Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Tania melangkah masuk ke sebuah restoran Italia berkelas di dekat kantor. Di salah satu meja, Rei sudah menunggu. Pertemuan ini murni membahas kontrak desain ekspor yang sedang Tania tangani.
Tanpa mereka sadari—namun sudah Tania duga—seorang pria dengan topi hitam duduk beberapa meja dari mereka, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Itulah orang sewaan Farah.
Tania duduk dengan anggun. Ia menyadari kilatan lensa dari kejauhan, namun ia tetap tenang. Ia justru sengaja sedikit condong ke depan saat Rei menunjukkan draf kontrak di tabletnya, membuat mereka terlihat sangat dekat dari sudut pandang kamera pengintai.
Rei menatap Tania dengan tatapan profesional namun tajam. "Tania, untuk fasilitas mobil Maybach itu, perusahaan memutuskan tetap memegang hak milik atas nama PT Hartadinata selama masa kontrak eksklusif Anda berjalan. Ini prosedur standar untuk aset bernilai tinggi."
Tania mengangguk, hatinya merasa lega secara diam-diam. "Bagus," batinnya. "Tanpa Rei tahu, keputusan perusahaannya justru melindungiku. Jika Dika mencoba menggugat harta gono-gini, dia tidak akan bisa menyentuh mobil itu karena secara hukum itu milik perusahaan."
Tanpa Tania tahu, Rei sengaja melakukan hal tersebut setelah Rei mendapatkan informasi tentang perjanjian pra nikah Tania dan Dika.
"Saya mengerti, Pak Rei. Saya tidak keberatan," jawab Tania singkat. Mereka melanjutkan makan siang dengan percakapan teknis tentang perhiasan, tanpa Rei tahu bahwa saat itu Tania sedang memanfaatkannya sebagai tameng untuk memancing kemarahan Dika dan Farah.
Di saat yang sama, Farah menerima serangkaian foto melalui pesan singkat. Foto-foto itu menunjukkan Tania dan Rei yang tampak sangat dekat (padahal sedang menunjuk poin di layar tablet), dan momen saat Rei tanpa sengaja menyentuh ujung jemari Tania saat menggeser dokumen.
Farah menyeringai licik di kamarnya. "Kena kau, Kak Tania!"
Ia segera menyimpan foto-foto itu. Di otaknya yang picik, ia sudah membayangkan bagaimana ia akan menunjukkan ini pada Dika. Farah berpikir bahwa dengan bukti "perselingkuhan" ini, Tania akan didepak tanpa membawa sepeser pun harta, dan mobil mewah itu akan jatuh ke tangan Dika sebagai ganti rugi—yang artinya akan menjadi miliknya juga.
Selepas makan siang, Tania meminta izin keluar kantor sebentar. Ia tidak pergi ke mall, melainkan menemui Luna di sebuah kantor notaris kecil yang sudah mereka sepakati.
"Semua sudah siap, Tan," bisik Luna sambil menyerahkan berkas akta balik nama apartemen. "Sekarang apartemen mewah itu sudah resmi atas namaku. Secara hukum, kamu tidak punya aset properti apa pun yang bisa disita Dika."
Tania menandatangani berkas terakhir dengan mantap. "Terima kasih, Lun. Dan ini bukti transfer donasi gajiku ke panti asuhan. Rekening gajiku kini hampir nol. Aku ingin Dika melihat bahwa istrinya yang 'sukses' ini secara tertulis tidak punya simpanan apa pun."
...----------------...
Tania baru saja kembali dari kantor ketika Farah mencegatnya di ruang tengah. Tidak ada lagi wajah ketakutan. Farah menyilangkan tangan di dada, menatap Tania dengan seringai tajam.
"Kak Tania, aku rasa ancaman video Kakak tempo hari sudah tidak berlaku lagi," desis Farah dengan nada kemenangan. "Aku tahu tentang perjanjian pra-nikah itu. Dan sekarang, aku punya bukti kalau Kakak yang lebih dulu melanggar sumpah pernikahan ini. Foto-foto Kakak dengan Pak Rei... cukup untuk membuat Kakak keluar dari rumah ini dengan tangan kosong."
Tania hanya menatap Farah dengan tenang, membiarkan Farah merasa telah memenangkan pertempuran mental ini. "Jadi, kamu pikir kamu sudah menang, Farah?"
"Aku bukan hanya berpikir, Kak. Aku yakin. Silakan simpan videoku, tapi reputasi Kakak dan perusahaan Hartadinata ada di tanganku sekarang," ancam Farah balik.
