Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Beginning'4
Begitu tiba di Hamel, Araya tidak membuang waktu. "Aku mencari pria berambut merah dengan mata merah. Dia berpakaian seperti anggota kerajaan," kata Araya, napasnya sedikit terburu-buru.
Otsuki mengernyitkan dahi. "Itu bisa jadi banyak orang," jawabnya. "Apa ada petunjuk lain?"
Araya lalu melanjutkan, "Apa ada kejadian aneh di Hamel beberapa hari terakhir?"
Otsuki terdiam sejenak sebelum mengangguk. "Ya, ada. Ada ledakan besar. Saking hebatnya, wilayah di bawah Hamel berubah menjadi hutan bayangan yang tidak bisa ditinggali," jawabnya.
Mendengar itu, Araya tidak ragu lagi. Ia langsung berlari, melompat dari satu atap bangunan ke atap lainnya dengan lincah dan cepat.
Otsuki hanya bisa melihatnya, terkagum-kagum. Ia tahu ia tidak akan bisa mengejar Araya, jadi ia memutuskan untuk berjalan santai, yakin bahwa Araya tahu apa yang dilakukannya.
Namun, Araya tidak menuju ke hutan bayangan. Naluri sihirnya menuntunnya ke arah lain. Ia merasakan aliran mana yang berbeda dari manusia biasa, sebuah energi yang gelap namun juga familier. "Energi ini..." gumamnya.
Araya mengikuti aliran mana itu, melewati jalan-jalan yang sibuk dan gang-gang sempit, hingga tiba di sebuah menara tua yang sudah lama terbengkalai.
Dengan hati-hati, Araya masuk ke dalam menara itu. Ia menyadari bahwa energi mana yang ia rasakan semakin kuat. Ia tidak tahu siapa pria yang dicarinya, tetapi ia tahu bahwa ia berada di tempat yang benar, di mana takdir akan mempertemukannya dengan seseorang yang mungkin memiliki jawaban atas semua pertanyaannya.
Araya melewatkan menara itu, nalurinya menuntunnya ke arah lain. Ia melompat dari atap ke atap, hingga pandangannya tertuju pada sosok pria berjubah hitam yang berjalan sendirian di padang rumput yang luas di tengah senja. Energi mana yang dirasakan Araya semakin kuat, dan ia tahu, pria ini adalah orang yang dicarinya.
Araya turun dari atap, kakinya menginjak rumput, dan ia mulai berjalan mendekat. Pria itu menoleh, dan tatapan mereka bertemu.
Di hadapan Araya berdiri sosok pria dengan rambut merah darah, yang auranya sangat kuat. Entah mengapa, insting purba dalam diri Araya langsung mengenali kekuatan yang setara, bahkan mungkin melebihi dirinya.
Sebuah pertarungan singkat tak terhindarkan. Keduanya menguji batasan masing-masing, melancarkan serangan yang cepat dan mematikan. Pertarungan itu berakhir dengan kebuntuan, meninggalkan keduanya dengan kekaguman tersembunyi.
Setelah pertarungan usai, Araya mengatur napasnya yang sedikit terengah-engah, namun senyum tipis terukir di bibirnya. "Namaku Araya Yuki Yamada," katanya, memperkenalkan diri. Ia menatap pria itu dengan pandangan tajam. "Dan kau... aku tahu kau bukan dari dunia ini. Aku merasakan energi yang sama darimu, saat itu."
Pria itu tidak terkejut mendengar nama Araya Yuki Yamada, nama yang memiliki makna mendalam di semesta asalnya. Wajahnya menunjukkan campuran rasa penasaran dan kelegaan. "Namaku... Aragoto," jawabnya, menyamarkan identitas aslinya.
"Aragoto? Jangan bercanda," Araya hanya menyeringai. "Aku tahu siapa kau. Dan aku ingin mengajakmu ke Benua Shirayuki Sakura."
Araya menatap Aragoto dengan serius. "Aku akan melakukan penyerangan terhadap kerajaan yang dulu aku layani, Kerajaan Tirani. Aku butuh kekuatan sepertimu."
Aragoto menatap Araya, mencerna perkataan wanita berambut merah di hadapannya. Dunia ini memang tak terduga, pikirnya. Namun, tawaran itu untuk berjuang demi keadilan, untuk menghentikan tirani, mungkin adalah takdir baru yang ia cari.
Araya menatap pria di hadapannya dengan penuh tekad. "Namamu bukan Aragoto. Namamu Royal Indra Aragoto," ucapnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Ikutlah denganku."
