Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. PELAJARAN PERTAMA
..."Di antara aroma bawang goreng dan luka yang perlahan sembuh, dua jiwa belajar bahwa penyembuhan kadang dimulai dari hal paling sederhana: seiris rasa, setetes sabar, dan keberanian untuk kembali percaya."...
...---•---...
Doni menunggu, tidak memaksa. Ia tahu momen ini penting. Apa pun yang ingin Naira katakan datang dari tempat yang rapuh.
Tapi Naira menggeleng pelan, tersenyum tipis. "Tidak, lupakan. Nanti saja." Ia meraih *apron* dari tangan Doni. "Mari kita mulai."
Doni membantu Naira mengikat apron di belakang. "Sebelum mulai, boleh minta sesuatu?"
"Apa?"
"Panggil aku Doni saja. 'Pak Doni' terlalu formal buat masak bareng." Ia tersenyum. "Aku juga akan panggil kamu dengan 'kamu'. Boleh?"
Naira terdiam sejenak, lalu senyum kecil muncul di wajahnya. "Boleh. Malah lebih enak. Selama ini aku merasa kayak masih ada dinding antara kita."
Doni mengikat apronnya sendiri. "Oke. Tapi kita tidak langsung ke nasi goreng. Mulai dari dasar dulu."
"Dasar apa?"
"Cara motong bawang." Doni mengeluarkan bawang merah dan bawang putih dari rak. "Kedengarnya sepele, tapi ini fondasi dari hampir semua masakan. Kalau kamu bisa potong bawang dengan benar, setengah kemampuan memasak sudah masuk."
Naira berdiri di sebelah Doni, di depan talenan. Tangannya meremas ujung kaus.
"Santai," kata Doni sambil menyerahkan pisau koki yang lebih kecil. "Ini bukan ujian. Cuma kamu, aku, dan bawang merah yang sangat sabar."
Naira tertawa kecil, mengambil pisau dengan hati-hati. "Aku takut kena jari sendiri."
"Makanya kita belajar teknik yang aman." Doni meletakkan satu siung bawang merah di talenan Naira. "Pertama, kupas kulitnya. Pelan saja, tidak usah buru-buru."
Naira mengupas bawang dengan gerakan hati-hati, seperti membuka hadiah yang mudah pecah. Kulitnya lepas, bawang merah berkilau di bawah lampu dapur.
"Bagus. Sekarang potong ujung atasnya, sedikit saja. Lalu belah dua memanjang, dari atas ke bawah."
Pisau bergerak lambat tapi stabil di tangan Naira. Bawang terbelah dua dengan rapi.
"Sempurna. Sekarang taruh bagian yang rata di talenan. Tahan pakai tangan kiri, jari-jari dilipat seperti cakar, begini." Doni memperagakan dengan tangannya sendiri, jari-jari melengkung ke dalam, buku jari paling depan jadi panduan pisau. "Supaya kalau pisau slip, yang kena buku jari, bukan ujung jari."
Naira meniru posisi tangan Doni, meski masih kaku. "Seperti ini?"
"Iya, santai sedikit jari-jarinya. Pisau tidak akan gigit kalau kamu yang kontrol." Doni berdiri sedikit di belakangnya, mengamati. "Sekarang iris tipis-tipis. Gerakkan pisau maju-mundur seperti gergaji, bukan ditekan ke bawah."
Naira mulai mengiris. Gerakannya lambat tapi fokus. Irisan pertama belum seragam, ada yang tebal ada yang tipis. Tapi ia terus mencoba.
"Bagus, terus aja. Tidak perlu sempurna di percobaan pertama."
Setelah satu bawang merah selesai dipotong, Naira menatap hasilnya dengan mata berbinar. "Aku baru aja potong bawang!"
Antusiasmenya membuat Doni tertawa. "Iya, dan kamu melakukannya dengan baik. Sekarang coba satu lagi, lihat bisa lebih rata tidak."
