Penderitaan bisa dikatakan sebagai temannya. Tangis air mata tak pernah lupa untuk hadir. Perih dari luka yang tercipta selalu ia tahan. Namun, bagaimana jika ia harus menikah hanya untuk menggantikan posisi pengantin perempuan.
Elvira Pelita harus menggantikan posisi sang kakak dalam pernikahan, menjadi pengantin perempuan yang bersanding dengan pria yang seharusnya ia panggil kakak ipar.
Arkanio Althaf Zerion harus menikahi sang calon adik ipar karena calon istrinya melarikan diri. Ia selalu membenci pernikahannya karena bagi Arka, Vira penyebab perginya perempuan yang amat dicintainya.
"Jangan mendekat jangan sakiti aku, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak bersalah." Vira was-was karena Arka semakin mendekat.
"Kau salah, kau bersalah!" teriak Arka tepat di muka Vira.
Bagaimana pernikahan yang dipenuhi kebencian itu akan berjalan dan bagaimana cara Vira menyakinkan Arka bahwa ia tidak bersalah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nidati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat Berpisah
Matanya terbuka lebar dengan gerakan tangan yang membekap mulutnya sendiri. Punggungnya membentur dinding kamar mandi yang dingin. Vira menghela nafas berusaha mengatur perasaan tak menentu yang hinggap. Antara sendih atau senang.
"Dua garis."
Tespek menunjukkan dua garis yang artinya positif. Ya, Vira positif hamil, ia mengandung anak Arka. Selama beberapa hari ini Vira memang merasakan ada yang berubah dari dirinya. Terlebih Vira sudah telat mendapat tamu bulanan. Berbekal keberanian Vira memutuskan untuk menggunkan tespek dan tanpa di sangka hasilnya sungguh mengejutkan.
"Huft ... kenapa kau hadir di saat seperti ini."
Sedih? Vira tidak sedih mengetahui kehamilannya. Kecewa? Tidak sama sekali, hanya saja Vira bingung bagaimana menanggapi kehamilannya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa peristiwa seperti ini akan terjadi di saat Vira sudah memutuskan akan jalan hidupnya.
"Hai, Sayang. Jangan sedih mama selalu ada untuk kamu."
Tok tok tok
"Cepat keluar!"
Vira cukup terkejut mendengar suara Arka. Segera ia mengambil terspek yang tergeletak dekat wastafel, menyembunyikannya dibalik pakaian yang ia kenakan. Vira keluar begitu saja melewati Arka yang berdiri dekat pintu. Pria itu memicingkan mata melihat gerak-gerik Vira yang mencurigakan.
Tak mau ambil pusing Arka segera masuk kamar mandi untuk melakukan ritual paginya, sedangkan Vira duduk menghadap cermin di meja rias untuk merapikan rambutnya. Sesekali ia melirik pintu kamar mandi yang masih tertutup. Vira meletakkan tespeck di dalam laci dan segera keluar kamar menuju dapur.
"Pagi, Kak," sapa Killa yang sedang mengoles roti dengan selai coklat.
"Pagi, tumben sekali jam segini udah ada di meja makan."
"Hari Senin, Kak. Ada upacara jadi harus berangkat pagi biar gak kena hukum," balas Killa dengan menggigit rotinya.
"Benarkah? Bukan untuk nyontek tugas kan?"
"Hehe, termasuk itu juga." Killa menunjukkan deretan giginya. Vira hanya bisa geleng-geleng mendengarnya. Ia pun melangkah memasuki dapur di mana Bi Murni sedang memotong beberapa jenis sayuran.
"Aku bantu ya, Bi." Vira mulai menambil pisau unttuk membantu Bi Murni.
Arka kesulitan menggenakan kemeja karena bahunya masih terasa sakit. Ia menyerah mencobanya seberapa keras ia mencoba hasilnya akan tetap sama.
"Tidak ada cara lain. Terpaksa, sangat terpaksa," gumam Arka melangkah menuju pintu.
"Vira!" Arka berteriak di ambang pintu. Memanggil nama sang istri yang entah di mana keberadaannya.