Aragoto terkejut, namun dengan cepat ia menyembunyikan keterkejutannya. "Kenapa aku harus ikut denganmu?" tanyanya.
Araya tersenyum. "Karena aku tahu ada sesuatu yang kau cari di sana, dan kau akan menemukannya." jawabnya, matanya menatap dalam mata merah Aragoto.
Untuk sesaat, Araya melihat keraguan di mata Aragoto, dan ia takut harapan akan pupus.
Namun, Aragoto menghela napas. "Baiklah," katanya, membuat Araya terkejut. "Tapi panggil saja aku R.I."
Araya tersenyum lega. Janji Yukio untuk bertemu pria ini telah terwujud. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia yakin bahwa takdir telah mempertemukan mereka.
Tidak lama kemudian, Otsuki tiba di padang rumput, napasnya sedikit terengah. "Araya, kau sudah menemukannya?" tanyanya.
Araya mengangguk, menunjuk R.I. yang berdiri di sampingnya. "Ya, Otsuki. Dia orang yang aku cari."
Tanpa basa-basi, Otsuki segera merapalkan mantra sihir pemindahan. Cahaya kebiruan kembali menyelimuti mereka bertiga.
Dalam sekejap mata, mereka tiba kembali di Kuil Shirayuki. Di sana, mereka disambut oleh Evelia, Nuita, Ninaya, dan Riana, yang terkejut melihat Araya tidak sendirian.
Mereka semua memandang ke arah R.I., menyadari bahwa kedatangan pria ini akan membawa perubahan besar pada misi mereka.
R.I. terkejut melihat Evelia di hadapannya. Di semesta asalnya, Evelia adalah seorang gadis yang sangat ia kenal menjadi istrinya, begitu juga Ninaya, yang di dunianya adalah saingan berat Evelia dan sudah menikah dengan temannya bernama Kizana. Ia juga melihat Riana, yang di semestanya adalah adiknya, dan Nuita, yang merupakan sepupu mereka.
R.I. menyembunyikan keterkejutannya dengan baik, ia tetap diam dan membiarkan Araya menjelaskan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengungkapkan apa pun yang ia ketahui, karena itu akan merusak garis waktu dan takdir yang telah ditentukan.
Araya lalu memulai ceritanya, ia menjelaskan semua yang terjadi, kecuali bagian yang melibatkan dirinya dari semesta lain. Ia bercerita tentang Yukio, tentang bagaimana wanita itu mengumpulkan dan mengadopsi mereka, tentang kehidupan mereka yang damai di bawah gunung, dan bagaimana Yukio meninggal dunia dengan pesan terakhir untuk membebaskan benua ini dari kerajaan tirani. Araya juga menceritakan bagaimana Irago meninggal, dan bagaimana ia datang ke sini untuk menemukan pria yang telah diramalkan oleh Yukio.
R.I. mendengarkan setiap kata, memproses informasi yang Araya berikan. Ia memandang ke arah utara, di mana Kerajaan Tirani berdiri. Dari kejauhan, kastil raja memancarkan cahaya merah yang mengerikan, sebuah cahaya yang hanya bisa ia lihat karena kekuatannya. R.I. tahu bahwa raja itu bukan dari dunia ini, dan ia merasa bertanggung jawab untuk menghentikannya.
Setelah Araya selesai bercerita, R.I. hanya bisa mengangguk, ia menatap Araya dan yang lainnya. "Jadi, tujuan kita sama," katanya, suaranya tenang namun penuh tekad. Ia tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke dunianya sampai ia menyelesaikan misinya di sini. Dan ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian.
Setelah diskusi panjang, malam tiba dan semua orang beristirahat di dalam kuil. Araya keluar dan mendapati R.I. sedang duduk sendirian di luar, memandang ke langit yang bertabur bintang.
Araya mendekatinya, duduk di sampingnya. Ia tahu takdir telah mempertemukan mereka, dan ada hal-hal yang tidak perlu dijelaskan dengan kata-kata. Araya tahu bahwa R.I. tidak akan pernah kembali ke semestanya karena dunianya sudah hancur. Ia juga tahu bahwa R.I. adalah paradoks, putra dari Araya yang belum lahir, yang datang dari semesta lain.
R.I. memecah keheningan, "Jadi, di mana putramu?" tanyanya, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu.