Bawang merah kedua dipotong dengan lebih percaya diri. Irisannya lebih rapi, gerakannya lebih lancar. Naira tersenyum lebar saat selesai.
"Ini lebih bagus!"
"Pasti. Kamu cepat belajar." Doni mengambil wajan kecil, menuang sedikit minyak. "Sekarang kita goreng bawang yang kamu potong tadi. Ini bakal jadi bawang goreng buat topping."
Naira menonton dengan serius saat Doni memasukkan irisan bawang ke minyak panas. Suara desis memenuhi dapur, aroma bawang goreng mulai menguar.
"Apinya harus kecil," jelas Doni sambil mengaduk perlahan dengan sumpit kayu. "Kalau api besar, bawang gosong di luar tapi mentah di dalam. Api kecil, sabar, aduk terus. Goreng bawang itu kayak meditasi, tidak bisa buru-buru."
"Berapa lama biasanya?"
"Sampai warnanya cokelat keemasan. Sekitar lima sampai tujuh menit." Doni terus mengaduk dengan gerakan memutar. "Kamu mau coba?"
Naira mengambil sumpit dari tangan Doni dan menggantikan posisinya di depan kompor. Ia mengaduk dengan hati-hati, matanya fokus pada bawang yang perlahan berubah warna dari putih ke cokelat muda.
"Rasanya... menenangkan," kata Naira pelan. "Cuma berdiri di sini, aduk, dan tunggu."
"Itu sebabnya aku suka masak. Dunia di luar bisa berantakan, tapi di dapur ada aturan yang jelas. Ada sebab-akibat yang bisa diprediksi. Api kecil, waktu cukup, hasilnya bagus. Sederhana."
Bawang goreng sudah keemasan sempurna. Doni mematikan api, membantu Naira mengangkat bawang dengan saringan kawat, lalu meniriskannya di atas tisu dapur.
"Coba satu." Doni mengambil sehelai bawang goreng yang sudah agak dingin dan memberikannya ke Naira.
Naira memasukkannya ke mulut. Matanya membesar. "Renyah! Dan wangi!"
"Karena kamu yang buat. Makanan buatan sendiri selalu terasa lebih enak karena ada usaha dan cinta di dalamnya."
Naira menatap bawang goreng di atas tisu dapur. Wajahnya bergetar halus. "Aku tidak pernah merasa bangga sama sesuatu yang aku buat dengan tangan sendiri. Semua pencapaian aku selalu soal akting, soal film, soal penghargaan. Tapi ini..." Ia mengambil sehelai bawang goreng lagi, "ini hal kecil yang aku buat, dan aku bangga."
Hangat menjalar di dada Doni. "Karena ini nyata. Bukan performa buat orang lain. Ini murni buat kamu."
Mereka berdiri di dapur, berbagi bawang goreng buatan Naira, tertawa saat ada yang terlalu asin atau gosong di ujung. Dalam momen sederhana itu, dengan tangan berbau bawang dan *apron* sedikit kotor, Naira merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: kebahagiaan tanpa syarat.
"Terima kasih," katanya pelan, menatap Doni. "Sudah ajarin aku. Sudah sabar. Sudah tidak ketawain pas aku motong bawang kayak orang baru pegang pisau."
"Karena memang baru pertama kali. Tidak ada yang perlu diketawain dari seseorang yang lagi belajar." Doni mulai membersihkan talenan. "Dan kamu natural. Aku sudah ajarin banyak orang masak, dan kamu termasuk yang cepat tangkap."
"Bohong. Aku super lambat tadi."
"Lambat karena hati-hati. Itu bagus. Lebih baik lambat tapi aman daripada cepat tapi potong jari." Doni menunjukkan pisaunya. "Aku punya koleksi luka di jari gara-gara dulu terlalu percaya diri dan motong terlalu cepat."
Naira menatap jari-jari Doni yang memang punya bekas luka kecil di beberapa tempat. "Sakit tidak?"