Arka menuruni tangga dengan memanggil nama Vira berkali-kali. Pria itu mendengus kesal karena Vira tak kunjung datang padanya.
"Astaga, Arka. Apa yang kau lakukan dengan berkeliaran tanpa mengenakan pakaian," ujar Lydia keluar dari kamarnya. Menghampiri dan putra yang terlihat kesal.
"Aku mencari Vira."
"Apa kaitannya dengan Vira."
"Aku butuh bantuannya. Bahuku masih terasa sakit."
Lydia mengulas senyum, terkikik geli dalam hati. Seorang Arka membutuhkan bantuan dari Vira. Sungguh tidak dapat dipercaya.
"Kau mencariku? Maaf, aku tidak dengar kau memanggil. Aku sedang membuat jus tadi." Vira datang menghampiri mereka berdua.
"Urus suamimu itu, Nak. Jangan biarkan dia mencari perhatian dari wanita lain," goda Lydia menepuk pundak Vira sebelum berlalu.
"Kenapa mencariku? " tanya Vira.
"Cepat ke kamar, bantu aku." Arka meninggalkan Vira yang terdiam mematung setelah mendengar apa yang Arka ucapkan. Dahinya mengernyit dalam merasa bingung dengan Arka. Tak pernah sekalipun Arka mau menerima bantuannya dan sekarang justru dia sendiri yang meminta bantuan. Manusia yang membingungkan.
Vira mengekor di belakang Arka. Menatap punggung tegap sang suami. Vira menutup pintu setelah sampai di kamar.
"Bantu aku memakai kemeja ini." Arka menyerahkan kemeja bewarna biru muda itu pada Vira, kemudian berbalik agar Vira mudah memakaikannya.
Vira tidak membantah, ia membantu Arka mengenakan kemeja. Ringisan sakit sempat terdengar dari bibir Arka. Membuat Vira sangat berhati-hati agar Arka tak kesakitan.
"Bagaimana kau akan bekerja dengan tangan menggantung seperti ini," ucap Vira saat membantu Arka mengenakan arm sling untuk meminimalisir gerakan bahu Arka yang terluka.
"Bukan urusanmu."
"Ya memang bukan urusanku. Semua tentang mu bukan urusanku. Oke, aku sadar diri. Kau tidak perlu mengingatkanku akan hal itu."
"Ada apa dengan wanita itu." batin Arka.
Vira membuka lemari, mengambil sebuah map coklat. Dipandangnya sebentar map tersebut sebelum menyerahkannya pada Arka.
"Apa."
"Ambilah," ucap Vira.
Dengan malas Arka mengambil map itu lalu membukanya, matanya bergerak ke sana ke mari membaca setiap deretan kata yang tersusun.
"Aku sudah menandatangani sekarang giliranmu."
Bukan melakukan seperti apa yang Vira katakan. Arka malah merobek kertas yang merupakan surat gugatan perceraian. Menghamburkan kertas yang sudah ia sobek itu hingga mengotori kamar.
"Berani sekali kau! Aku sudah pernah bilang bukan bahwa aku tidak akan menceraikanmu! Apa kau lupa itu, hah!"
Vira cuma bisa memejamkan mata mendengar suara menggelegar Arka.
"Jangan pernah sekalipun kau melakukan tindakan bodoh itu lagi atau kau tahu sendiri akibatnya." Arka menatap tajam Vira, mencengkram rahang wanita yang berstatus istrinya itu.
"Tak akan pernah aku biarkan kau pergi. Paham!" Arka melepaskan cengkraman tangannya mengambil jas yang berada di atas tempat tidur.
"Bagiku larangan adalah sebuah perintah. Semakin kau melarang semakin aku bertindak. Jangan karena aku seorang wanita maka kau bisa menganggap ku lemah."
Perkataan Vira yang mengiringi setiap langkah yang diambil Arka. Bukan tidak mendengar hanya saja Arka menulikan telinganya, jika Arka menanggapi ia yakin tidak akan bisa mengontrol emosinya. Di pagi hari seperti ini Arka tidak ingin membuat keributan.
Blam!