Araya tersenyum lembut dan menunjuk ke perutnya. "Di sini," jawabnya dengan polos. R.I. merasa canggung. Ia tidak menyangka akan menemukan dirinya dalam situasi yang aneh ini, bertemu dengan sosok kakak sepupunya di semesta lain yang sedang mengandung dirinya. "Kau bisa santai saja," kata Araya, seolah bisa membaca pikiran R.I.
R.I. kemudian menceritakan bagaimana sosok Araya di dunianya. "Di semestaku, kau adalah kakak Ninaya yang menyeramkan. Dan ibuku bernama Nia Sayaka, bukan Araya," katanya.
Araya hanya terkekeh, "Setiap semesta itu berbeda." Araya tahu bahwa R.I. bukanlah putranya yang sebenarnya, tetapi ia adalah Expy, versi lain dari putranya yang akan lahir. "Aku tahu kau ingin menyelamatkan Evelia di semesta ini," ucap Araya, menunjukkan bahwa ia juga memahami motivasi R.I.
Setelah percakapan mereka, Araya berdiri. "Aku masuk dulu," katanya. "Beristirahatlah." Sebelum masuk, Araya berbalik dan tersenyum. "Kau bisa menganggapku sebagai kakakmu di semesta ini."
R.I. menatap Araya, merasakan kehangatan yang tak ia kenal. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian, dan takdir telah memberikannya sebuah keluarga baru.
Keesokan harinya, fajar menyingsing di Gunung Shirayuki. Evelia, yang bangun lebih awal, melihat R.I. sedang duduk menyendiri di luar kuil, menatap langit. Ia ingin menyapa, namun rasa malu menghentikannya. Ia membatalkan niatnya dan melanjutkan langkahnya menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.
Menjelang siang, Araya mengumpulkan mereka semua dan mulai menyusun rencana. "Aku akan menyusup ke dalam kastil seperti yang sudah kita rencanakan," ujarnya, "dan R.I., kau akan membuka jalan untukku." Lalu Araya menunjuk ke arah Evelia, Nuita, dan Ninaya, "Kalian bertiga akan mengevakuasi penduduk di sekitar kastil. Mereka tidak boleh menjadi korban perang ini."
Araya kemudian menatap Riana, "Riana, aku ingin kau ikut menyusup denganku." Riana terkejut. "Aku? Tapi kenapa, Kakak?" tanyanya.
Araya tersenyum tipis. "Saat aku masih bekerja di kerajaan, aku melihat seorang gadis yang sangat mirip denganmu," jawabnya. "Kau pernah bilang kau punya adik perempuan, bukan? Aku yakin gadis itu adalah adikmu."
Riana mengangguk, matanya berkaca-kaca. Selama ini ia mengira adiknya telah tiada, dan kini ada harapan baru. Ia bertekad untuk ikut dengan Araya. Setelah semua rencana jelas, Araya dan Riana menemui Otsuki, Roseline, Jeon, dan Irene.
Araya memaparkan rencana mereka, dan para pemimpin dari Benua Hanie dan Feita itu menyetujuinya. Mereka tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri tirani Raja.
"Kami akan mendukung kalian dari belakang," kata Jeon, suaranya dipenuhi tekad. Irene mengangguk, "Dan kami akan menjaga penduduk yang dievakuasi."
Otsuki lalu menatap Araya dan Riana. "Semoga berhasil," katanya. Rencana ini adalah langkah paling berani yang pernah mereka ambil, sebuah langkah yang akan menentukan nasib seluruh benua.
Rencana yang telah mereka susun dengan hati-hati kini mulai dilaksanakan. Evelia, Nuita, Ninaya, Jeon, Irene, Otsuki, dan Roseline bergerak sigap, mengevakuasi penduduk di sekitar kastil.
Mereka memimpin penduduk menuju lokasi aman yang telah mereka tentukan, menjauhkan mereka dari pertempuran yang tak terhindarkan. Sementara itu, di garis depan, R.I. berjalan sendirian menuju kastil.
Sebelumnya, Araya telah menempa sebuah pedang khusus dengan sihirnya, pedang yang dibuat hanya untuk R.I.
Saat Araya memberikan pedang itu kepadanya, pedang itu menyatu dengan tubuh R.I., menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.
Araya tersenyum, yakin bahwa pedang itu kini menjadi bagian dari R.I. dan akan membantunya dalam pertempuran.
.
.
.
.
.
