakak tidak mau membuat karena Kakak masih tidak bisa menerima pernikahanku?"
Zayna menghela napas. Menghadapi istri yang masih berada di ketiak ibu memang susah. Apa pun yang dikatakannya sudah pasti akan salah dan ujungnya semua orang akan menyalahkan dia. Drama seperti ini sudah menjadi makanannya sehari-hari.
Saat ini menghindar adalah jalan yang terbaik. Zayna segera makan dengan cepat agar bisa pergi secepatnya. Dia tidak ingin terlambat hari ini padahal seharusnya gadis itu masih dalam masa cutinya, tetapi dari pada di rumah akan semakin menyakitkan hati, lebih baik pergi bekerja dan mendapatkan uang.
"Kakak kenapa diam? Kenapa tidak men—"
"Dia suamimu! Belajarlah melayaninya jangan sampai dia mencari istri lain dengan kedok pelayan untuk melayaninya!" Zayna segera pergi sebelum mendapat semburan panas dari penghuni rumah lainnya.
"Apa maksudmu? Kamu menginginkan pernikahanku hancur! Itu tidak akan terjadi!" teriak Zanita dengan emosi.
"Sudahlah, Sayang. Jangan teriak-teriak, Zayna hanya berusaha menasehatimu," ujar Fahri.
"Kamu membelanya, Sayang? Padahal aku istrimu, bukan dia," ucap Zanita dengan nada dibuat sedih yang dibuat-buat.
"Bu–bukan seperti itu, Sayang. Sudahlah, aku juga tidak apa-apa kalau tidak minum kopi," pungkas Fahri yang tidak ingin ada masalah.
Wanita itu mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia tidak terima dengan perkataan kakaknya. Wanita itu merasa jika Zayna sedang mengejek karena Zanita sudah merebut Fahri padahal pria itu calon suami kakaknya.
Rahmat tadi sempat melihat pipi Zayna yang membekas merah sedikit biru. Meski gadis itu sudah menutupinya dengan bedak, tetap saja masih terlihat. Pasti rasanya sakit sekali, tapi kenapa dia merasa biasa-biasa saja atau memang Zayna sengaja tidak ingin orang lain khawatir. Rahmat membuang napas kasar.
.
.
.