Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
AKP Daniel Tirtayasa melangkah melewati garis polisi, meninggalkan dunia luar yang mulai riuh oleh suara radio dan langkah-langkah sepatu bot. Saat ia memasuki ambang pintu kapel, seluruh kebisingan itu seolah terhisap ke dalam sebuah vakum. Di dalam sini, yang ada hanyalah keheningan yang berat dan sakral, sebuah keheningan yang kini telah dinodai secara brutal.
Ruangan itu sederhana, jujur dalam kemiskinannya. Bangku-bangku kayu pinus yang sudah usang berbaris rapi. Dindingnya yang dicat putih di beberapa bagian sudah menggelembung karena lembap. Di udara, tergantung aroma yang aneh dan berlapis: wangi manis dari lilin yang telah lama padam, bau apak dari kayu tua, dan di bawah semua itu, aroma lain yang langsung dikenali oleh Daniel: aroma logam yang anyir dari kehidupan yang tumpah.
Matanya tidak langsung tertuju pada pusat tragedi. Sebagai seorang detektif berpengalaman, ia telah melatih dirinya untuk membaca sebuah ruangan dari tepiannya terlebih dahulu. Ia memindai setiap sudut, setiap bayangan. Tetapi pada akhirnya, tatapannya tak terhindarkan lagi tertarik pada sosok yang berlutut di depan altar.
Ipda Adit dan Bripka Roni berdiri kaku di dekat pintu, memberikan ruang bagi komandan mereka. Daniel bisa merasakan gelombang keterkejutan yang masih memancar dari detektif mudanya itu. Ia tahu persis apa yang dirasakan Adit. Ia pernah berada di posisi itu.
Daniel berjalan maju, langkahnya pelan dan terukur, tidak ingin mengganggu apa pun. Ia berhenti beberapa meter dari tubuh Lukas Santoso. Pemandangan itu begitu kontradiktif hingga terasa sureal. Posisi tubuhnya begitu tenang, begitu pasrah dalam doa, sebuah gambaran dari iman di saat-saat terakhir. Namun, kekerasan yang menimpa tubuh itu adalah antitesis dari kedamaian; sebuah badai brutal yang tercetak di atas kanvas daging.
Dan saat itulah, pemandangan itu memicu sesuatu di dalam diri Daniel.
Gudang tua. Cakung. Dua belas tahun lalu.
Pikiran Daniel terlempar. Tiba-tiba, bukan lagi bau darah yang ia cium, melainkan bau hujan dan beton basah. Lima menit. Ia terlambat lima menit.
Di hadapannya, bukan pria berlutut, tapi tubuh kecil di lantai dingin. Pita rambut merah.
Rasa dingin dari kegagalan itu kembali menjalari tulang punggungnya. Aku percaya. Suara gadis itu, atau hanya tulisannya di jendela yang berembun? Aku tahu polisi datang.
Kepercayaan.
Kalimat itu telah menjadi cambuk sekaligus bahan bakar bagi Daniel selama bertahun-tahun. Kepercayaan dari mereka yang tak lagi bersuara. Dan kini, saat ia menatap tubuh Lukas Santoso yang berlutut, ia merasakan beban kepercayaan itu lagi. Pria ini, dalam saat-saat terakhirnya, sedang menaruh kepercayaannya pada sesuatu yang lebih besar. Dan ia telah gagal dilindungi.
Daniel mengerjapkan mata, menarik dirinya kembali dari pusaran ingatan yang kelam itu. Ia kembali ke masa kini, ke dalam kapel di Tanah Abang. Rasa sakit dari masa lalu itu tidak membuatnya lemah; sebaliknya, itu menajamkan fokusnya menjadi setajam ujung pisau bedah. Ia tidak akan gagal lagi. Tidak di kasus ini.
Ia berbalik, matanya yang tenang kini menatap Ipda Adit. Ia bisa melihat dengan jelas guncangan yang masih tersisa di mata detektif muda itu campuran antara ngeri, bingung, dan adrenalin.
“Adit,” kata Daniel, suaranya rendah dan terkendali, memotong lamunan Adit. “Aku mau kau bicara dengan anak yang menemukan korban. Namanya Bagas, kan?”
Adit mengangguk kaku. “Siap, Ndan.”
“Dapatkan kesaksian lengkapnya. Tanyakan semua yang ia lihat dan dengar, sekecil apa pun detailnya,” lanjut Daniel. “Tapi yang lebih penting dari itu, pastikan dia merasa aman. Jauhkan dia dari sini, dari para wartawan. Temani dia sampai ada psikolog dari unit PPA yang datang. Itu tugas utamamu sekarang. Mengerti?”