Pintu berdentum keras karena Arka. Vira hanya bisa mengusap dada dan mendudukkan diri ditepi ranjang. Menetralkan detak jantung karena terkejut.
"Papamu sangat membenci mama, Nak. Ada kemungkinan kau tidak diharapkan. Jika kita tetap di sini cuma ada penderitaan tidak ada kebahagian untuk kita. Papamu tidak menginginkan kita, Nak. Maafkan mama," batin Vira mengusap pelan perutnya yang masih rata.
Ada rasa sesak dalam dada yang tak bisa diutarakan dalam kata. Terpendam dalam lubuk hati yang tak tahu kapan lenyap. Vira berusaha berpikir realistis, sekarang ia tidak sendiri ada malaikat kecil yang harus ia jaga. Vira tidak ingin apa yang menimpanya juga terjadi pada anaknya. Dibenci oleh ayah kandungnya sendiri. Vira tidak ingin itu terjadi. Arka boleh membencinya, tapi tidak dengan anaknya. Alasan untuknya bercerai sudah semakin mantap dan bagaimanapun caranya itu harus terjadi.
"Vira."
Merasa ada yang memanggil. Vira segera mengusap matanya yang basah. Vira membalikkan badan dengan memasang wajah seakan tidak terjadi apapun. Namun, semua harus pupus karena Lydia sudah berdiri tak jauh dari Vira dengan wajah sedih bercampur kecewa.
"Mama," gumam Vira.
Wanita paruh baya itu segera mengikis jarak di antara mereka. Mengelus rambut Vira dengan sayang. Matanya menelisik ke dalam manik mata Vira yang basah.
"Kenapa kau ingin bercerai dengan anak mama. Apa dia sudah menyakitimu, Nak." Lydia menatap Vira menuntut akan jawaban yang jelas.
Tadinya Lydia hanya ingin memberitahu Arka untuk tidak pergi bekerja, tapi ternyata ia mengetahui sesuatu yang sangat mencengangkan. Bagaimana tidak ia melihat sendiri bagaimana anaknya memperlakukan sang menantu. Ia juga mendengar apa yang mereka bicarakan.
Selama ini Lydia mengira jika pernikahan anaknya baik-baik saja, meskipun ia tahu Arka masih membutuhkan waktu menerima pernikahan ini, tapi tak pernah terbayangkan perlakuan Arka terhadap Vira.
"Kenapa kau ingin berpisah, Nak." Lydia masih menuntut jawaban dari Vira yang hanya diam.
"Mama sudah mendengar semuanya, mama tahu ada yang tidak beres dalam pernikahan kalian. Coba ceritakan apa yang terjadi sebenarnya." Vira masih bungkam tidak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu untuk sekedar mengucapkan satu kata.
"Mama tidak ingin memaksa tapi jika benar Arka membuat kesalahan maka dia harus menanggung akibatnya. Mama bisa membantumu jika kamu mau bercerita agar mama tahu tindakan apa yang harus mama ambil."
Vira mengalihkan pandangan, mengambil nafas dalam dan dihembuskan perlahan. Haruskah, haruskah Vira menceritakan semuanya agar terbebas dari jerat yang membelenggu atau tetap diam. Ia sendiri tidak menceritakan hal ini pada ibu kandungnya, pantaskah ia bercerita pada ibu mertuanya.
"Mama tidak memihak siapapun. Baik Arka maupun kamu. Mama hanya ingin mendengar kebenarannya."
"Aku ingin pisah. Aku lelah."
"Ceritakan saja."
Mulutnya mengucapkan penggalangan kata-kata yang terbentuk menjadi sebuah kalimat yang memiliki kisah tersendiri. Meski ragu Vira pun menceritakan hal apa saja yang sudah dialaminya. Bagaimana kehidupan pernikahannya dan juga bagaimana sikap Arka. Bukan ingin membongkar aib rumah tangganya sendiri hanya saja itu cara agar Vira dapat pergi dengan tenang.
