Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Target
Pramudya mengemudikan mobilnya menuju sebuah gedung perkantoran mewah di pusat kota. Gedung itu adalah markas besar perusahaan konstruksi besar, milik Dika, salah satu pesaing bisnis Pramudya yang paling sengit. Ia yakin, hanya Dika yang memiliki motif dan sumber daya untuk melakukan hal sekeji ini. Persaingan mereka sudah lama membara, dan bukan tidak mungkin Dika akan menyerang secara pribadi.
Pramudya memasuki lobi yang megah dan meminta untuk bertemu dengan Dika. Sekretaris Dika awalnya menolak, mengatakan bahwa Dika sedang sibuk. Namun, Pramudya bersikeras, mengatakan bahwa ini adalah masalah pribadi yang sangat mendesak dan menyangkut Nika. Setelah beberapa argumen, akhirnya ia diizinkan menunggu di ruang tamu.
Tidak lama kemudian, Dika muncul. Ia mengenakan setelan jas mahal yang pas di tubuhnya yang tinggi dan tegap, rambutnya tertata rapi. Wajahnya menunjukkan sedikit ekspresi terkejut melihat kehadiran Pramudya.
"Pramudya? Ada apa Lo kemari?" tanya Dika, suaranya terdengar datar.
Pramudya menatap tajam pada Dika. "Gue datang untuk menanyakan tentang Nika."
Ekspresi Dika sedikit berubah, menjadi lebih waspada. "Nika ? Siapa Nika ,gue nggak kenal "
"Jangan pura-pura tidak tahu, Dika," kata Pramudya, suaranya menekan. "Nika keracunan obat peluruh kandungan. Ada yang sengaja mencelakainya dan bayinya."
Dika terdiam sejenak, tatapannya menyiratkan sesuatu yang sulit diartikan. "Gue turut prihatin mendengarnya. Tapi apa hubungannya sama gue ?"
"Roy, teman gue, melacak siapa yang mengirim makanan itu," lanjut Pramudya, mengabaikan pertanyaan Dika.
"Kurir itu mengaku disuruh oleh seorang pria tinggi, rapi, yang menutupi wajahnya dengan masker. Dan dia bilang makanan itu dari 'Pram'."
Dika mendengus sinis. "Jadi, elu nuduh gue ? Tanpa bukti?"
"Elu punya motif, Dika," kata Pramudya, suaranya meninggi. "Elu selalu berusaha menjatuhkan gue dalam bisnis. Bukan tidak mungkin kau juga ingin melukai orang terdekat gue." Pramudya mendekati Dika, tatapannya membara. "Gue tahu elu punya koneksi, dan lu sanggup membayar orang untuk melakukan hal kotor semacam ini."
"Elu salah orang, Pramudya," kata Dika, suaranya lebih tegas. "Gue memang saingan bisnis lu, tapi gue tidak pernah sepicik itu. Gue tidak akan pernah menyakiti wanita atau anak-anak, apalagi dengan cara yang kotor seperti itu. Tuduhan lu ini tidak masuk akal." Dika menatap mata Pramudya tanpa berkedip. "Gue bisa bersumpah bukan gue pelakunya."
Pramudya merasa sedikit ragu. Ada ketulusan dalam nada suara Dika, dan mata Dika menunjukkan kejujuran. Dika memang pesaing yang kejam dalam bisnis, tetapi ia selalu bermain bersih, tidak pernah menggunakan cara-cara yang melibatkan kekerasan fisik atau hal sekeji itu.
"Jika bukan elu, lalu siapa?" gumam Pramudya, kebingungan mulai menyelimuti.
"Gue nggak tahu. Tapi yang jelas bukan gue," jawab Dika. "Mungkin elu harus mencari tahu lebih dalam, siapa yang punya masalah pribadi dengan Nika, atau bahkan dengan lu sendiri, Pramudya. Pikirkan baik-baik."
Pramudya terdiam. Ia menyadari bahwa ia mungkin terlalu cepat menarik kesimpulan dan menuduh Dika. Dika memang seorang pesaing, tetapi ada batas yang tidak akan ia lewati. Pramudya mengangguk tipis, merasa sedikit malu atas tuduhan tergesa-gesanya.
"Maafin gue, Dika. Gue hanya... terlalu cemas," kata Pramudya, sedikit merendahkan suaranya.
"Tidak masalah," jawab Dika, kini ekspresinya sedikit melunak. "Gue mengerti. Gue harap Nika baik-baik saja."
Pramudya berbalik dan meninggalkan ruangan itu, pikiran-pikiran kalut berputar di kepalanya. Jika bukan Dika, lalu siapa? Siapa lagi yang memiliki motif dan sumber daya untuk melakukan kejahatan sekeji ini? Petunjuk "pria tinggi, rapi, bermasker" kembali terngiang di benaknya, dan ia merasa ada sesuatu yang terlewat.