Kembali ke saat sekarang, R.I. mulai membuka jalan. Dengan pedangnya, ia menyerang barisan terdepan para penjaga kastil dengan brutal dan cepat. Gerakannya begitu lincah dan mematikan, ia mengayunkan pedangnya dengan begitu mudah.
Dalam waktu singkat, ia berhasil menciptakan celah yang cukup besar. "Cepat!" teriak R.I. kepada Araya yang berdiri dari kejauhan.
Tanpa membuang waktu, Araya dan Riana berlari masuk ke dalam kastil, memanfaatkan celah yang telah dibuat R.I. Mereka berdua berhasil menyusup, siap untuk menghadapi takdir mereka di dalam benteng Kerajaan Tirani.
Saat berlari di sepanjang lorong-lorong gelap dan suram, Araya dan Riana menghadapi prajurit kerajaan yang kini telah terkontaminasi iblis.
Aura iblis yang mengerikan terpancar dari setiap prajurit, membuat mereka menjadi musuh yang sulit dikalahkan. Namun, Araya tidak gentar. Ia menggabungkan teknik pedangnya dengan sihir, melancarkan serangan yang mematikan dan efektif.
Setiap ayunan pedang Araya disertai dengan ledakan sihir, membuat para prajurit iblis itu terlempar mundur.
Riana tidak tinggal diam. Ia menggunakan sihirnya untuk memberikan dorongan pada Araya, membuatnya bergerak lebih cepat dan lincah.
"Sihirku akan memberikan dorongan!" seru Riana, menciptakan gelombang energi yang mendorong Araya maju. Ketika mereka terdesak, Riana juga mencabut pedang yang ia bawa, bertarung bersama Araya. Meskipun tidak sekuat Araya, ia mampu mengimbangi serangan, melindungi Araya dari belakang.
"Kau harus kuat, Riana," kata Araya, napasnya memburu. "Kita tidak boleh gagal."
Riana mengangguk, matanya bertekad. "Aku tahu, Kakak. Aku harus menemukan adikku. Aku tidak akan menyerah sampai aku melihatnya."
Bersama-sama, mereka berdua terus maju, menembus setiap barisan musuh, menuju pusat kerajaan, di mana Raja Tirani menunggu.
Mereka berdua terus maju, menyisakan jejak kehancuran di belakang mereka. Semua prajurit iblis di dalam kastil telah dibantai habis. Saat mereka berjalan, Araya tidak sengaja menginjak sebuah jebakan.
Sebuah bagian dari lantai tiba-tiba terbuka, membuat Araya jatuh ke ruangan rahasia di bawahnya. Sebelum ia terpisah sepenuhnya dari Riana, Araya berteriak, "Riana! Gadis itu ada di menara sebelah barat! Lari ke sana!"
Dengan hati berdebar, Riana mengangguk dan melanjutkan larinya. Ia tidak bisa membantu Araya sekarang, satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah menemukan adiknya. Ia berlari sekuat tenaga, mengikuti petunjuk Araya.
Sementara itu, Araya mendapati dirinya berada di sebuah lorong yang tidak ia kenali. Lorong itu gelap dan sunyi, berbeda dengan lorong-lorong yang penuh prajurit iblis di atas.
Araya melanjutkan larinya, berharap bisa menemukan jalan keluar dan bergabung kembali dengan Riana. Ia tidak tahu apa yang menantinya di depan, tetapi ia memiliki keyakinan bahwa ia akan berhasil. Ia tidak bisa membiarkan pengorbanan Irago sia-sia. Ia harus terus maju, tidak peduli apa pun yang terjadi.
Riana berlari sekuat tenaga, menelusuri lorong-lorong gelap sesuai arahan Araya. Sesampainya di sebuah ruangan, ia terkejut melihat pemandangan di hadapannya.
Banyak orang dikurung dalam sel, tubuh mereka dipenuhi luka. Riana segera mulai membebaskan mereka satu per satu, meyakinkan mereka bahwa mereka akan aman. Namun, saat ia membebaskan seorang gadis yang terlihat sangat lemah, ia menyadari bahwa gadis itu tidak bangun meskipun masih bernapas.
"Bangunlah," bisik Riana, menggenggam tangan gadis itu. "Kita harus pergi dari sini." Tapi tidak ada respons. Riana merasa cemas. Ia tidak bisa meninggalkannya. Ia harus menyelamatkan gadis itu, karena ia yakin gadis ini adalah adiknya.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang cepat dan berat terdengar mendekat. Riana merasa takut. Ia segera menempatkan dirinya di depan gadis yang tidak sadarkan diri itu, menghunus pedangnya dan bersiap untuk bertarung. Jantungnya berdebar kencang. Namun, suara langkah kaki itu berhenti tepat di luar pintu ruangan.