"Awalnya iya. Tapi Sari dulu bilang, setiap luka di jari koki itu kayak lencana kehormatan. Bukti kalau kita benar-benar turun tangan, bukan cuma teori."
"Sari pasti koki yang hebat."
"Iya, yang terbaik. Bukan karena tekniknya sempurna, tapi karena dia masak pakai hati. Setiap hidangan punya cerita, punya emosi. Orang makan masakannya bukan cuma kenyang, tapi merasa didengar." Doni tersenyum kecil. "Dia yang ajarin aku kalau masak itu soal rasa dan koneksi."
"Kamu kangen dia, ya?"
"Setiap hari. Tapi sekarang rindunya beda. Dulu rindu yang sakit, yang bikin tidak bisa jalan. Sekarang rindu yang hangat, yang bikin pengin jadi lebih baik buat hormatin ingatannya."
Naira mengangguk pelan. "Suatu hari aku harap bisa sampai ke tahap itu juga. Sama Mama. Sama trauma dari Rendra. Rindu yang tidak nyakitin lagi."
"Kamu bakal sampai ke sana. Butuh waktu, tapi pasti bisa."
Mereka menyelesaikan bersih-bersih dapur bersama. Naira mencuci wajan dan mangkuk, Doni mengelap dan menyimpan. Kerja sama yang terasa alami, seolah sudah sering dilakukan, padahal ini baru pertama.
Saat semua sudah bersih, Naira melepas apron dan menggantungnya kembali. "Besok pagi boleh aku datang lagi? Belajar yang lain?"
"Kapan pun kamu mau. Dapur ini juga dapur kamu."
"Tapi ini jam kerja kamu. Aku tidak mau ganggu."
"Kamu tidak ganggu. Aku malah senang ada yang mau belajar." Doni tersenyum tulus. "Bagi ilmu masak itu salah satu kebahagiaan terbesar buat koki. Dan lebih bahagia lagi kalau yang belajar beneran antusias."
Naira tersenyum, kali ini senyum yang sampai ke matanya. "*Deal*. Besok aku datang jam lima lagi. Kita belajar apa?"
"Rahasia. Tapi pasti berguna dan enak."
Naira berjalan menuju pintu, tapi berhenti sejenak. "Doni?"
"Ya?"
"Ini percakapan pertama kita yang benar-benar normal. Bukan soal kontrak, bukan soal trauma, bukan soal sedih. Cuma dua orang ngobrol sambil masak. Dan itu..." Suaranya sedikit bergetar, "itu berarti banget buat aku. Terima kasih sudah perlakukan aku kayak manusia biasa, bukan klien yang harus dijaga jarak atau korban yang dikasihani."
"Karena kamu memang manusia biasa. Yang kebetulan lagi lewatin masa sulit. Tapi kamu bukan definisi dari traumamu. Kamu jauh lebih dari itu."
Naira mengangguk, matanya berkilat tapi airnya tidak jatuh. "Selamat pagi, Doni. Sampai ketemu nanti pas makan siang."
"Selamat pagi, Naira."
Ia menghilang ke arah tangga, langkahnya ringan. Doni bisa mendengar ia bersenandung pelan, sesuatu yang belum pernah ia dengar sebelumnya.
Doni berdiri sendirian di dapur yang sudah rapi. Sinar matahari pagi menembus jendela, menerangi setiap sudut dengan cahaya keemasan yang lembut.
Sesuatu berubah malam itu. Pintu yang dulu tertutup kini mulai terbuka. Dan Doni, tanpa sepenuhnya sadar, sudah melangkah masuk melewati batas antara profesional dan personal.
Tapi entah kenapa, ia tidak takut. Ia tidak menyesal.
Karena melihat Naira tersenyum sambil memegang bawang goreng buatannya sendiri terasa lebih berharga dari semua aturan kontrak yang pernah ditulis.
Dan mungkin, itu adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar pekerjaan seribu hari.
Ini adalah awal dari penyembuhan. Untuk mereka berdua.
...---•---...
...Bersambung...