Perintah itu adalah sebuah ujian sekaligus sebuah belas kasihan. Adit mengerti. Komandannya tidak hanya memberinya tugas, tetapi juga memberinya alasan untuk menjauh dari pusat kengerian ini, untuk fokus pada korban yang masih hidup.
“Mengerti, Ndan. Laksanakan.”
Saat Adit bergegas keluar, Daniel beralih ke tim INAFIS yang telah menunggu dengan sabar di ambang pintu. “Sisir ruangan ini dalam pola grid, mulai dari pintu masuk. Aku mau setiap helai serat, setiap jejak potensial didokumentasikan sebelum ada yang melangkah lebih jauh. Jangan sentuh cermin itu sampai aku beri aba-aba. Aku mau foto dari setiap sudut.”
Perintahnya yang tenang dan jelas membawa sebuah tatanan pada kekacauan itu. Tim mulai bergerak dengan efisiensi yang senyap, seperti kru panggung yang sedang mempersiapkan sebuah drama yang kelam.
Dengan timnya yang sudah bekerja, Daniel akhirnya memberikan dirinya waktu untuk benar-benar “membaca” adegan utama. Ia tidak mendekat. Sebaliknya, ia berlutut di tempatnya berdiri, menurunkan level pandangannya agar setara dengan posisi kepala Lukas. Ia mencoba melihat apa yang dilihat oleh sang korban di saat-saat terakhirnya.
Di depannya, lurus di atas altar, tergantung sebuah salib kayu sederhana. Itulah pemandangan terakhir Lukas. Sebuah simbol harapan.
Ini bukan amarah, pikir Daniel dalam hati. Amarah itu berantakan, impulsif, meninggalkan jejak kekacauan. Ini berbeda. Ini… bersih. Terkendali. Hampir terasa… khidmat.
Pikiran itu membuatnya bergidik. Pelaku ini tidak membenci korbannya. Dia melakukan ini bukan karena dendam pribadi. Dia melakukan ini karena sebuah keyakinan.
Daniel berdiri dan akhirnya mendekati cermin itu. Ia membaca ayat yang ditulis dengan darah. Sebagai seorang pria yang membaca Alkitab setiap pagi, ia langsung mengenali referensinya. Roma 6:23. Tetapi ia juga tahu apa yang sengaja dihilangkan oleh si penulis. Bagian tentang karunia Tuhan dan hidup yang kekal.
Sang Hakim hanya mengutip bagian tentang penghakiman. Ia telah memelintir firman Tuhan menjadi sebuah surat vonis mati. Ini bukan lagi sekadar petunjuk; ini adalah sebuah tantangan teologis. Sebuah penistaan yang dilakukan oleh seseorang yang sangat memahami materi yang ia nistakan.
Di sinilah Daniel tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan jenis predator yang berbeda. Bukan serigala biasa yang membunuh karena lapar atau terancam. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih benar.
Ia melangkah keluar dari kapel, kembali ke udara fajar yang mulai menghangat. Kontras antara keheningan ritualistik di dalam dan kesibukan profesional di luar terasa begitu tajam. Ia tahu kasus ini akan membutuhkan lebih dari sekadar prosedur kepolisian standar.
Ia mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah nomor dari daftar kontak cepatnya.
Panggilan itu dijawab setelah dua dering, suara di seberang terdengar tenang dan sedikit serak karena baru bangun. “Samuel.”
“Sam? Daniel,” katanya pelan, sambil berjalan menjauh dari keramaian. “Maaf mengganggu pagimu.”
“Tidak masalah. Panggilan darimu di jam seperti ini biasanya berarti ada hal yang menarik,” jawab suara itu, ada sedikit nada geli yang kering.
“Aku punya sesuatu untukmu di Tanah Abang,” kata Daniel. “Bukan sekadar pembunuhan biasa. Ini sebuah teater. Sebuah khotbah.”
Hening sejenak di seberang. Daniel bisa membayangkan pikiran analitis temannya itu mulai bekerja.
“Khotbah, katamu?” Suara Samuel kini terdengar lebih tertarik. “Lanjutkan.”
“Kau harus melihatnya sendiri,” kata Daniel. “Aku butuh kau di sini, Sam. Bukan hanya matamu sebagai ahli forensik. Kali ini, aku benar-benar butuh pikiranmu.”
“Aku segera ke sana.”
Panggilan itu berakhir. Daniel memasukkan kembali ponselnya ke saku. Ia menatap kembali ke arah kapel. Ia baru saja mengundang pikiran yang paling logis dan paling ilmiah yang ia kenal ke dalam sebuah kasus yang terasa begitu spiritual dan bengis. Ia butuh logika Samuel untuk membedah kekacauan ritual ini. Ia butuh sains untuk melawan iman sesat.
Untuk saat ini, ia tidak punya pilihan lain. Ia tahu ia tidak bisa menghadapi serigala jenis ini sendirian.