.
.
.
.
.
.
Araya terus menelusuri lorong yang asing itu, langkahnya membawa ia pada sebuah ruangan yang megah namun diselimuti kegelapan yang pekat.
Araya menelan ludah, firasatnya mengatakan ia berada di tempat yang benar. Ia menguatkan tekadnya, melanjutkan langkahnya memasuki ruangan itu, siap menghadapi apapun yang menantinya.
.
.
.
.
.
Di sisi lain, Riana yang telah bersiap untuk bertarung, dikejutkan oleh kemunculan R.I. dan Ninaya.
"Di mana Araya?" tanya R.I. dengan nada mendesak. Riana, yang lega melihat mereka, menjelaskan bahwa ia dan Araya berpisah karena jebakan.
"Dia jatuh ke ruangan rahasia," ucap Riana, "Aku tidak tahu di mana tepatnya, tapi... dia jatuh ke lantai paling bawah."
Mendengar itu, R.I. langsung bergerak cepat, meninggalkan mereka. "Aku akan mencarinya!" serunya.
Sementara R.I. menyusul Araya, Ninaya tetap di sana, membantu Riana membebaskan para tahanan.
"Kita harus mengeluarkan mereka semua dari sini," kata Ninaya sambil memapah seorang tahanan yang terluka.
Riana mengangguk, merasa bersyukur Ninaya dan R.I. datang. Mereka berdua bekerja sama, mengevakuasi semua tahanan keluar dari kastil yang berbahaya ini, menuju tempat yang lebih aman.
Araya akhirnya tiba di ruang takhta Raja Tirani. Ruangan megah itu kini dipenuhi aura kegelapan, dan di singgasananya, sang raja duduk dengan wujud yang mengerikan. Kulitnya kini tertutup sisik hitam, dan tanduk iblis mencuat dari kepalanya. Ia tersenyum sinis melihat kedatangan Araya.
...
...
"Lihatlah, pahlawan kecil kita akhirnya datang," katanya, suaranya dipenuhi cibiran. "Kau sungguh berani, sama seperti wanita lemah yang mengadopsimu..."
Mendengar Yukio yang dimaksud, Araya mengepalkan tinjunya, namun ia membalas dengan suara dingin. "Tutup mulutmu," ucapnya. "Kau tidak berhak menyebut namanya."
Raja tertawa. "Oh, aku berhak," jawabnya. "Aku yang mengirimkan para iblis itu untuk memusnahkan desanya. Dan aku juga yang membunuh putra angkatnya, Irago." Ucapan Raja bagaikan belati yang menusuk hati Araya.
Araya menatap Raja dengan mata penuh kemarahan. "Kau akan membayar semua yang telah kau lakukan," katanya, pedangnya sudah terhunus. "Aku datang ke sini untuk mengakhiri tiranimu."
Raja hanya tersenyum mengejek. "Kau pikir kau bisa mengalahkanku?" tanyanya. "Kau hanya seorang gadis. Kekuatanmu tidak sebanding dengan kekuatanku."
Pertarungan dimulai. Araya melesat maju, melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pedangnya. Setiap ayunan pedang Araya membawa kekuatan sihir yang luar biasa, berpadu dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata telanjang.
Sang Raja Iblis, yang duduk di singgasananya, membalas setiap serangan Araya dengan mudah. Ia tersenyum, menyadari bahwa kekuatan Araya kini setara dengan kekuatannya.
"Kau sudah menjadi kuat," ejeknya. "Tapi kau masih menggunakan teknik pedang wanita lemah itu. Mengapa?"
Araya tidak menanggapi, ia hanya fokus pada serangannya. Ia tahu bahwa kata-kata raja itu hanya untuk memancing emosinya, dan ia tidak akan membiarkan dirinya jatuh ke dalam perangkap itu. Ia terus menyerang, melayangkan pukulan dan ayunan pedang, membuat Raja Iblis terdesak.
"Ini bukan hanya tekniknya," ucap Araya, suaranya dingin, "Ini adalah warisannya, dan aku akan menggunakannya untuk menghancurkanmu."