Malam itu, Farah akhirnya menunjukkan bukti foto-foto tersebut kepada Dika. Reaksi Dika sesuai dugaan; ia marah karena harga dirinya terusik, namun matanya berkilat senang saat menyadari bahwa ini adalah jalan baginya untuk menguasai aset-aset Tania yang sedang melejit.
Di meja makan, Dika tidak lagi menjaga jarak dengan Farah. Di depan Tania, Dika menarik kursi untuk Farah dan merangkul pinggang wanita itu dengan protektif. Tidak ada lagi sebutan "sepupu".
"Tania, kita hentikan sandiwara ini," ujar Dika dengan nada sangat percaya diri. "Farah sudah menunjukkan semuanya. Ternyata kamu jauh lebih busuk di belakangku. Mobil, sopir, dan semua kemewahan itu... ternyata hasil dari perselingkuhanmu dengan bosmu sendiri!"
Tania meletakkan sendoknya perlahan, menatap Dika dan Farah yang kini berdiri bersisian sebagai pasangan. "Jadi, kamu menuduhku selingkuh, Mas?"
"Bukti tidak bisa bohong!" bentak Dika. "Kamu yang lebih dulu melanggar perjanjian pra-nikah kita. Kamu yang berkhianat!"
Dika tertawa sinis, merasa memegang kendali penuh. "Asal kamu tahu, aku dan Farah sudah berhubungan lama. Bahkan dia tinggal di sini karena dia adalah wanitaku, bukan sepupuku! Aku sengaja membawanya ke sini karena aku sudah muak denganmu."
Dika menunggu reaksi Tania—ia berharap Tania akan menangis, histeris, atau terkejut luar biasa. Namun, yang ia dapatkan justru sebaliknya. Tania hanya tersenyum tipis, sebuah senyuman yang terlihat sangat menyedihkan sekaligus dingin.
"Kamu pikir aku terkejut, Mas?" tanya Tania tenang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu Farah bukan sepupumu sejak pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini. Aku tahu setiap langkah yang kalian lakukan di belakangku."
Dika tersentak. Kepercayaan dirinya sedikit goyah. "Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu diam saja? Kamu pura-pura jadi istri yang baik hanya untuk menutupi perselingkuhanmu sendiri, kan?!"
Tania menunduk, memasang ekspresi seolah-olah ia adalah pihak yang paling hancur dan merugi. "Aku diam karena aku ingin mempertahankan rumah tangga ini, Mas. Aku bekerja keras, memberikan segalanya untuk kita, bahkan saat aku tahu dikhianati. Tapi ternyata, kerja kerasku justru kamu tuduh sebagai perselingkuhan."
Tania menatap mereka berdua dengan mata yang berkaca-kaca (yang tentu saja adalah akting). "Kalian sudah bersatu untuk memfitnahku agar bisa menguasai apa yang aku punya. Silakan, Mas. Kalau itu yang kalian inginkan. Aku adalah pihak yang paling rugi di sini—kehilangan suami, kehilangan kepercayaan, dan sekarang dituduh secara keji."
Dika dan Farah saling pandang. Mereka merasa di atas angin. Dika merasa menang karena Tania mengakui "kerugiannya", tanpa sadar bahwa Tania sedang menggiring mereka ke dalam jebakan hukum di mana semua asetnya telah diamankan.
Dika berdiri dengan angkuh, merasa telah memenangkan segalanya. Ia menatap Tania yang masih tertunduk, mengira istrinya itu sedang meratapi nasibnya yang hancur.
"Sudahlah, Tania. Jangan berakting sedih lagi," cetus Dika dengan nada jijik. "Karena kamu sudah melanggar perjanjian pra-nikah dengan perselingkuhanmu, aku ingin kamu pergi dari rumah ini besok. Jangan harap bisa membawa mobil mewah itu atau uang sepeser pun dari rekeningmu. Semuanya akan aku sita sebagai ganti rugi atas rasa maluku!"
Farah merangkul lengan Dika lebih erat, menatap Tania dengan tatapan menghina. "Kasihan ya, Kak. Ternyata kecerdasan Kakak nggak bisa menyelamatkan Kakak dari kenyataan kalau akhirnya Kakak keluar dari sini sebagai pecundang."
Tania hanya mengangguk pelan, suaranya terdengar bergetar (meskipun di dalam hati ia sedang tertawa). "Baik, Mas. Kalau itu maumu. Aku akan pergi. Aku hanya butuh waktu malam ini untuk membereskan barang-barang pribadiku."
Bersambung...