Lydia mendengarnya dengan serius, tak menjeda setiap ucapan Vira. Hatinya hancur mendengar setiap perkataan yang meluncur dari mulut Vira. Anak yang selama ini ia besarkan dengan penuh kasih sayang ternyata bersikap begitu keji pada seorang perempuan yang sudah menjadi istrinya. Meskipun pernikahan mereka terjadi secara mendadak. Tanpa disadari air mata menetes dengan begitu saja. Setiap perkataan Vira begitu menusuk jantung Lydia. Terselip derita yang sangat memilukan.
"Arka tahu jika Kak Arleta mengkhianatinya, tapi dia melampiaskan semua padaku yang tak tahu apapun. Aku tahu diri jika aku ini hanya pengganti, tapi kenapa aku diperlakukan selayaknya penjahat."
"Huust ... berhenti jangan dilanjutkan. Mama tidak sanggup mendengarnya, berhenti."
Lydia malu, sangat malu mengetahui sikap putra yang sangat ia banggakan. Ia malu mengetahui betapa brengseknya sang anak.
Mereka terdiam, tidak ada yang mengeluarkan suara. Hanyut dalam pikirannya sendiri. Mereka berdua saling menyalurkan rasa melalui sebuah pelukan hangat.
"Apa aku memerlukan alasan lain untuk bercerai dari Arka."
Lydia mengusap air matanya. Menatap Vira dengan lekat.
"Kau mencintai Arka. Iya atau tidak." Lydia ingin tahu perasaan Vira terhadap anaknya.
"Apa yang mama katakan."
"Iya atau tidak. Jawab saja." Tuntut Lydia.
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu perasaanku terhadap Arka," jawab Vira dengan menunduk.
"Jika perceraian adalah jalan terakhir. Mama tidak bisa mencegah yang bisa mama lakukan hanya mendukung kamu." Berat bagi Lydia jika harus melepas Vira sebagai menantu, karena berkat Vira hubungan keluarganya semakin membaik. Lydia tidak boleh egois, Vira tidak bahagia bersama Arka. Cara terbaik adalah memisahkan mereka, tapi apa tindakan itu sudah benar.
"Mama akan mengurus semuanya. Kamu tidak perlu khawatir, Arka tidak akan bisa berbuat banyak." Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kebahagiaan Vira.
"Aku hamil."
Pernyataan Vira mampu membuat Lydia berhenti memikirkan segala hal. Wanita itu menatap Vira dengan binar bahagia yang tertera di wajahnya. Ada calon penerus keturunannya yang sedang bersemayam di rahim menantunya.
"Kamu hamil, Sayang? Benarkah, mama tidak salah dengar, 'kan," ujar Lydia.
"Ya, aku hamil."
Ada rasa bahagia dalam diri Lydia mendengar kabar tersebut, tapi di lain sisi ia sedih mengetahui rumah tangga anak dan menantunya yang berada di tepi jurang kehancuran.
Vira rasa perlu memberitahu kabar tersebut pada sang mertua, setidaknya ada yang mengetahui kabar bahagia ini.
"Jika kamu hamil, maka perceraian kalian tidak bisa terjadi." Sedetik kemudian Vira menyesal telah memberitahu kabar tersebut karena akan mempersulit proses perceraian.
"Tapi mama punya cara lain. Supaya kamu dan Arka bisa...." Lydia terus berkata membicarakan sebuah rencana yang hinggap dalam benaknya, sedangkan Vira hanya bisa mendengarkan dengan seksama apa yang sang mertua katakan.
***
Happy reading
Aduh author minta maaf nih gak up selama 3 hari. Ada kerusakan hati yang menjalar mengenai otak yang berakibat melemahnya kinerja otak sehingga tidak bisa up untuk kalian dan berhubung kondisi hati sudah membaik maka aku up deh 😆
Salam sayang dari aku.
Orang berpendidikan kok mau2nya di aniaya sama ayah dan suaminya..gk masuk akal..
Ceritanya terlalu lebay..
Thor coba bikin tokoh perempuan yg kuat dan punya harga diri
Vira kamu jgn bodoh pergi dari rmh itu..kamu seorang pendidik harusnya tegas dan punya sikap..
thor viranya harus di bikin tegas dan punya sikap dong..