Pramudya segera menghubungi Roy. "Roy, gue rasa gue salah menuduh Dika," katanya, suaranya penuh kekecewaan. "Dia menyangkalnya dengan sangat meyakinkan, dan gue percaya padanya."
"Lalu siapa, Pram?" tanya Roy, terdengar bingung.
"Gue nggak tahu," jawab Pramudya. "Tapi sekarang kita harus memikirkan kemungkinan lain. Pria yang dijelaskan kurir itu: tinggi, rapi, dan menggunakan masker. Apa ada orang lain yang sesuai dengan ciri-ciri itu dan mungkin punya dendam pada Nika atau gue?"
Roy menghela napas. "Pram, gue sudah mencoba segalanya. Gue sudah menghubungi kenalan di kepolisian untuk melacak plat nomor mobil hitam mewah itu, tapi hasilnya nihil. Platnya tidak terdaftar, atau palsu. Dan dari rekaman CCTV lain di sekitar apartemen, juga tidak ada yang menangkap wajah kurir atau plat mobil itu dengan jelas. Mereka sangat rapi."
Pramudya terdiam. Dada Pramudya terasa sesak. Semua petunjuk yang mereka dapatkan ternyata berujung pada jalan buntu. Kurir bernama Andi sudah menghilang, dan nomor telepon yang diberikan oleh aplikasi juga tidak aktif. Seolah-olah pelaku sudah merencanakan semuanya dengan sempurna, tidak meninggalkan jejak sedikit pun.
"Jadi... kita tidak punya apa-apa?" tanya Pramudya, suaranya serak karena frustrasi.
"Gue takut begitu, Pram," jawab Roy. "Ini seperti mereka menghilang ditelan bumi. Semua jalur yang kita coba lacak, semuanya buntu."
Frustrasi melanda Pramudya. Ia mengepalkan tangannya. Bagaimana mungkin mereka tidak bisa menemukan pelakunya? Nika dan bayinya hampir tewas, dan mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Rasa tidak berdaya itu menyiksanya.
"Baik, Roy," kata Pramudya, mencoba menenangkan diri. "Untuk saat ini, kita berhenti dulu. Gue akan fokus menjaga Nika. Dia butuh banyak istirahat dan ketenangan. Gue gak ingin dia stres memikirkan hal ini. Tapi ingat, ini belum berakhir. Kita akan menemukan siapa pelakunya, suatu saat nanti."
Roy mengakhiri panggilan. Ia tahu Pramudya benar. Saat ini, yang terpenting adalah keselamatan Nika dan bayinya. Namun, Roy juga tahu bahwa mereka tidak akan pernah melupakan kejadian ini. Misteri pelaku yang sempurna ini akan terus menghantui mereka, menunggu saatnya untuk terungkap.
Beberapa hari berlalu sejak pertemuan panas antara Pramudya dan Dika. Selama itu, Pramudya nyaris tak pernah beranjak dari sisi Nika. Wanita itu masih terbaring lemah di rumah sakit, tubuhnya lemah, namun jiwanya lebih rapuh. Tatapannya kosong, dan hanya sesekali ia memaksakan senyum saat Pramudya mencoba menghiburnya.
Namun pagi ini, sesuatu berbeda.
Nika membuka matanya dan menggenggam tangan Pramudya yang tertidur di kursi samping ranjangnya. “Pram…” suaranya lirih.
Pramudya terbangun, wajahnya langsung menegang. “ya Nika ,kenapa ?”
Nika menggeleng pelan. “Aku… aku ingat sesuatu.”
Pramudya mencondongkan tubuhnya. “Ingat apa?”
“Makanan itu… waktu aku buka tutupnya, ada kartu kecil, tapi aku nggak sempat membacanya karena langsung mual…”
“Kartu?” Pramudya mengerutkan dahi. “Kamu yakin?”
Nika mengangguk lemah. “Bentuknya seperti kartu ucapan. Cuma aku nggak tahu di mana sekarang.”
Tanpa membuang waktu, Pramudya langsung menghubungi Roy. “Kita harus cari makanan itu dan kemasannya. pasti masih ada di apartemen Nika.”
Roy bergegas pergi ke apartemen Nika. Roy akhirnya menemukan kantong plastik bukti yang berisi sisa makanan dan... sebuah kartu kecil yang sudah agak basah oleh kuah makanan.
Kartu itu diletakkan di atas meja logam, dan Roy mengenakan sarung tangan sebelum membukanya dengan hati-hati.
Tertulis di sana, dengan tulisan tangan tegak rapi:
“Selamat tinggal, Nika. Dunia ini lebih baik tanpamu dan anak harammu.”
Mata Pramudya membelalak. Rahangnya mengeras. Roy memandangnya dengan ngeri.
“Anak haram? Siapa yang tahu soal kehamilan Nika selain kita?” tanya Roy pelan.
“Sedikit sekali orang yang tahu,” jawab Pramudya dengan suara serak. “Hanya gue , elu dan Shila...”