Pertarungan yang mereka lakukan sangat dahsyat, energi sihir dan kekuatan fisik saling beradu, menyebabkan seluruh bangunan kastil bergetar. Getaran itu sangat kuat, hingga R.I. yang berada di lorong bawah menyadarinya. Ia tahu, Araya sedang bertarung dengan Raja Iblis, dan ia tidak boleh membuang waktu. Ia berlari lebih cepat, mengikuti getaran itu, menuju lokasi Araya.
Araya melancarkan serangannya tanpa henti. Ia mengayunkan pedangnya, dan setiap ayunan menciptakan bilah-bilah darah yang melesat cepat ke arah Raja.
Teknik yang ia gunakan, Blood Cutter, adalah salah satu teknik rahasia klan Yamada yang telah ia pelajari secara diam-diam. Serangannya semakin brutal, ia menggabungkan teknik itu dengan teknik pedang Sakura no Yuki Yukio. Hasilnya, bilah darah berpadu dengan salju dan es, menciptakan kombinasi mematikan yang membuat Raja Iblis terdesak.
"Darah... kau adalah keturunan dari klan Yamada," ucap Raja Iblis, suaranya dipenuhi cibiran. "Mereka adalah para manipulator darah yang pengecut. Mereka selalu bersembunyi di balik kegelapan. Kau tidak akan bisa mengalahkanku dengan teknik rendahan seperti itu!"
Namun, Araya tidak peduli. Ia terus melanjutkan serangannya, wajahnya dingin dan penuh tekad. Ia tahu Raja hanya mencoba memprovokasinya, dan ia tidak akan jatuh ke dalam jebakan itu.
Araya memfokuskan seluruh kekuatannya. Ia lalu melancarkan serangan pamungkasnya, Dread Blood, sebuah teknik yang sangat kuat yang membuat seluruh darah di tubuhnya menjadi pedang. Raja Iblis, yang melihat itu, terkejut. Ia tidak menyangka Araya memiliki kekuatan sebesar itu.
"Ini bukan teknik rendahan," balas Araya, suaranya rendah dan penuh kemarahan. "Ini adalah warisan klanku, dan ini akan mengakhiri dirimu." Pertarungan mencapai puncaknya.
Tiba-tiba, saat Araya hendak menghindari sebuah serangan, ia terpeleset. Ia tahu ia tidak bisa menghindarinya. Serangan itu akan menjadi serangan terakhirnya. Namun, sebuah meriam penghancur meluncur ke arah raja iblis. Meriam itu mengenai sang raja dengan telak, membuatnya terpental hingga menghancurkan dinding di belakangnya.
Araya menoleh, terkejut melihat R.I. berdiri di pintu masuk, meriam di tangannya masih berasap. Araya tersenyum lega. "Kau tepat waktu," serunya.
R.I. hanya mengangguk, melangkah maju. "Aku tahu kau tidak akan bisa mengalahkannya sendirian."
Sang raja iblis bangkit, menatap Araya dan R.I. dengan mata merahnya yang menyala. "Dua lawan satu? Curang sekali," ejeknya.
R.I. tidak membalas. Ia hanya mengangkat meriamnya, siap bertarung. Araya melangkah maju, berdiri di samping R.I. Ia tidak lagi merasa sendirian.
Kini, Araya dan R.I. siap menghadapi sang raja iblis bersama-sama, bertekad untuk membalas kematian Irago dan memenuhi janji mereka kepada Yukio. Mereka tahu, pertempuran ini akan menjadi akhir dari tirani yang telah lama berkuasa.
"Beritahu aku apa yang terjadi dengannya," kata R.I. singkat, matanya fokus pada Raja Iblis.
Araya, sambil tersenyum lega karena bantuan telah datang, menjelaskan dengan cepat, "Dia adalah Raja Tirani, tapi dia membuat perjanjian dengan iblis Argus. Dia menyerap kekuatan iblis-iblis yang dia kalahkan." Araya melanjutkan, "Dia membunuh Irago, kekasihku, di depan mata teman-temanku."
Mendengar penjelasan itu, wajah R.I. berubah. Kemarahannya terlihat jelas. "Makhluk itu... aku pernah bertemu makhluk yang sama seperti ini di Benua Hanie," gumamnya, suaranya dipenuhi rasa muak. "Dia menggunakan kekuatan orang lain dan menghancurkan semua yang ada di hadapannya."
Araya melihat R.I. yang dipenuhi amarah, dan ia tahu ia harus menenangkannya. "Kali ini yang paling buruk," ucap Araya, mencoba menenangkan R.I. "Dia tidak akan bisa menyerap kekuatan kita. Kita akan menghadapinya bersama."
...
...